CFIT, Controlled Flight Into Terrain

Controlled Flight Into Terrain adalah sebuah istilah yang artinya sebuah pesawat yang laik terbang dan tidak mengalami kerusakan serta di bawah kendali pilotnya, tanpa sengaja terbang dan menabrak terrain/daratan, obstacle/penghalang, atau air. Penerbangnya biasanya tidak sadar sampai akhirnya terlambat untuk menghindar. Dalam sejarah CFIT, bahkan penerbang yang sangat berpengalamanpun bisa melakukan CFIT tanpa sengaja. Hal ini terjadi karena kelelahan (fatigue), kehilangan orientasi posisi pesawat (disorientation), atau kehilangan kewaspadaan akan keadaan (situational awareness)

Situasi ini biasanya terjadi di tempat dengan dataran tinggi seperti perbukitan dan pegunungan, atau terjadi di dalam keadaan dengan jarak pandang yang rendah dan di dalam awan. CFIT sering terjadi pada saat pesawat turun dari ketinggian jelajah atau pada waktu mendarat, di dekat bandar udara. CFIT juga bisa terjadi karena kerusakan sebuah alat navigasi di pesawat yang salah memandu penerbangnya. Biarpun jarak pandang yang baik, kerusakan ini biasanya memberi informasi salah pada penerbang dan penerbang mengikuti informasi ini bukannya melihat keluar. Kerusakan ini juga biasanya kecil, tidak mempengaruhi kinerja pesawat tapi mengganggu konsentrasi penerbangnya.

Berikut ini adalah penjelasan yang penulis coba buat untuk mudah dibaca masyarakat awam berdasarkan laporan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) mengenai kecelakaan pesawat PK-BRD yang dioperasikan oleh PT Aviastar yang jatuh di Wamena pada tanggal 9 April 2009 dalam hubungannya dengan CFIT. Seperti juga laporan sebenarnya, tulisan ini juga dibuat bukan untuk menyalahkan satu atau lebih pihak yang terkait, tapi semata-mata lebih kepada upaya menghindari terjadinya kecelakaan yang sama, dan meningkatkan keamanan transportasi udara di Indonesia. Bagi pembaca dengan latar belakang dunia penerbangan disarankan untuk membaca laporan asli yang diterbitkan oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi). Tautan URL untuk mengunduh berkas laporan KNKT dalam bentuk pdf kami sediakan di bagian akhir artikel ini. 

BAe 146, Courtesy of BAE  Systems (Operations) Limited

Penerbangan Sentani - Wamena

Pada pagi hari tanggal 9 April 2009, sebuah pesawat British Aerospace Bae 146-300 dengan registrasi PK-BRD yang dioperasikan oleh PT. Aviastar Mandiri Airlines sebagai penerbangan penumpang dan kargo berjadwal, terbang dari bandar udara Sentani ke bandar udara Wamena. Awak pesawat terdiri dari dua penerbang, dua awak kabin, seorang teknisi dan seorang load master.

Sedikit tentang pesawat ini, Bae 146 adalah pesawat jet bermesin 4 untuk jarak pendek buatan Inggris antara tahun 1983 sampai 1992. Ada 3 versi pesawat ini yaitu versi untuk penumpang, versi kargo atau versi quick change yang bisa diubah dengan cepat antara kedua versi tersebut.

Ada 3 jenis dari pesawat ini -100, -200, dan -300. Pesawat Bae 146-100 mempunyai kapasitas 70-80 kursi, versi -200 berkapasitas 85-100 kursi dan versi -300 berkapasitas 100-112 kursi. Sejak tahun 1987 kokpit pesawat ini sudah dilengkapi dengan tampilan EFIS (Electronic Flight Instrument System) yang modern yang menggantikan bentuk instrumen konvensional yang sudah mulai ditinggalkan. Pesawat ini sendiri konon dibuat dengan 4 mesin jet untuk mengurangi kebisingan karena mesin yang dipakai cukup kecil dan di saat yang bersamaan mempunyai tenaga cukup untuk lepas landas di landasan yang pendek. Hal ini dikenal dengan STOL (Short Take Off and Landing).

Pesawat Aviastar sendiri adalah buatan tahun 1990, merupakan pesawat penumpang yang diubah oleh operatornya menjadi sebuah pesawat kombi. Pesawat kombinasi yang bagian kabinnya dibagi dua. Sebagian kabin untuk penumpang dan sebagian lagi untuk kargo.

