DR.H.K.Martono SH LLM1

1.Pendahuluan

Pelayanan navigasi penerbangan terdapat dalam Bab XII dari Pasal 261 sampai dengan Pasal 307. Menurut Pasal 261, Menteri, dalam hal ini Menteri Perhubungan menetapkan tatanan navigasi penerbangan nasional untuk mewujudkan pelayanan navigasi penerbangan yang dapat menjamin keselamatan penerbangan. Dalam penetapan tatanan navigasi penerbangan nasional tersebut, Menteri Perhubungan harus memperhatikan pertimbangan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertahanan dan Panglima Tentara Nasional Indonesia.

Penetapan tatanan navigasi penerbangan tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan (a) keselamatanan operasi penerbangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi penerbangan, (c) kepadatan lalu lintas penerbangan, (d) standar tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang berlaku, dan (e) perkembangan teknologi di bidang navigasi penerbangan. Tatatan navigasi penerbangan tersebut setidak-tidaknya memuat (a) ruang udara yang dilayani, (b) klasifikasi ruang udara, (c) jalur penerbangan, dan (d) jenis pelayanan navigasi penerbangan. Menurut Pasal 262 ruang udara yang dilayani terdiri atas (a) wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangan yang didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, (b) ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangan didelegasikan kepada Republik Indonesia; dan (c) ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangan didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) kepada Indonesia. Artikel ini bermaksud menguraikan RUANG UDARA YANG DILAYANI Indonesia sebagaimana diatur didalam Pasal 262 Undang-undang Penerbangan Tahun 2008, yang biasa disebut Flight Information Region (FIR), khususnya di atas pulau Natuna.

 

2.Flight Information Region (FIR)

Beberapa waktu yang lalu, Singapore pernah menuduh bahwa Indonesia merupakan sarang teroris internasional. Tuduhan tersebut di bantah oleh anggota DPR-RI dan sekaligus mengatakan bahwa Flight Information Region (FIR) di atas pulau Natuna adalah wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia yang harus diambil kembali.

Tuntutan tersebut tambah aktual lagi setelah disiarkan oleh radio Elshinta. Masalah tersebut muncul kembali dibicarakan DPR-RI dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dengan Menlu Singapore di Bali. Menurut AFP, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada waktu itu mengatakan tetap akan mengambil alih kembali FIR di atas pulau Natuna dari pemanduan Singapore, bahkan akan meninjau kembali perjanjian timbal balik antara Singapore dengan Indonesia yang mengizinkan pesawat udara militer Singapore berlatih di wilayah Indonesia.

 

a.Kronologi Pengambil Alihan

Niat untuk mengambil alih kembali pemanduan Flight Information Region (FIR) di atas pulau Natuna tersebut telah dimulai sejak beberapa tahun sebelum 1991, diawali dengan argumentasi antara penerbang TNI-AU dengan pemandu lalu lintas udara Singapore. Pada saat itu seorang Jenderal ikut dalam penerbangan di atas pulau Natuna. Pemandu lalu lintas udara Singapore menanyakan siapa yang ada dalam pesawat udara, dijawab oleh penerbang TNI-AU bahwa di dalamnya ada VIP, tetapi jawaban tersebut tidak memuaskan bagi pemandu lalu lintas udara Singapore, sebaliknya penerbang TNI-AU merasa tidak enak karena terbang di wilayahnya sendiri, tetapi selalu diawasi oleh negara lain. Pada saat Jenderal tersebut mendarat, memerintahkan untuk mengambil alih kembali pemanduan FIR di atas pulau Natuna yang sampai saat ini belum berhasil.

Sebagai realisasi instruksti tersebut, mulai diadakan langkah-langkah persiapan pengambil alihan Flight Information Region tersebut. Usaha pengambil alihan Flight Information Region tersebut semakin intensif dilakukan sejak bulan Juli 1992. Niat Indonesia mengambil alih pemanduan Flight Information Region di atas pulau Natuna, secara resmi telah disampaikan pada Regional Air Navigation (RAN) Meeting di Bangkok bulan Mei 1993, tetapi dalam RAN-Meeting tersebut diputuskan agar masalah tersebut diselesaikan secara bilateral antara Indonesia dengan Singapore yang hasilnya harus dilaporkan kepada Kantor Wilayah ICAO di Bangkok.

 

b.Pertimbangan Penentuan FIR

Penentuan Flight Information Region berdasarkan kesepakatan secara regional yang dibahas oleh negara-negara Asia dan Pacific di Bangkok. Penentuan Flight Information Region atas pertimbangan keselamatan penerbangan (safety consideration) yang biasanya diselenggarakan dalam waktu 10 tahun sekali. Penentuan Flight Information Region berbeda dengan penentuan wilayah kedaulatan yang berdasarkan pertimbangan keamanan (national security), karena itu dapat terjadi batas wilayah kedaulatan tidak konsisten dengan batas wilayah udara Flight Information Region, sehingga dapat terjadi Flight Information Region di wilayah kedaulatan Indonesia diawasi oleh Singapore, sebaliknya Indonesia juga mengawasi sebagian wilayah kedaulatan Australia. Sebagaimana diketahui bahwa Flight Information Region di atas pulau Natuna ditetapkan dalam bulan Nopember tahun 1946 di mana pada saat itu oleh hukum internasional Indonesia belum ada pengakuan.

Dasar hukum Flight Information Region terdapat dalam Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 dan Annex 11 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 Indonesia “undertakes, so far as it may find practicable, to provide, in its territory, airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilities to facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practices recommended or established from time to time, pursuant to this Convention”, namun demikian menurut Annex 11 Konvensi Chicago 1944 Indonesia dapat mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tersebut kepada negara lain, sesuai dengan ketentuan Pasal 262 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang ditanda tangani pada tanggal 12 Januari 2009. Pendelegasian tersebut tidak mengurangi kedaulatan negara Republik Indonesia. Apabila Indonesia dianggap telah mampu, maka pendelegasian tersebut dapat dikembalikan kepada Indonesia. Biasanya apabila negara tersebut belum mampu atau masih chaos seperti Viet Nam (dahulu), pemanduan lalu lintas udara di Flight Information Region diambil alih oleh negara tetangga. Dalam kasus yang sama Viet Nam sekarang sudah mengambil alih pemanduan lalu lintas udara pada Flight Information Region yang semula dilakukan negara tetangga berdasarkan Regional Air Navigation Meeting di Bangkok.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 20092 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, Indonesia mempunyai wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan keselamatan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamaan negara, sosial budaya serta lingkungan udara guna melindungi warga negara beserta harta bendanya. Sebagai negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sejak 27 April 1950, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk melayani semua penerbangan nasional maupun internasional yang dilakukan di atas wilayah Indonesia.3. Dari aspek ekonomi, ruang udara jelas merupakan salah satu sumber pendapatan negara selain minyak dan gas bumi, karena setiap penerbangan di atas wilayah Indonesia dikenakan pungutan, walaupun pungutan itu harus dikembalikan lagi untuk penyediaan fasilitas yang diperlukan untuk menjamin keselamatan penerbangan. Di samping itu wilayah udara dapat digunakan sebagai sarana tawar dalam perjanjian internasional (bargaining power).

 

c.Dasar Hukum Pengambil Alihan FIR

Indonesia berhak mengambil alih pemanduan Flight Information Region di atas pulau Natuna berdasarkan Pasal 1 Konvensi Chicago 19444, Pasal 2 Konvensi Chicago 19445, Pasal 28 Konvensi Chicago 19446, Pasal 2.1.1. Annex 11 Konvensi Chicago 19447, Rekomendasi dalam Annex 11 Konvensi Chicago 19448, Pasal 261 sampai dengan Pasal 307 UURI Nomor 1Tahun 20099, Pasal 2 UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan UURI No.17 Tahun 198510 dan Pasal 3 UNCLOS11.

Secara yuridis tidak perlu lagi disanksikan bahwa Indonesia berhak untuk mengambil alih pemanduan Flight Information Region di atas kepulauan Natuna dari pemanduan Singapore, walaupun Indonesia harus menyediakan semua fasilitas, sumber daya manusia serta pelayanan yang harus bersaing dengan Singapore. Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk memberi pelayanan navigasi penerbangan yang memadai sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 sebagaimana dikemukana di atas.

 

d.Upaya Pengambilan Alih

Setelah mempelajari secara cermat dasar hukum dan melakukan persiapan operasional, Indonesia secara resmi membawa masalah tersebut pada Third RAN-Meeting yang diselenggarakan di Bangkok bulan Mei 1993. RAN-Meeting tersebut diikuti oleh negara-negara kawasan Asia dan Pacific (ASPAC). Delegasi Indonesia terdiri dari pejabat operasional, sedangkan delegasi Singapore tidak cukup diikuti oleh petugas operasional, melainkan menghadirkan jaksa Agung, sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan serta para penasehat hukum laut internasional. Dalam RAN-Meeting diputuskan bahwa masalah pengambil alihan Flight Information Region di atas pulau Natuna, agar diselesaikan antara Indonesia dengan Singapore secara bilateral, apabila telah disepakati secara bilateral, akan disampaikan kepada RAN-Meeting berikutnya.

Sebagai tindak lanjut keputusan RAN-Meeting tahun 1993, pada tingkat operasional Indonesia mengirim delegasi ke Singapore dan sebaliknya Singapore juga mengirim delegasi ke Indonesia secara timbal balik. Dari aspek yuridis, kedua delegasi terdapat perbedaan pendapat mengenai batas wilayah negara Indonesia. Dalam kaitan ini, Indonesia mendasarkan Pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal 2 serta 3 UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan UURI No.17 Tahun 1985. Semula Director of Civil Aviation (DCA) Singapore kurang menyetujui UURI No.17 Tahun 1985 yang diratifikasi oleh Indonesia, yang pada saat itu belum berlaku, namun setelah dijelaskan bahwa Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) telah menjadi the law of the land dan berlaku di wilayah Indonesia, kemudian Singapore masih menanyakan dasar hukum yang menetapkan letak titik pangkal terluar wilayah Republik Indonesia.

Menurut Singapore Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 batas wilayah perairan mengacu pada UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia, namun demikian Indonesia belum menentukan batas terluar perairan Indonesia. UNCLOS yang telah diratifikasi Indonesia, hanya berisikan ketentuan yang secara normatif yang perlu ditindak lanjuti oleh Indonesia untuk menetapkan batas kedaulatan perairan Indonesia secara yuridis maupun practice. Dalam UNCLOS dikatakan every state has the right to establish the bread of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical mile measures from the baseline determined in accordance with the Convention, sebagai konsekuensi ketentuan tersebut Indonesia harus menetapkan titik pangkal untuk menentukan wilayah kedaulatan Indonesia. Perlu dicatat di sini bahwa Singapore membawa peta wilayah Republik Indonesia berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang baru dipublikasikan di PBB tahun 1989. Peta tersebut berbeda dengan wilayah kedaulatan berdasarkan UNCLOS 1982.

Secara teknis dan operasional, Indonesia telah menyiapkan perangkat keras yang diperlukan untuk melayani FIR di atas pulau Natuna seperti PSR and SSR Tanjung Pinang, PSR (long range Pontianak), SSR Natuna, ER-VHF air-ground and VSAT to transport data from all facilities (Tanjung Piang, Batam, Natuna etc,) which will included flight plan data, RADAR and telecommunication. Setelah menyiapkan perangkat tersebut Direktorat Keselamatan Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, berturut-turut melakukan pembahasan dengan pemerintah Singapore pada bulan Desember 1993 dan berakhir pada bulan Pebruari 1994

Berdasarkan kesepakatan pada tingkat teknis dan operasional, Flight Information Region di atas pulau Natuna masih dilayani oleh Singapore, terutama zona A sejauh radius 100 mil pada ketinggian 20.000 feet sedangkan Indonesia memperoleh kompensasi yang dibayarkan kepada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)12. Pengambil alihan pemanduan Flight Informaton Region di atas pulau Natuna yang sudah dibahas secara intensif sejak Mei tahun 1993, memerlukan usaha sungguh-sungguh karena memerlukan dukungan fasilitas navigasi penerbangan yang canggih dan sumber daya manusia yang terampil dan dedikasi yang tinggi serta pelayanan yang prima. Tidak cukup hanya faktor-faktor tersebut yang berpengaruh, tetapi para pengguna pelayanan penerbangan, khususnya para penerbang internasional juga harus dipertimbangkan. Dalam rangka pengambil alihan tersebut, para penerbang internasional khususnya, lebih senang dilayani oleh Singapore dari pada dilayani oleh Indonesia.

