Apa yang akan terjadi ketika sebuah helikopter mengalami kegagalan mesin (engine failure) ketika sedang terbang? Apakah akan jatuh begitu saja ke bawah, atau seperti pesawat fixed wing yang bisa melayang di udara tanpa tenaga dari mesin? Jawabannya adalah tidak akan jatuh begitu saja tetapi juga tidak melayang seperti fixed wing. Dalam hal ini yang bisa dilakukan helikopter adalah autorotation.

Autorotation adalah keadaan pada waktu terbang di mana main rotor (baling-baling utama) dari sebuah helikopter diputar oleh aksi dari udara, bukan diputar oleh tenaga mesin. Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaan terbang normal, -normal powered flight-, dengan autorotation.

 

Pada normal powered flight, udara dihisap ke main rotor system dari atas dan dihembuskan ke bagian bawah rotor. Pada autorotation, udara masuk ke main rotor system dari bawah sebagai akibat helikopter turun dari ketinggian. Berbeda dengan fixed wing, pada rotary wing (helicopter, gyrocopter, dsb) selama rotor berputar di atas batas putaran minimum maka akan menghasilkan gaya aerodinamik lift (gaya angkat) dan thrust (gaya dorong) walaupun pada low airspeed bahkan zero airspeed. Apakah besarnya gaya aerodinamik ini sama ketika main rotor system diputar oleh tenaga mesin? Tentu saja berbeda karena kini kita hanya punya energi yang terbatas untuk memutar main rotor, sehingga ada kemudian istilah manajemen energi pada autorotation.

Ketika mengalami kegagalan mesin (engine failure) kita kehilangan sumber energi untuk memutar main rotor, namun kita memiliki bentuk energi lain yang bisa kita manfaatkan. Energi ini besarnya terbatas tergantung pada kondisi dari rotorcraft tersebut yang dipengaruhi oleh kecepatan (velocity/airspeed) dan ketinggian (altitude). Sesuai dengan hukum fisika bahwa energi tidak bisa diciptakan juga tidak bisa dimusnahkan, energi hanya dapat berubah bentuk. Seorang penerbang helikopter harus bisa mengidentifikasi dan menggunakan bentuk energi yang tersedia untuk dapat digunakan membawa helikopter mendarat dengan selamat.

Dalam keadaan autorotation, helikopter memiliki energi potensial (dari altitude), energi kinetik (dari velocity/airspeed) dan inersia rotor.

Energi Potensial : Dalam ilmu fisika kita ingat, semakin tinggi posisi suatu benda, jumlah energi potensial yang dimiliki akan semakin besar, begitu juga pada helikopter, semakin tinggi helikopter terbang maka energi potensialnya juga akan semakin besar.

Energi Kinetik : Begitu juga untuk energi kinetik, semakin cepat sebuah benda bergerak maka energi kinetiknya akan makin besar. Helikopter yang bergerak dengan kecepatan 90 knots memiliki energi kinetik yang lebih besar daripada helikopter yang bergerak dengan kecepatan 70 knots.

Inersia Rotor (Rotor RPM): Rotor blade/baling-baling helikopter yang berputar juga mempunyai energi untuk mempertahankan putarannya, kemampuan mempertahankan putaran ini bergantung pada nilai inersia dari rotor blade itu sendiri, semakin besar dan berat main rotor system maka inersianya akan semakin besar, yang artinya walaupun lebih berat untuk memutarnya, namun setelah berputar akan memiliki energi yang lebih lama untuk mempertahankan putarannya. Sebaliknya semakin kecil dan ringan main rotor system, maka semakin kecil inersianya (lebih mudah diputar namun juga lebih mudah kehilangan energi putarannya).

Tujuan utama dari autorotation sebetulnya adalah kita mendapat energi inersia rotor/ROTOR RPM yang cukup sehingga bisa manfaatkan seluruhnya untuk memperlambat rate of descent ketika touch down, sehingga helikopter dapat mendarat dengan selamat tanpa ada kerusakan ataupun luka-luka pada awak maupun penumpangnya.

