2.Pemisahan Regulator Dengan Operator

Penulis berpendapat tampaknya suasana kebatinan UURI No.1/2009 adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Dengan pemisahan tersebut masing-masing mempunyai peran yang jelas, terpisah, tidak tumpang tindih, transparan. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, semua kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bilamana boleh meminjam istilah dalam UURI No.5/19603, perkataan “menguasai” berarti negara  berwenang “mengatur” penggunaan atau kemanfaatan “kegiatan yang menguasai orang banyak” Berdasarkan kewenangan tersebut, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kewenangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, memisah-misahkan kegiatan-kegiatan yang menguasai hidup orang banyak yang dilakukan oleh regulator atau oleh operator, agar regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak sebagai regulator. Kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi tidak menguntungkan, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini unit penyelenggara pemerintah yang merupakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation), sedangan kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi menguntungkan, maka diserahkan kepada operator baik milik negara maupun swasta yang merupakan pelayanan keikut sertaan swasta (private service participant) dengan memungut biaya dari penerima jasa yang diterima, sedangkan kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat membiayai diri (cost recovery) dapat diselenggarakan oleh badan tertentu (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh badan tersebut.

Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.

Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan.  Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.

Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara”  terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang sudah ada.

Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan,
(c) kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa,
 
sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) ciri-cirinya adalah
(a) kegiatan tersebut menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut menguntungkan,
(c) kegiatan tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN),
(d) pemberi pelayanan boleh memungut keuntungan dari penerima layanan,
(e) pemberi pelayanan bertanggung jawab dalam arti liability  dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi,
(g) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela.

Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara  Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaik dan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, tetapi mampu membiayai diri sendiri (cost recovery),
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut  memungut biaya dari penerima jasa layanan sesuai dengan kebutuhan teknologi,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.

Bilamana kriteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah
(a) mengutamakan keselamatan penerbangan,
(b) tidak berorientasi pada keuntungan,
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) biaya yang dipungut dikembalikan kepada penerima jasa pelayanan,
(e) berdasarkan teori iure imperium, pemberi pelayanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
 
Berdasarkan kriteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajat hidup orang  banyak yang dapat diserahkan kepada operator berbentuk BLU dan PT sebagai pengusaha.  Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh operator dalam bentuk BLU, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati, secara teoritis ada ketidak adilan bilamana mereka tidak menikmati jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai.

3.Pengoperasian Bandar Udara 4

Pengoperasian bandar udara diatur dalam Pasal 217 dan 218 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur persyaratan sertifikat bandar udara, register bandar udara beserta sanksi pelanggarannya. Menurut Pasal 217 UURI No.1/2009 tersebut setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.  Bilamana bandar udara tersebut telah memenuhi keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan dan pelayanan jasa bandar udara, maka Menteri Perhubungan akan memberikan (a) sertifikat bandar udara atau (b) register bandar udara.
Sertifikat bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara dengan kapasitas pesawat udara yang lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas pesawat udara lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, sedangkan register bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas pesawat udara maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat pesawat udara maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.

Persyaratan untuk memperoleh sertifikat bandar  udara berbeda dengan persyaratan untuk memperoleh register bandar udara. Persyaratan yang pertama, sertifikat bandar udara adalah setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang telah memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas,
(c) prosedur operasi bandar udara, dan
(d) sistem manajemen keselamatan operasi penerbangan,
sedangkan untuk memperoleh register bandar udara yang diberikan oleh Menteri Perhubungan, setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas, dan
(c) prosedur operasi bandar udara.
 
Setiap orang yang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan dipidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah),dalam hal menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar), bilamana menyebabkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar)5, sedangkan setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, penurunan tarif jasa bandar udara, dan/atau pencabutan sertifikat6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara, dan pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan.