TERBANGKAN AKU KE LANGIT BIRU ….

Fly me to sky, and let me play among the clouds. Let me see the mountain and the sea from high above ….

Teks di atas saya tulis terispirasi oleh lirik lagu “Fly Me to The Moon” yang dinyanyikan Doris Day (penyanyi tahun 60an). Lirik aslinya adalah : Fly me to the moon, and let me play among the stars. Let me see what’s spring is like on Yupiter and Mars …. Kenal lagunya? Nggak? Wah, payah …. Lagunya indah dan romantis banget. Saya pernah menuliskan lirik lengkapnya pada artikel Amplas, Narsis, Katarsis. Silahkan tengok.

Gunung Sumbing yang biru dalam pelukan mega seputih kapas. So beautiful, isn’t it? Foto saya ambil dari jendela pesawat dalam penerbangan dari Yogya ke Jakarta, Agustus 2007.

Saya suka terbang (pada cuaca cerah, tentu). Ada sensasi ‘kebebasan’ ketika berada di tengah awan putih yang berarak. Ada perasaan ‘kecil’, ketika melihat permukaan bumi nun jauh di bawah, dengan rumah-rumah sebesar kuku jari dan manusia sebesar semut. Itulah sesungguhnya kita semua, makhluk Tuhan yang hanya sebesar semut. Dan itu pun baru dilihat dari ketinggian beberapa ratus meter. Dalam scope angkasa raya yang maha luas, apa artinya manusia?

Panorama sebagian kota Padang, Sumatera Barat. Sungguh beruntung jika kita mendapatkan seat di dekat jendela, tidak terhalang sayap, dan kaca jendela tidak buram. Foto saya buat dalam penerbangan dari Padang ke Jakarta, Desember 2007.

Dan saya suka terbang dengan Garuda (nasionalis, gitu loh … ). Meskipun pramugari Garuda tidak secantik dan se-seksi pramugari maskapai lain (banyak yang malah sudah ‘ibu-ibu’), tapi mereka sopan dan ramah. Makanannya disajikan dengan baik (saya paling sebal kalau naik pesawat hanya dikasih segelas air putih doang dalam kemasan gelas plastik, membawanya pun tanpa nampan). Ohya, majalah “Garuda” yang disediakan untuk penumpang juga sangat cantik dan informatif.

 

Foto di atas adalah pesawat Boeing B777-300ER, pesawat terbaru Garuda yang mampu menerbangkan 365 penumpang dan menempuh jarak 14.685 kilometer (15 jam terbang nonstop). Garuda memesan 10 buah pesawat ini untuk melengkapi armadanya, menyusul pemesanan 50 pesawat B737-800NG (Next Generation). Selama ini, jenis pesawat yang banyak dipakai Garuda untuk penerbangan domestik adalah B737-500 (96 penumpang), B737-400 (134 penumpang), B737-300 (110 penumpang), semuanya dengan kemampuan jelajah 3.515 kilometer.

Meskipun saya suka terbang, sesungguhnya durasi terbang yang masih menyenangkan adalah 2-3 jam. Lebih dari itu, duduk dalam waktu lama pastilah membuat badan pegal. Penerbangan panjang yang memakan waktu belasan jam, seperti ke Amerika, Eropa atau ke Tanah Suci, selain membutuhkan persiapan fisik juga memerlukan persiapan mental (untuk mengantisipasi kebosanan). Lebih dari itu, udara di dalam kabin pesawat tidaklah sesegar udara bebas. Kelembaban dan tekanan udara di dalam kabin lebih rendah dari pada udara normal, sehingga jika kondisi tubuh kurang fit, kita akan cepat merasa lelah.

