Image
Cessna C-185 di Kahayan
Majalah Angkasa pada Editorial terbitan Maret 2008 menyatakan bahwa “Geografi Indonesia tetap menuntut kita mengembangkan kedirgantaraan”. Rasanya hanya dengan transportasi udara, Wawasan Nusantara (mungkin Anda masih ingat kuliah Kewiraan semester dua) dapat diwujudkan.

Sebenarnya hal ini sudah dilakukan sejak lama pasca Proklamasi Kemerdekaan dengan berdirinya Indonesian Airways dan kemudian dilakukan TNI-AU oleh DAUM (Djawatan Angkutan Udara Militer) untuk menghubungkan daerah-daerah terisolir di Indonesia. Salah satu jenis pesawat yang menjadi andalan adalah PBY5A Catalina (amphibi) RI-006 dengan pilot James Fleming dan Abdul Fatah. Lucunya setelah 63 tahun Indonesia merdeka tipe amphibi sudah jarang terlihat lagi di bandara, palingan Cessna Caravan milik sebuah perusahaan charter swasta nasional selebihnya capungnya MAF.

Ketika berselancar di internet ada data sejarah bahwa maskapai kebanggaan bangsa Garuda Indonesia pernah mengoperasikan PBY5 Catalina jaman Perang Dunia II. Saking terobsesi dengan amphibi sejak kecil maka anak penulis diberi nama pesawat dua habitat ini. Pesawat ini mblusuk sampai sungai-sungai pedalaman Indonesia untuk menyelenggarakan transportasi bangsa khusus untuk membuka daerah yang terpencil. Bangga bahwa pelaku bisnis transportasi udara kita saat itu begitu idealis untuk memajukan bangsa, namun kini apakah kita pernah mendengar operasi semacam ini lagi? Menurut data-data yang penulis miliki (maaf jika meleset) operator amphibian di pedalaman Indonesia hanya MAF (penerbangan misi Kristen), itu juga menggunakan capung ABG (angkatan babe gue) buatan Cessna.
Pertanyaan penulis emang susah mengoperasikan amphibian, apa saja sih kesulitannya? Mungkin rekan-rekan sopir yang memiliki Seaplane Rating dapat berbagi dan mengungkapkan apa yang tak penulis ketahui tentang detil kesulitannya. Penulis berpikir pada pola hub and spoke di Indonesia terutama untuk remote area yang memiliki sungai yang cukup lebarnya, amphibian bisa menjadi pilihan yang andal. Hal ini didasari pertimbangan ekonomi daripada harus membangun bandara perintis yang paling sederhana sekalipun. Apakah akan pulang modal membangun dengan airstrip beserta perangkatnya? Sedangkan pada Seaplane Base, ponton akses bisa dipindahkan untuk dipakai ditempat lain saat operasional merugi. Rasanya memanfaatkan fasilitas alami akan menghemat banyak duit.

Penulis ingin mengambil contoh masalah di propinsi Lampung, yang terdapat sungai-sungai cukup besar di Kabupaten Way Kanan (yang melewati Taman Nasional Way Kambas). Penduduk disana banyak kehidupannya lumayan karena ada tambak-tambak udang rakyat maupun swasta nasional, belum lagi pemukiman transmigran gelombang pertama dari Bali dan Jawa yang bermukim di sekitar Sungai Seputih (Seputih Mataram, Seputih Surabaya dll). Banyak dari mereka adalah pengusaha sukses angkutan antar kabupaten. Sedangkan di Labuhan Meringgai kini ada pelabuhan pendaratan ikan yang diproyeksikan jadi andalan pendapatan masyarakat di Lampung, dimana ada kolam tenang yang cukup laik untuk pesawat komuter amphibian.

Lucunya jika ingin terbang ke Jakarta mereka harus menuju bandara Radin Inten II dulu yang berjarak tempuh 2-3 jam dari kampung mereka, jauh lebih lama daripada waktu tempuh terbang dari Radin Inten II – Soetta atau Halim yang sekitar 50-an menit. Padahal menurut mereka, dibutuhkan transport murah yang memungkinkan mereka untuk kembali sore hari itu juga. Belum lagi lelah yang dirasakan karena perjalanan darat yang ditempuh melalui jalan yang banyak rusak dibanyak tempat tertentu. Ini hanya gambaran situasi ruas-ruas jalan daerah transmigrasi awal yang tersebar di Lampung. Ditambah lagi kabupaten atau kecamatan yang jalannya minim plus rawan longsor seperti di pesisir sebelah barat Lampung mulai dari Suoh sampai Krui misalnya.
Image
Layout rencana Bandara Serai, Krui, Lampung Barat

Di Lampung pula penulis pernah bertemu rombongan bule yang menggerutu karena harus menempuh delapan jam lebih untuk sampai ke Biha (dekat Krui) melalui jalan darat, Biha adalah pantai di pesisir Barat Lampung yang sangat cantik dengan grade ombak yang menyaingi Nias bagi para peselancar. Mereka mendesak penulis mencarikan pesawat sewaan berapapun harganya, namun penulis tertawakan karena landasan di Krui baru sekedar wacana saat itu. Masih di pesisir barat Lampung, ada Teluk Kiluan yang sangat cantik ditambah dengan penangkaran Lumba-lumba karena secara alamiah teluk ini jalur lintasan migrasi Lumba-lumba. Jika masih belum puas Anda masih bisa mengunjungi gugusan Krakatau dan bersantai disekitar Kalianda yang bertebaran pantai-pantai yang eksotis. Siapa yang tidak ingin  melihat keindahan daerah ini?

Singkat kata singkat cerita, masih banyak tempat-tempat yang berpotensi di tanah air namun keterbatasan alat transportasi menyebabkan mandeknya laju pembangunan ditanah air, yang akhirnya berakibat mandeknya potensi pendapatan masyarakat pula. Penerbangan perintis yang mblusuk (masuk sampai ujungnya dunia) adalah jawaban yang reasonable pada kondisi keuangan negeri kita yang tidak kunjung membaik. Bukan ngejek, kenyataannya transporasi air baik sungai, danau dan penyebrangan maupun pelayaran antar pulau memakan waktu yang lama. Apalagi jalan darat dimasa krisis yang nggak selesai-selesai ini. Hanya saja dibutuhkan inovasi usaha dengan mengganti avtur/avgas dengan mogas (Pertamax Plus) atau solar karena harga avtur/avgas yang makin tinggi toh sudah banyak pabrikan ternama yang memproduksi mesin yang certified untuk kebutuhan ini.

Jika saja pemda atau pengusaha angkutan udara jeli, Twin Otter DHC-6 dapat dipasangi float untuk kebutuhan operasi amphibi. Siapa sih yang menyangsikan keandalan Twin Otter untuk nyari duit? Selain payloadnya lumayan, berang-berang ini lincah untuk mblusuk  ke airstrip yang nggak punya final sekalipun macam di Ilu- Irian Jaya. Tanyakan saja salah satu penerbang Twin Otter yang sekarang terbang di Qatar dengan A330. Dengan float tidak akan mengurangi kelincahan pesawat ini untuk beroperasi seperti biasanya. Ditambah lagi jika mau memodifikasi dapurpacu dengan certified biofuel engine dari jarak/jelantah yang kini ditawarkan di internet, maka biaya operasional akan makin ditekan, hanya saja bau exhaustnya akan bervariasi dari ayam goreng sampai ikan asin (just kidding). Namun, sekarang bisnisman mana yang percaya ide kreatif namun “gila” seperti ini.
Image
Amphibian Twin Otter