Masalah lain yang terkait dengan pengambil alihan Flight Information Region di atas pulau Natuna adalah batas wilayah kedaulatan negara, karena Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 tidak secara tegas menetapkan batas wilayah perairan suatu negara, tetapi penentuan batas perairan tersebut diatur dalam Pasal 2 dan 3 UNCLOS, sedangkan UNCLOS tersebut menyerahkan pada negara yang bersangkutan, karena itu sepanjang Indonesia belum menetapkan batas titik pangkal terluar perairan kepulauan Indonesia, selama itu pula Indonesia mengalami kesulitan untuk mengambil alih. Tampaknya Singapore tetap akan mempertahankan posisinya sekarang. Perlu pula diingat perjanjian perbatasan perairan dengan Singapore juga perlu ditinjau kembali.

Sepanjang pengetahuan penulis, Undang-undang nomor 6 Tahun 1996 yang mengatur perairan Indonesia yang menggantikan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 juga belum didaftarkan di PBB, di mana letak titik terluar wilayah perairan kepulauan Indonesia, hal ini penting untuk mencegah hilangnya pulau-pulau Indonesia yang telah diduduki oleh penduduk negara tetangga. Bukan suatu hal yang mustahil apabila penduduk Philipina atau Papua Nugina atau Malaysia bahkan Singpore sendiri akan mengambil alih salah satu pulau kecil yang seharusnya milik Indonesia.

Masalah kedaulatan adalah masalah harga diri suatu bangsa yang telah diakui oleh UN Charter maupun konvensi-konvensi internasional lainnya, karena itu memerlukan suatu pengorbanan harta benda maupun jiwa. Setiap negara berdaulat di samping mempunyai hak juga mempunyai kewajiban dalam hukum internasional. Di bidang kewajiban sebagaimana di atur dalam Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 yang mewajibkan Indonesia “undertakes, so far as it may find practicable, to provide, in its territory, airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilities to facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practices recommended or established from time to time, pursuant to this Convention untuk menjamin keselamatan penerbangan nasional maupun internasional.

 

e.Malaysia

Pengambil alihan FIR di atas pulau Natuna juga berkaitan dengan negara jiran Malaysia, namun demikian Indonesia telah mempunyai UURI No.1 Tahun 1983 tentang Pengesahan Rejim Hukum Negara Nusantara dan Hak-hak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara dan Ruang Udara Diatas Luat Teritorial Perairan Indonesia dan Wilayah Republik Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur pesawat udara sipil maupun pesawat udara negara Malaysia diberi hak untuk melakukan penerbangan dari Malaysia bagian barat ke Malaysia bagian timur melalui di atas laut teritorial Indonesia. Pengaturan pemandu lalu lintas udara sipil maupun militer dapat dilimpahkan kepada Malaysia dengan mengacu hukum internasional sebagaimana direkomendasikan dalam Annex 11 Konvensi Chicago 1944, tetapi pendelegasian tersebut dapat ditarik kembali setelah diadakan konsultasi.

Menurut perjanjian tersebut Indonesia dapat menentukan kawasan udara terlarang di atas pulau Natuna untuk maksud latihan perang. Malaysia tidak keberatan asal tidak diblok dalam arti berlaku seterusnya melainkan secara insidentil diberi NOTAM lebih dahulu. Dalam rangka pengambil alihan Flight Information Region di atas pulau Natuna, pada tingkat operasional Indonesia juga melakukan pendekatan dengan Malaysia. Pada saat itu pejabat penebangan sipil Malaysia tidak keberatan, tetapi pejabat Departemen Dalam Negeri merasa dikecewakan karena tidak diajak pembicaraan. Pejabat tersebut masih mempermasalahkan publikasi perjanjian bilateral tersebut. Menurut Malaysia perjanjian tahun 1983 belum berlaku karena belum dipublikasi di PBB.

Pada saat itu, strategi Malaysia mengulur-ulur duduk bersama menyelesaikan masalah perbatasan tersebut, sengaja dilakukan sementara Malaysia menuntut agar Indonesia menghendikan pembangunan mercu suar di Pulau Karang Unarang. Sebaiknya pembangunan mercu suar tersebut tetap dilanjutkan, karena batas kedaulatan negara kepulauan diukur 12 mil laut dari titik terluar. Dampak pembangunan mercu suar tersebut sangat berpengaruh terhadap luas wilayah kedualatan Republik Indonesia. Di wilayah tersebut Indonesia berdaulat dengan memanfaatkan semua hak yang dijamin dalam hukum internasional. Masalah kedaulatan tidak cukup ditangani secara operasional, tetapi juga harus ditangani secara politik maupun hukum internasional supaya dapat diakui secara internasional.