Kelembaban di dalam pesawat jet adalah 10-20%, sedangkan kelembaban yang memberikan kenyamanan adalah 40%. Setiap orang di dalam pesawat mengeluarkan uap air lewat nafas dan keringat, sekitar 100 ml setiap jam (bayangkan jika penerbangan berlangsung selama 15 jam). Sebagian dari uap air ini akan memadat dalam ruang di antara dinding kabin dan dinding aluminium pesawat, yang dapat menyebabkan korosi atau penurunan penyekatan kabel.

Tekanan udara di dalam kabin lebih kecil daripada tekanan udara normal, sekitar 70-80% dari tekanan udara di permukaan laut. Kita bernafas dalam udara yang memiliki kandungan oksigen lebih rendah dari udara normal. Tingkat oksigen yang rendah ini sedikit mengurangi kapasitas berpikir kita (jadi kalau setelah terbang selama 10 jam anda tiba-tiba menjadi agak blo’on, tak perlu khawatir, itu hanya gejala sementara saja …).

Kabin pesawat adalah ruangan yang sangat padat. Setiap penumpang dalam kabin hanya mendapatkan 1-2 m3 ruang udara. Bandingkan dengan ruang udara yang kita peroleh di aula (4-10 m3), ruang dansa (10-20 m3) atau gedung kantor (10-30 m3).

Zaman dahulu (sebelum Perang Dunia II), udara di dalam kabin pesawat tidak ditekan, dan udara bisa masuk serta keluar. Tekanan udara di dalam pesawat sama dengan tekanan udara di luar. Pada pesawat modern yang memakai mesin jet, udara di luar diisap, dipanaskan sampai 250 derajad Celcius, dan dimampatkan sampai pada tekanan 30 atmosfir. Udara yang steril, panas, dan termampatkan ini dikeluarkan, dibiarkan mengembang, didinginkan, kemudian dimasukkan ke dalam kabin. Pesawat modern memiliki beberapa katup saluran keluar, dimana udara kabin ‘merembes’ ke udara di luar yang lebih tipis. Kru pesawat di dalam kokpit mengontrol tekanan kabin dengan cara mengoperasikan katup-katup ini.

Di satu sisi, pesawat yang terbang pada ketinggian 30.000 kaki (9 km) dapat menghemat sekitar 38% biaya bahan bakar. Ini disebabkan udara pada ketinggian 9 km lebih tipis, sehingga resistensi terhadap gerak pesawat yang menembus udara juga lebih kecil, dan pesawat dapat melaju dengan ringan serta cepat. Namun di sisi lain, udara di dalam pesawat harus ‘ditekan’ (disuplai dengan udara yang mengandung oksigen). Jika udara di dalam kabin pesawat sama tipisnya dengan udara di luar, penumpang dan kru pesawat akan pingsan karena kekurangan oksigen. Untuk itu, sejumlah ‘udara kerja’ harus diambil dari mesin untuk memberi tekanan pada kabin. Hal ini menyebabkan kerugian 2% dari biaya bahan bakar untuk energi ekstra yang dibutuhkan guna memberi tekanan pada kabin. Tapi bukankah pesawat sudah menghemat biaya sebesar 38% dengan terbang pada ketinggian 9 km? Jadi sudah seharusnyalah kalau penumpang mendapatkan bagian yang 2% itu ….

Di masa lalu dalam kabin yang diberi tekanan udara, udara dimasukkan kemudian dibuang, sehingga penumpang menghirup udara yang sama sekali saja. Ini sangat baik bagi penumpang, namun menghabiskan bahan bakar. Jadi, pabrik pembuat pesawat memperkenalkan konsep ‘daur ulang udara’ dalam kabin, agar udara yang dikeluarkan dari mesin lebih sedikit. Keutungan udara yang didaur ulang adalah penghematan sekitar 60.000 dolar AS per pesawat jet setiap tahun. Kerugiannya, penumpang menghirup udara yang sama beberapa kali, sehingga udara memiliki tingkat karbon dioksida lebih tinggi daripada udara normal. Kru pesawat di ruang kokpitlah yang menentukan, seberapa banyak mereka ‘berbaik hati’ memberikan udara bersih kepada penumpang. Udara di dalam kokpit sendiri biasanya benar-benar segar, bukan udara yang didaur ulang, demi alasan keamanan (artinya, penumpang boleh ‘agak pingsan’, tapi kru tak boleh sedikitpun puyeng …. ) (lihat catatan admin di bagian bawah tulisan ini).

