Kenapa People, Organization and Technology menjadi menarik untuk dikaji di dalam dunia penerbangan? Saya memang lebih tertarik pada tiga unsur ini karena ketiga unsur ini tidak dapat dilepaskan dari dunia penerbangan karena aviasi bukanlah 'one man shows' tapi merupakan kerjasama unsur-unsur diatas.

Sayangnya sedikit yang tertarik mempelajari tentang bagaimana sistem itu bekerja, bagaimana interaksi antar komponen di dalam sistem, bagaimana sistem itu menjadi kompleks, dan sebagainya. Akibatnya apa? Dunia penerbangan tidak dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang memiliki berbagai komponen di dalamnya, tapi dilihat sebagai bagian terpisah yang kemudian berinteraksi.

Kali ini saya akan menulis tentang dua cara pandang atas dunia penerbangan yang mempengaruhi dalam menangani masalah keselamatan penerbangan. Pandangan tersebut adalah mengenai human error dan system safety, serta air transport system dan complexity.

Yang pertama adalah cara pandang atas human error dan system safety. Perdebatan klasik tentang kedua hal ini yaitu Ptolomeic world view (the sun goes around the earth) dan Copernican world view (the earth goes around the sun). Kedua konsep ini memandang human error dan safety dengan cara yang berbeda.

Ptolomeic world view berakar dari pemikiran bahwa safety itu adalah melindungi sistem dari unreliable people. Pemikiran ini memandang bahwa orang-orang yang mempunyai tendensi untuk melakukan error-lah yang menjadikan safety suatu sistem terdegradasi. Jadi untuk meningkatkan safety maka sistem harus terlindungi dari orang-orang ini dengan arti kata hanya yang kompeten saja yang bisa masuk ke dalam sistem.

Jika terjadi suatu kecelakaan atau insiden, para Ptolomeician akan menanyakan, "Siapa yang bertanggung jawab?", karena bagi mereka ketika safety terdegradasi maka manusia mana (Who) yang melakukan kesalahan (error). Akibatnya, ketika sudah terdeteksi siapa yang melakukan kesalahan, maka penyelidikan akan berhenti di sini.

Cara pandang ini menjadikan penanganan paska suatu kejadian (baca: kecelakaan dan insiden) adalah dengan meningkatkan kualitas manusia yang melakukan kesalahan atau berpotensi melakukan kesalahan, misalnya mengawasi dengan lebih ketat, memberikan punishment, memberikan training, dan sebagainya.

Copernican world view berpikir sebaliknya yaitu orang-orang di dalam sistemlah yang akan meningkatkan safety. Orang-orang di dalam sistem ini akan bergerak terus untuk belajar dan beradaptasi dengan segala kompleksitas yang ada guna menciptakan safety di segala level. Artinya apa, safety adalah kemajuan yang dicapai bersama oleh orang-orang yang berada di dalam sistem yang terus belajar dan beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada.

 

Ketika terjadi kecelakaan atau insiden, orang dengan pandangan Copernican akan menanyakan, "Apa yang bertanggung jawab?" Hal ini menjadikan pertanyaan yang dicari adalah 'apa' (What) karena mereka percaya ada sesuatu di balik kesalahan yang dilakukan manusia. Konsekuensinya, penyelidikan akan dilakukan komprehensif dan tidak berhenti hanya pada saat kesalahan manusia terdeteksi. Hasil dari investigasi ini merupakan bentuk perbaikan menyeluruh di dalam sistem bukan hanya difokuskan saja pada manusia yang melakukan kesalahan.

 

Banyak yang bisa kita jadikan contoh di sini, misalnya saat tragedi SSJ 100 pada tanggal 9 Mei 2012. Media elektronik dan cetak menurunkan artikel yang jika dilihat banyak yang ribut mempertanyakan ‘Siapa (Who)’ daripada ‘Apa (What)’ yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

Yang kedua adalah cara pandang terhadap kompleksitas di dalam dunia penerbangan. Saya pernah menulis di ilmuterbang.com tentang bagaimana kompleksnya suatu sistem transportasi udara dan juga menjelaskan bahwa dunia penerbangan adalah dunia yang menuntut 'high performance and high integrity'. Sistem ini adalah sistem yang unik dan keunikannya sama dengan dunia medis. Kesalahan kecil di dalam sistem bisa membawa pada konsekuensi fatal, yaitu kehilangan nyawa. Sehingga butuh evaluasi terus menerus alias berkelanjutan untuk mengiringi kekompleks-an sistem.

Jika melihat dunia penerbangan dari kacamata complex system maka dapat diketahui bahwa banyak sekali studi yang tidak mencapai hasil yang maksimal. Padahal studicomplex system sudah memasuki periode 40-an tahun. Kenapa? Karena perbedaan cara pandang dalam menyelesaikan permasalahan di sistem yang kompleks ini.

Pandangan pertama melihat bahwa penyelesaian suatu permasalahan yang kompleks cukup dengan mengurainya dengan menjadi bagian-bagian kecil. Jadi di sini secara sederhana permasalahan kompleks diperkecil ruang lingkupnya dan diselesaikan satu-persatu.

Pandangan kedua bertolak belakang dengan pandangan pertama. Ini dikarenakan bahwa bagian-bagian kecil itu tidak bisa mewakili atau men-generalisasi keseluruhan sistem karena di dalam interaksi antar bagianlah kompleksitas terjadi. Dengan menguraikan menjadi komponen-komponen kecil dan terpisah, maka sebenarnya kompleksitasnya sudah berkurang dan masalah yang terjadi akibat interaksi antar komponen tidak terdeteksi.

Kita ambil contoh dalam menyongsong Asian Open Sky 2015, ada banyak pendapat di belakangnya. Ada yang melihat kurangnya pilotuntuk memenuhi kebutuhan pada tahun itu, sehingga pemecahan masalahnya adalah dengan memperbanyak jumlah pilot sehingga mencapai kuantitas yang diinginkan. Begitu juga kekurangan infrastruktur, maka yang diperbanyak adalah jumlah bandara dengan berbagai fasilitas penunjang.

Sementara itu jika dilihat dari kacamata complex system maka banyak pertanyaan yang muncul. Contoh sederhana saja adalah dari sisi standarisasi. Dengan meningkatkan kuantitas, standard apa yang dipakai untuk kompetensi? Siapa yang menstandarisasinya? Apakah yang menstandarisasi juga sudah kompeten untuk melakukan standarisasi? Lalu bagaimana dengan resources yang ada saat ini, apakah sudah sama standarnya? Dan masih banyak pertanyaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, ketika yang dibutuhkan adalah pilot dan bandara, maka kajiannya bukan hanya dalam pemenuhan jumlahnya saja tapi banyak hal lain yang berkaitan dengan persoalan yang ada. Jadi ketika sistem sudah beroperasi, potensi interaksi yang memungkinkan safety terdegradasi bisa diminimalisasi.

Dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan safe system di sebuah dibutuhkan kajian komprehensif mengikuti kompleksitasnya. Kajian ini harus berkelanjutan karena sifat complex system yang akan meningkat kompleksitasnya seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan teknologi, dan tentu yang harus disadari bahwa ketidaksempurnaan manusia sebagai designer dan user.

Nah, bagaimana dengan di tanah air, pandangan mana yang dominan?