Aslinya pesawat ini mempunyai 110 kursi penumpang, tapi dengan kombinasi ini hanya ada 42 kursi penumpang. Ruang sisa yang ada menjadi tempat untuk kargo. Perubahan atau dalam istilah penerbangan dikenal dengan alteration ini disetujui oleh DGCA, Directorate General of Civil Aviation dari Departemen Perhubungan Indonesia. Meskipun demikian tidak ada approval/persetujuan dari pabrik pesawat untuk perubahan ini.

Setelah perubahan konfigurasi pesawat, terdapat penurunan maksimum beban yang dapat dibawa oleh pesawat sesuai dengan angka modifikasi yang disetujui oleh DGCA.

 Berat

Sebelum modifikasi 

Setelah modifikasi 

Maximum design ramp weight

44,452 kg

43,132 kg

Maximum design take-off weight

44,255 kg

42,935 kg 

Maximum design landing weight 

38,328 kg 

37,008 kg 

Maximum design zero fuel weight 

35,606 kg 

34,286 kg 

Angka di bawah kolom setelah modifikasi adalah angka yang harus di pakai untuk perhitungan berat pesawat. Biarpun disimpulkan dalam laporan KNKT bahwa perhitungan Weight and Balance bukanlah penyebab kecelakaan, tapi ditemukan kesalahan pemakaian angka di atas. Berat pesawat pada waktu take-off di Sentani : 39,789 kg tidak menjadi masalah karena berat maksimum untuk take off adalah 42,935 kg (lihat tabel di atas).

Tapi berat yang direncanakan untuk mendarat di Wamena adalah 38,319 kg, lebih dari satu ton lebih berat dari angka maksimum yang seharusnya dibolehkan untuk mendarat (Maximum landing weight= 37008 kg).

Dalam lembar weight and balance trim sheet, berat pesawat yang ditulis di kolom landing weight adalah berat pada waktu take off dikurangi berat bahan bakar yang habis dipakai selama perjalanan (trip fuel). Seharusnya landing weight ini tidak boleh lebih dari 37,008 kg. 

landing weight = take off weight - trip fuel

Tidak jelas dalam laporan ini apakah kesalahan di atas diketahui oleh perusahaan, dilakukan secara sengaja atau hanya merupakan kesalahan informasi yang didapat oleh load master, petugas yang menghitung berat pesawat dan muatannya. Karena biasanya load master hanya menghitung berdasarkan data yang diterima dari perusahaan.

PIC adalah handling pilot

Pada sebuah penerbangan di antara dua orang penerbang, hanya seorang yang akan mengemudikan pesawat (handling pilot/pilot flying) di satu waktu, sedangkan seorang lagi akan melakukan komunikasi radio dan dokumentasi serta perhitungan navigasi, seperti pencatatan waktu, perkiraan waktu tiba di satu posisi/waypoint, dan lain lain. Penerbang yang melakukan hal kedua ini disebut Monitoring Pilot atau Pilot Non Flying (PNF).

Pada penerbangan itu, pilot in command (PIC) atau biasa disebut kapten adalah penerbang yang melakukan kendali atas pesawat (handling pilot) dan kopilot melakukan pekerjaan sebagai penerbang pendukung (support/monitoring pilot) yang melakukan komunikasi radio. Kapten memiliki total jam terbang 8305 jam terbang dan kopilot memiliki 12389 jam terbang.

Dari Sentani pesawat terbang dengan aturan instrument flight rules (IFR) yaitu melakukan penerbangan dengan hanya berdasarkan instrumen dan alat navigasi, baik yang ada di pesawat maupun radio pemancar untuk navigasi yang ada di darat.

  Cuaca di Wamena pada saat kecelakaan

Turun dari ketinggian jelajah

Pada waktu turun dari ketinggian jelajah, penerbangan ini menjadi penerbangan VFR (Visual Flight Rules) yang berdasarkan visual dengan melihat ke daratan. Hal ini karena tidak ada prosedur pendaratan (instrument approach procedure) yang menggunakan alat bantu radio navigasi yang ada di darat yang bisa digunakan di Wamena. Keadaan awan yang rendah berada di arah pendaratan untuk runway 15 di Wamena.

Cuaca di Wamena dilaporkan tidak berangin/ kurang dari 5 knots (wind calm), jarak pandang 8 km tapi ada kabut dan awan rendah yang dasarnya adalah 300 meter dari permukaan, suhu 17° C, tekanan udara 1010 hPa (hecto Pascal).

Pada waktu melakukan approach pertama kalinya, seorang penerbang dari Aviastar yang ada di sebuah pesawat yang sedang dalam persiapan take off di darat memberikan pendapatnya, “kalo pake one five di right track di final bisa insight”. Maksudnya landasan bisa terlihat kalau terbang agak ke kanan dari arah landasan 15.