Di kokpit, udara harus sesegar udara gunung, agar Pak Pilot dan Mas Ko-Pilot tetap segar bugar. Kalau mereka sampai pening kepala, kan taruhannya nyawa seluruh penumpang pesawat.

Pada tahun 1970, penumpang pesawat rata-rata mendapatkan 7 liter/detik udara luar. Pada tahun 2000, jumlah ini turun menjadi 2,8 liter/detik. Pesawat Boeing 737-100 keluaran 1967 memberikan 7,6 liter/detik, sedangkan Boeing 737-300 buatan tahun 1984 hanya memberikan 4,8 liter/detik. Padahal jumlah udara luar yang direkomendasikan para ahli adalah 15 liter/detik. Berapa jumlah udara luar yang diberikan oleh pesawat-pesawat Boeing terbaru? Wah, saya belum nanya ….

Bahwa ponsel harus dimatikan begitu kita melewati pintu masuk pesawat, rasanya semua orang sudah tahu. Tapi sangat sering kita lihat, orang masih menelepon atau ber-smsria di dalam kabin. Meskipun pesawat belum take off ataupun sudah landing, ponsel tetap saja berbahaya bagi kerja instrumen pesawat. Pesawat terbang modern banyak sekali bergantung pada gelombang radio untuk menjalankan berbagai fungsi, termasuk komunikasi dengan menara kontrol, navigasi, dan pengaturan udara di dalam kabin. Interfensi gelombang radio dari ponsel dapat mengacaukan fungsi-fungsi ini.

Pemakai ponsel mungkin tidak menyadari bahwa dalam keadaan standby pun ponsel tetap memancarkan sinyal elektromagnetis yang berfungsi memberitahu komputer di jaringan telepon seluler bahwa ponsel dalam keadaan aktif dan oleh sebab itu dapat dihubungi. Sinyal itu akan semakin kuat ketika pemancar di base terminal station (BTS) berkomunikasi dengan ponsel untuk menyampaikan panggilan ataupun mengirimkan pesan singkat (SMS). Padahal, setelah pesawat tinggal landas dan mendekati cruising altitude, ponsel tidak akan dapat berfungsi karena jarak dari BTS ke pesawat terlalu jauh dan pesawat bergerak terlalu cepat sehingga sebelum ponsel terdeteksi dan terdaftar di salah satu sel jaringan, ponsel itu sudah meninggalkan sel jaringan tersebut. Akibatnya, ponsel yang aktif akan terus menerus memencarkan sinyal elektromagnetis yang berisiko mengganggu berbagai peralatan penerbangan.

Nikmatilah penerbangan anda, jagalah keselamatan seluruh penumpang dengan mematikan ponsel anda, bersikap sopan dan ramah kepada sesama penumpang maupun kru pesawat, jaga kebersihan toilet, dan jika anda berbakat mabuk udara minumlah obat anti mabuk sebelum naik pesawat (agar anda tidak ‘blow up’ yang akan merusak kenyamanan penumpang di sekitar anda …)

Have a nice flight …..

(Sumber : “Cleopatra Si Cantik Atau Si Buruk Rupa” oleh Dr. Karl Kruszelnicki dan “Garuda”, The Magazine of Garuda Indonesia. Foto-foto : Garuda).

Diterbitkan kembali dengan seijin penulis. Catatan admin: penerbang biasanya hanya bisa mengatur suhu kokpit dan kabin, bukan udara bersih/campuran. Tapi di kokpit ada oksigen cadangan yang jumlahnya agak lebih banyak daripada di kabin.