Dalam keadaan autorotation, Rotor RPM akan berkurang dengan cepat karena drag, sehingga pilot harus mengatur sudut dari main rotor blade melalui collective, dengan mengurangi pitch angle secara kolektif, drag dikurangi sehingga perlambatan putaran rotor dapat dikurangi. Sebagai kompensasi putaran rotor yang semakin berkurang, energi untuk memutar rotor (demi menjaga supaya putarannya masih dalam angka yang cukup) kita ambil dari energi potensial dan energi kinetik yang kita miliki, untuk diubah menjadi energi putaran rotor.

Sebelum berlanjut lagi ke autorotation ada baiknya kita melihat H (Height) & V (Velocity) diagram atau nama lainnya adalah Dead man’s curve. Setiap helikopter memiliki H&V diagram yang dicantumkan dalam Rotorcraft Flight Manual. 

Gambar di bawah ini adalah contoh H&V diagram milik Bell 206 JetRanger. Pada H&V diagram terdapat tulisan “AVOID OPERATION IN SHADED AREA”, maksudnya adalah pada area yang diarsir. Apabila kita ada di dalam area itu maka kita tidak punya cukup energi dan/atau kombinasi energi untuk melakukan autorotation dengan sukses/selamat, sehingga daerah tersebut harus kita hindari. Itu juga alasannya kenapa disebut Dead man’s curve, karena apabila kita ada di dalam daerah yang diarsir yang harusnya kita hindari, kemudian mengalami engine failure, secara teoritis maka kita sudah tewas, karena autorotation tidak akan bisa dilakukan dengan sukses.

 

Untuk dapat lebih mudah memahami konsep autorotation dan energy management, mari kita coba ambil contoh :

Sebuah helikopter Bell 206 sedang hover (zero airspeed) pada ketinggian 600 ft dari tanah, kemudian mengalami engine failure, si penerbang dengan segera menurunkan pitch blade dengan collective, kemudian energi potensial ketinggian 600ft tersebut dimanipulasi oleh si penerbang untuk diubah menjadi kecepatan (bergerak maju) dan juga untuk menjaga putaran main rotor blade (sebagai kompensasi hilangnya putaran main rotor akibat drag), kecepatan dibutuhkan untuk bermanuver misalnya terbang ke forced landing area terdekat.

Pada waktu ketinggian 50 – 100 ft , penerbang mulai melakukan flare yang bertujuan untuk mengurangi rate of descent juga mengubah energi kinetik dari kecepatan menjadi energi putaran rotor. Ketika mendekati ketinggian hover normal (10 - 15ft), kita sudah kehilangan semua energi potensial dan kinetik, semuanya kini dalam bentuk energi putaran, penerbang kemudian menghabiskan semua energi putaran rotor blade yang ada untuk melembutkan touch down dengan cara menaikkan collective untuk menambah pitch angle dari rotor blade. Lift akan bertambah dan rotor RPM turun dengan cepat, helikopter kemudian mendarat dengan aman di tanah. Di bawah ini adalah ilustrasinya.

 

 

Manuver helikopter ketika autorotation tidak berbeda dengan powered flight, yang perlu diperhatikan adalah rotor RPM akan bertambah / berkurang mengikuti manuver yang dilakukan, sebagai contoh bila helikopter banking maka load factor bertambah dan rotor RPM akan bertambah sehingga penerbang harus menambah pitch angle dari rotor blade dengan collective. Hal ini agar rotor tidak overspeed.

Maneuver autorotation sendiri bisa bermacam–macam: straight in, 180 auto, 360, S-turn, backward, sideward, dan sebagainya yang disesuaikan dengan kondisi demi untuk mencapai forced landing area yang diinginkan.

Ini hanya sedikit pengantar mengenai autorotation, dari sisi aerodinamiknya bagaimana udara bisa memutar rotor blade bisa dilihat di link dibawah ini :
http://www.copters.com/aero/autorotation.html