 

3.Kesimpulan dan saran

Masalah FIR di atas pulau Natuna yang sampai sekarang masih diawasi oleh Singapore telah diupayakan untuk pengambil alihan oleh Indonesia dari Singapore, namun demikian sejak tahun 1993, sampai sekarang belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Sebagaiman pernyataan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, diatas Indonesia masih tetap ingin mengambil alih pemanduan FIR di atas pulau Natuna dari pemanduan Singapore bahkan akan meninjau kembali perjanjian antara Indonesia dengan Singapore yang mengizinkan angkatan udara Singapore berlatih di wilayah Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dari aspek yuridis, jelas Indonesia mempunyai dasar hukum yang kuat untuk pengambil alihan FIR tersebut, sehingga ruang udara diatas pulau Natuna dapat dilayani oleh pemandu lalu lintas udara Indonesia. Berdasarkan Pasal 458 pengambil alihan FIR paling lambat 15 tahun terhitung sejak diundangkan, walaupun jangka waktu masih lama, perlu mengintensifkan upaya pengambil alihan karena hal itu merupakan kewajiban Indonesia sebagai negara anggota ICAO.

Berdasarkan program RAN MEETING yang diselenggarakan setiap 10 tahun, maka kemungkinan RAN MEETING yang akan datang akan dilakukan pada tahun 2013, sehingga tinggal sisa waktu 5 (lima) tahun, karenanya penulis berpendapat agar Indonesia menyiapkan perangkat untuk pengambil alihan, sebab bilaman tahun 2013 tidak berhasil maka baru tahun 2023 ada RAN MEETING lagi.

 

1 Mantan Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Dosen tetap STMT-Trisakti, Dosen Universitas Tarumanagara, Nara sumber pembahasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 antara DPR-RI dengan Pemerintah.


2 Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

3 Each contracting State undertakes, so far as may find practicable to provide, in its territory, air navigation facilities and services or established from time to time, pursuant to the Chicago Convention.


4 The contract ing States recognize that every State has complete and exclusive sovereingnty over the airspace above its territory.


5 For the purpose of this Convention the territory of a State shall be deemed the land areas and territorial waters adjacent thereto under the sovereignty, suzerainty, protection or mandate of such State.


6 Each contracting State undertakes, so far as may find practicable to provide, in its territory, air navigation facilities and services in accordance with the standard and recommended practices or established from time to time, pursuance to the Chicago Convention.


7 Contracting State shall determine, in accordance with the provision of this Annex and for the territories over which they have jurisdiction, those portions of the airspace and those aerodrome where air traffic services will be provided. They shall thereafter arrange for such services to be established and provided in accordance with the provisions of this Annex, except that, by mutual agreement, a State may delegate to another State the responsibility for establishing and providing air traffic services in flight information regions, control areas or control zones extending over the territories of the former.


8 If one State delegates to another State the responsibility for the provision of air traffic services over its territory, it does so without derogation of its national sovereignty. Similarly the providing State’s responsibility is limited to technical and operation considerations and does not extend beyond those pertaining to the safety and expectation of aircraft using the concerned airspace. Futhermore, the providing State in providing air traffic services within the territory of the delegating State shall do so in accordance with the requirements of the latter which is expected to establish such facilities and services for the use of the providing State as are jointly agreed to be necessary. It is futher expected that the delegating State would not withdrawn or modify such facilities and services without consultation with the providing State. Both the delegating and providing State may terminate the agreement between these at any time.


9 Within the framework of aviation safety, every aircraft flying over the territory of the Republic of Indonesia shall be provided air traffic services. For this purpose, the Governement of the Republic of Indonesia shall determine, within the Indonesian’s territory, where the air sevices shall be established.


10 (1)The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.(2) This sovereignty extends the airspace bed and subsoil; (3)The territory over the territorial sea is exercise subject to this Convention and to other rules of international law.


11 (1) Every State has the right to establish the breadth of its territories sea up to a limit not exceeding 12 nautical mile, measures from baselines determined in accordance with this Convention;(2) The outer limit of the territorial sea is the line every point of which is at a distance from the nearest point of the baseline equal to the breadth of the territorial sea.

12 Berita terakhir sejak 2(dua) bulan yang lalu kompensasi sudah tidak dibayarkan kepada BUMN tersebut.