Penulis pernah menulis di tabloid lokal Lampung membahas peluang-peluang bisnis dengan amphibian namun tidak ada minat sama sekali dari pebisnis lokal. Suatu yang patut disayangkan karena Lampung adalah melting pot Indonesia sejati karena mayoritas bermukim suku Jawa, Bali, Lampung, Bugis dan Jaseng (Jawa Serang - sebutan warga Lampung yang berasal dari Banten) dan suku-suku Indonesia lainnya yang merupakan faktor pendukung untuk pariwisata. Selain itu penduduk Lampung banyak yang berpenghasilan tinggi terutama dari perkebunan kopi, nanas dan pisang, dan perikanan. Tingginya penghasilan tidak dibarengi dengan mobilitas yang baik sehingga pemerataan didaerah pedalaman tidak baik, sudah rahasia umum jika petani kopi Lampung memiliki kulkas, TV besar dan barang mewah lain padahal tidak terjangkau listrik. Alhasil kulkas mereka hanya digunakan untuk lemari pakaian, ini kenyataan!

Rasanya under estimate jika orang mengatakan penduduk pedalaman tidak mampu menggunakan jasa transportasi udara, karena kelihatannya tidak hanya di Sumatera saja penduduk pedalaman memiliki kemampuan finansial cukup. Di Kalimantan dan Irian sudah dibuktikan oleh penerbangan-penerbangan misi yang melayani rute pedalaman. Berhubung Indonesia memiliki topografi yang didominasi perairan daripada daratan maka amphibi-lah yang bisa memenuhi tantangan alamiah di negara kita. Ditambah dengan sarana pendukung yang relatif lebih murah daripada bandara biasa rasanya jawaban untuk membuka isolasi pedalaman amphibian adalah jawaban yang pas untuk Indonesia. Yang harus dicermati adalah pemilihan pesawat yang tepat agar pengusaha bisa untung dan tetap memenuhi standar kelaikan penerbangan.
Image

Pesawat amphibi selain bisa untuk transportasi orang dan barang juga andal dijadikan pemadam kebakaran, baik kelas emprit seperti CL-45 dari Bombardier Kanada atau Be-12 “Tchaika” dari Rusia. Khusus untuk Tchaika selain dapat untuk melayani angkutan sipil pesawat ini masih digunakan untuk pemadam kebakaran dan patroli maritim anti kapal selam jarak sedang oleh negara bekas Uni Sovyet. Toh ketika penulis surfing di web Beriev, mereka masih memproduksi tipe ini. Dan kini Beriev memproduksi Be-112 yang katanya cocok untuk perintis dengan 27 penumpang, MTOW 11 ton maximal payload 2.350 kg, masih katanya, ground/water takeoff  roll 860m sedangkan landing roll 515m.
Image
Jika menggunakan 2хРТ6А-67R Be-112 bisa dikebut sampai 230 knots sedangkan economic cruise 205 knots, kayaknya bisa dicoba untuk Pemda yang memiliki banyak daerah terpencil namun masih terbatas dananya untuk menyediakan jalan propinsi atau kabupaten. Repotnya, membuka pikiran birokrat di daerah untuk menggunakan moda transport ini entah karena pola pikir yang masih tradisional dan cenderung berbelit-belit, tahu toh maksudnya? Padahal dengan membuka isolasi akan menambah Pendapatan Asli Daerah bersangkutan sekaligus mensejahterakan warga setempat. Kerjasama operasi mungkin bisa jadi solusi yang pas jika Pemda belum memiliki AOC untuk CASR 135 atau 121. Selain itu toh jika personil Pemda selama ini menggunakan pesawat untuk perjalanan dinas dengan pesawat komersial reguler, cara ini bisa menghemat Biaya Perjalanan Dinas.
Image
Sedangkan diatas kelas itu pemerintah Indonesia pernah menggunakan Be-200 untuk memadamkam kebakaran di Sumatera dan Kalimantan. Daripada menyewa terus dari luar negeri, Pemda bisa memiliki secara patungan atau menyewakan pada Pemda lain yang memiliki kerawanan yang sama. Keunggulan amphibian fire fighter ini adalah turn over yang singkat mulai mengeduk 12 m3 (12 ton) air dan menyiramkannya kemudian mengeduk lagi. Air yang disiramkan diambil dari perairan pantai maupun sungai yang banyak terdapat di tanah air. Pendek kata sortie per hari yang mampu dilakukan jauh lebih banyak daripada fire fighter non amphibi seperti yang digunakan di negara Paman Sam seperti yang pernah penulis lihat saat commercial training di California. Perlu ada pesawat ginian karena dongkol juga setiap terbang saat kemarau selalu berurusan dengan jarak pandang yang terbatas karena asap.

