Mungkin lebih tepat kalau ditulis dengan tanda kutip “Stupidity” and awareness. “Kebodohan” dan kewaspadaan. Memangnya ada hubungannya kebodohan dan kewaspadaan?

Tulisan ini saya buat untuk menyikapi beberapa komentar orang atau media umum tentang insiden dalam penerbangan. Begitu mudahnya untuk menuding satu pihak sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap sebuah insiden. Bahkan kalau hal itu bukan insiden pun, tetap saja media berlomba untuk menulis berita dengan harapan bisa menjual lebih banyak beritanya meskipun menyesatkan.

Contohnya, di media umum, sebuah pesawat yang tidak bisa mendarat di tujuan karena cuaca lalu mendarat normal di bandar udara lain disebut mendarat darurat. Padahal tidak ada kejadian darurat. Apakah pengendara motor yang berteduh di bawah jembatan pada waktu hujan disebut berhenti darurat? Apakah pengendara mobil yang mengalihkan perjalanannya ke rute lain karena macet disebut belok darurat? Berikutnya penumpang marah karena menganggap penerbangnya tidak becus. Padahal nyawa mereka baru saja diselamatkan oleh penerbangnya yang mengambil keputusan benar.

Kembali ke insiden dalam penerbangan. Seorang praktisi penerbangan bisa saja menjadi faktor yang berkontribusi terhadap sebuah kejadian baik insiden maupun kecelakaan. Dalam hal ini apakah berarti dia bertanggung jawab terhadap kesalahan tersebut? Tidak. Dalam penerbangan dia tidak menjadi terdakwa, tetapi menjadi faktor yang dipelajari untuk mencegah hal yang sama untuk terjadi kembali. Jika kita baca laporan kecelakaan penerbangan bisa kita lihat faktor-faktor pendukung kecelakaan tersebut. Faktor-faktor inilah yang harus dihilangkan, bukan orangnya yang harus dihukum.

Sebagai praktisi penerbangan, kita harus mengerti bahwa kita bisa menjadi faktor pendukung sebuah kejadian. Kita harus tahu bahwa kepandaian seseorang bukan jaminan untuk mencegah sebuah insiden. Kelelahan, hipoksia, beban kerja yang tinggi, kerja di malam hari, masalah rumah tangga, padatnya lalu lintas jalan raya, bisa menyebabkan kewaspadaan kita turun dan memicu sebuah insiden.

Pada saat inilah kita menjadi “bodoh”. Bahkan saya bisa menulis tanpa tanda kutip, kita bisa jadi bodoh karena faktor-faktor di atas. Orang yang menjadi ATC, penerbang, teknisi pesawat terbang, tentunya tidak bodoh. Bahkan banyak dari mereka datang dari sekolah bersubsidi pemerintah yang persaingannya ketat. Mereka dipilih dari orang-orang yang teruji kemampuannya. Yang paling hebat dari yang hebat. Minimal kemampuan akademis dan fisik. Tapi dalam kondisi dengan tekanan tinggi dan kelelahan (fatigue), mereka juga bisa jadi bodoh.

Hal yang kita perlukan pada saat kita berada pada “masa rawan” dalam kebodohan ini adalah kewaspadaan. Waspada untuk mengenali turunnya kemampuan kita. Mengenali bahwa kita lelah, mengenali bahwa kita berada di bawah tekanan pekerjaan, mengenali bahwa kita tidak berada pada kinerja yang normal.
Dengan kewaspadaan ini kita akan tahu kita berada pada keadaan “bodoh” dan lambat. Beritahu rekan kerja kita agar dia bisa membantu kita dengan maksimal. Hal ini sangat penting bagi kita yang bekerja berpasangan atau dalam sebuah grup. Kalau tidak diberitahu tentang turunnya kinerja kita, pasangan atau teman grup kita akan menganggap pekerjaan kita sudah dilakukan dengan baik. Mereka tidak akan memeriksanya kembali hasil pekerjaan kita. Jika kita memberitahukan teman kerja kita bahwa kinerja kita turun, mereka akan membantu memeriksa hasil kerja kita juga.

Bagaimana dengan single pilot? Sebagai single pilot, kita juga tidak sendirian. Dalam banyak penerbangan, ATC ada di sebelah kita. Minta radar vector adalah contoh membagi beban pada ATC sebagai rekan kerja penerbang. Jangan malu memberitahu ATC jika kita kehilangan orientasi arah.
“PAN PAN PAN PK-ABCD lost navigation, request assistance/request radar vector”, atau bahkan jangan malu-malu untuk menyatakan MAYDAY.

Jangan biarkan kebodohan menguasai kita.

Aman dan nyaman di angkasa Indonesia.