Image
Menara Pengatur Lalulintas Udara
ATC atau air traffic controller adalah rekan terdekat penerbang di samping unit-unit yang lain. Karena salah satu kriteria terbang IFR (Instrument Flight Rules) adalah adanya komunikasi antara penerbang dengan ATC. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, di beberapa tempat/ negara, penerbang dapat mendapatkan clearance/ijin untuk terbang IFR melalui telepon dan kembali menelepon ATC setelah mendarat, untuk melaporkan bahwa penerbangan telah selesai dilakukan dan flight plan dapat ditutup.
Di tulisan ini penulis berupaya memperluas pengetahuan pembaca, bahwa di balik suksesnya penerbangan, peran ATC cukup besar.

Bagaimana menjadi seorang ATC? Di Indonesia pendidikan untuk menjadi seorang ATC ada di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI). Dulu di kenal sebagai API (Akademi Penerbangan Indonesia) kemudian berubah menjadi STPI. STPI selama sejarahnya lebih dikenal dengan nama CURUG, yang merupakan nama tempat dimana STPI berada.

Kebanyakan orang hanya tahu bahwa STPI Curug adalah sekolah penerbangan, dan menghasilkan pilot. Padahal Curug sendiri dibagi 3 divisi: Penerbang, Teknik dan Operasi.

 

Divisi Teknik berisi macam-macam bagian, antara lain teknik listrik, teknik radio dan lain-lain.

Sedangkan divisi Operasi adalah divisi yang berisi tentang pengoperasian penerbangan pada umumnya, di divisi inilah pendidikan ATC berada. Setelah lulus, para ATC biasanya harus bekerja selama 2 tahun sebelum bisa menjadi pengatur/ Controller atau senior ATC. Setelah lulus dari pendidikan ATC akan ditempatkan di Tower/ Menara Pengatur, dan harus mendapatkan rating seperti halnya penerbang yang memerlukan type rating untuk menerbangkan satu jenis pesawat.

Pekerjaan ATC

Jika bandar udara yang diatur cukup besar seperti bandar udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, maka ATC di tower sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu ground control dan control tower. Ground control akan mengatur arah pergerakan pesawat selama di darat, sedangkan control tower akan mengatur pergerakan pesawat ke dan dari bandar udara itu sendiri.

Jika bandar udara tersebut cukup sibuk, maka bisa ditambahkan lagi bagian lain yang disebut clearance delivery, apron/ramp control. Clearance delivery akan memberikan ijin/ clearance dan setelah mendapatkan ijin yang berisi rute yang harus ditempuh, maka penerbang akan menghubungi ramp control untuk mendapatkan ijin menyalakan mesin pesawat dan mendorong mundur pesawat jika diperlukan. Untuk bergerak ke landasan yang dipakai, maka penerbang akan meminta ijin pada Ground control.

Ijin untuk masuk ke landasan dan tinggal landas, ataupun mendarat, hanya bisa didapatkan dari Control Tower.

Kenapa mereka di tempatkan di tempat yang tinggi/tower, itu karena mereka mengontrol pergerakan pesawat secara visual.

Setelah keluar dari area bandar udara, maka tanggung jawab pengaturan akan diberikan pada APP (Approach Control) dan juga ACC (Area Control Center).

Di bandar udara tertentu dipasang radar dan ATC dapat melihat pergerakan pesawat bahkan juga selama bergerak di darat. Untuk bisa mendapatkan fasilitas ini, pesawat yang bersangkutan harus memiliki alat yang disebut transponder. Transponder ini akan bereaksi terhadap sinyal radar ATC dan memberikan posisi dan ketinggiannya pada radar ATC.

 

Bandar udara seperti Cengkareng atau Makassar (Ujung Pandang) adalah contoh adanya TOWER (TWR), Approach control office (APP) serta Area control center (ACC). Biasanya tower di beri authority dari ground sampai ketinggian 2500 feet, APP sampai 15 ribu feet serta selebihnya adalah daerah tanggung jawab ACC.

Bila lalulintasnya padat maka dibuatlah sektor untuk mengurangi beban seorang controller, misalnya Jakarta west sector dan Jakarta east sector. Atau juga bisa lower/upper control, misalnya Jakarta lower control. Dalam kondisi yang padat ini, ATC akan bekerja secara bergantian dalam waktu 2-3 jam saja, untuk mengurangi kelelahan yang dapat berakibat fatal pada pesawat yang diaturnya.

 

Keadaan darurat

Normalnya seorang penerbang harus patuh pada perintah ATC, kecuali jika terjadi keadaan yang tidak normal dan mengharuskan penerbang untuk bergerak ke arah yang lain dalam keadaan darurat. Itupun harus secepatnya dilaporkan pada ATC.

 

Bahasa yang dipakai

Saat ini badan PBB yang bernama ICAO (International Civil Aviation Organisation) menyetujui beberapa bahasa untuk dipakai sebagai bahasa pengantar antara ATC dan penerbang, tapi bahasa Inggris adalah bahasa yang paling umum.

Bahasa Indonesia tidak termasuk sebagai bahasa yang dipakai. Bahasa lain yang dipakai contohnya adalah Perancis, terutama di negara-negara bekas koloni perancis, memakai bahasa ini meskipun bahasa Inggris dipakai untuk mengatur pesawat dengan penerbang yang tidak bisa berbahasa Perancis.

Karena banyaknya negara yang tidak berbahasa Inggris, karena bukan merupakan bahasa sehari-hari, maka dibuatlah kumpulan kata yang dipakai di dalam penerbangan yang dikenal dengan sebutan phraseology.

Phraseology ini cukup baku, dan dapat dimengerti oleh penerbang yang bahasa pertamanya bukan bahasa Inggris.

Dengan terjadinya beberapa kecelakaan udara karena kesalahan komunikasi, maka saat ini ICAO mengharuskan setiap penerbang untuk mempunyai lisensi bahasa Inggris untuk dapat terbang secara internasional. Salah satu badan yang menyediakan test bahasa Inggris untuk penerbang adalah RELTA. Mengenai RELTA serta bahan dan contoh ujian juga dapat dilihat di www.relta.org, mohon diperhatikan domain terakhir adalah org bukan com.