Penulis tertarik dengan jenis Be-200 karena konfigurasinya yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi pesawat berpenumpang sekitar 75 orang katanya. Dengan 2 mesin jetnya jenis ini lumayan untuk jadi pengganti pesawat legendaris Garuda seperti F-28 atau sekelas diatasnya yaitu DC-9. Keunggulan pesawat yang multi role sepertinya tidak menjadi perhatian para pembuat keputusan, entah kenapa, tapi mudah-mudahan ada alasan terbaik sehingga mereka tidak memilih pesawat multi role. Apalagi jika operator dibawah CASR 135 alias charteran, mereka bisa switch konfigurasi pesawatnya menjadi apapun pesanan pengguna jasanya. Namun kok kayaknya dari negara-negara barat (terutama Amerika) penulis belum pernah mendengar tipe yang sekelas, apakah eksperimen mereka tertinggal atau nggak interest dengan amphibi karena runway yang begitu banyak dinegaranya?

Masih dari kelas amphibi Rusia, ada wahana Ekranoplane yang menggunakan ground effect untuk mengangkat badan pesawat sehingga melayang diatas ombak. Ekranoplane tipe Orlenok dengan payload 140 ton (majalah Angkasa No.11, 1998) agaknya bisa dipertimbangkan penggunaannya, selain itu ada kelas Lun yang payload-nya 400 ton saat butuh raksasa pengangkut. Lebih dari itu mungkin militer kita bisa mempertimbangkan penggunaan “monster Laut Kaspi” yang panjangnya 100m dan payload 554 ton dengan speed 500km/jam untuk memanggul 6 rudal permukaan-permukaan 3M80 ‘Moskit’. Ketimbang Jetfoil yang masih menyentuh air  saat jelajah, pasti keunggulan speednya jauh unggul karena menggunakan ground effect. Dengan kecepatan yang tinggi dan daya angkut yang besar wahana ini cocok dijadikan platform pencegat / Marine Patrol Aircraft / Vessel militer Indonesia.
Image
Light Ekranoplane

Mungkin wahana Ekranoplane ini bisa mengefisienkan semua ongkos mulai investasi hingga operasional sehingga jadi andalan untuk PT. ASDP bahkan PELNI ketimbang bikin jembatan antar pulau yang ambisius. Toh negeri maju macam Inggris masih menggunakan Hovercraft untuk mengarungi selatnya. Ironisnya ada pegawai pemerintahan yang mengatakan hal ini sulit dilakukan, karena efesiensi biaya berarti sulit untuk dijadikan lahan korupsi. Sebel juga tiap wacana efesiensi yang baru ada dipikiran saja, sudah ada wacana tolakan dari kalangan birokrasi. Harus kembali diingat karena Indonesia adalah negara kepulauan, pola pikir kita harus sesuai dengan kondisi negeri kita. Bagaimana kita mengarungi dan menjaga lautan kita jika wahana yang digunakan ibaratnya masih berupa sampan atau sepeda air?

Mungkin kebanyakan owner usaha transportasi kita masih terpengaruh visi dari negara asing yang kondisinya berbeda dengan Indonesia yang negara kepulauan, atau jangan-jangan cuma penulis yang terlampau idealis dan tidak membumi sehingga tidak memiliki visi yang pas dengan keadaan Indonesia saat ini? Untuk transportasi Indonesia penulis rasa motto TNI-AL dan TNI-AU digabungkan saja menjadi “Di laut dan angkasa tanah air kita jaya”. Jayalah Indonesiaku, bangkitlah dari keterpurukan krismon yang berkelanjutan.