EGPWS (Enhanced Ground Proximity Warning System)

Seperti pesawat jet modern lainnya, pesawat British Aerospace Bae 146 yang dioperasikan oleh Aviastar ini juga dilengkapi dengan EGPWS (Enhanced Ground Proximity Warning System). EGPWS adalah alat hasil pengembangan yang lebih canggih dari GPWS yaitu alat untuk memberikan peringatan pada penerbang jika pesawat mendekati/akan menabrak daratan atau pegunungan (terrain). Cara kerja alat ini adalah membandingkan ketinggian dan kecepatan pesawat mendekati daratan/terrain. Sedangkan EGPWS yang lebih canggih akan membandingkan ketinggian dan posisi pesawat dengan data pegunungan yang tersimpan di memorinya sehingga jika ada data gunung di depan posisi pesawat pada saat itu, alat EGPWS akan berbunyi lebih awal. Bandingkan dengan GPWS yang hanya bisa mendeteksi daratan jika pesawat memang sudah dekat dengan daratan.

Kami juga berikan link untuk penjelasan dengan video tentang EGPWS ini di bagian akhir tulisan.

Pada waktu pertama kali mencoba melakukan approach (mendekati landasan untuk mendarat) dan ketika turun melewati 6234 kaki dari permukaan laut, atau 790 kaki di atas permukaan daratan, alat EGPWS berbunyi “ TERRAIN TERRAIN”.

Ketinggian yang dibaca di instrument pesawat adalah ketinggian dari permukaan laut berdasarkan perbedaan tekanan udara. Sedangkan ketinggian di atas permukaan daratan diukur oleh alat yang bernama radio altimeter yang mengirim sinyal ke daratan dan mengukur sinyal yang kembali untuk mengetahui tinggi pesawat dari daratan. Harap diperhatikan pula bahwa daratan yang ada di sekitar Wamena tidaklah rata melainkan terdiri dari bukit dan gunung-gunung. Hal ini menyebabkan ketinggian pesawat dari daratan bisa berbeda-beda biarpun ketinggian terhadap permukaan laut adalah sama.

Perbedaan ketinggian ini bisa dilihat dari pembacaan di instrument, pada ketinggian 6234 di atas permukaan laut pesawat berada pada ketinggian hanya 790 kaki dari permukaan bukit, sedangkan setelah pesawat turun ke 6200 kaki, tingginya dari darat malah 991 kaki.

Ketika pesawat melewati 6,200 kaki (991 kaki menurut radio altimeter) pada waktu turun/descent, EGPWS berbunyi ‘WHOOP WHOOP, PULL UP’, yang maksudnya menyuruh penerbang untuk naik menghindari pegunungan.

Pesawat berbelok agak ke kiri ke arah landasan pada waktu melewati 5,719 kaki (540 kaki radio altimeter). Pada waktu melewati 5,693 kaki (516 kaki radio altimeter) awak pesawat menghubungi ATC dan menyatakan bahwa landasan sudah terlihat. Pada waktu berbelok ke kiri untuk mendekati landasan dan ketika melewati ketinggian 5,531 kaki (320 kaki radio altimeter), PIC berkata “wah nembak lagi”. Maksudnya adalah overshoot. Overshoot adalah posisi pesawat agak lebih tinggi dari seharusnya dan kalau dipaksakan maka akan mendarat di tengah landasan.

Nampaknya PIC mencoba menurunkan pesawat sehingga EGPWS kembali berbunyi: ‘SINK RATE’, maksudnya pesawat turun terlalu cepat dan berbahaya, lalu diikuti dengan peringatan ‘WHOOP WHOOP, PULL UP’ sebanyak 5 kali. Kata-kata “SINK RATE” akan keluar dari komputer pesawat jika pesawat turun mendekati daratan dengan cepat. Sedangkan ‘WHOOP WHOOP, PULL UP’ akan keluar jika peringatan “SINK RATE” tidak diindahkan.

 

 

 Go Around adalah manuver normal membatalkan pendaratan

Kopilot mengingatkan PIC dengan berkata “overshoot, overshoot ! ” pada waktu peringatan ‘WHOOP WHOOP, PULL UP’ berbunyi untuk kedua kalinya. Kemudian PIC melakukan go around.

Go-around adalah manuver membatalkan pendaratan pada waktu akan mendarat di landasan/runway 15. Go around adalah sebuah manuver yang normal di mana penerbang membatalkan pendaratan karena posisi pesawat yang kurang sesuai atau jarak pandang yang terlalu rendah. Banyak orang mengira jika pesawat membatalkan pendaratan maka telah terjadi sesuatu yang berbahaya, padahal sebaliknya, melakukan go around adalah menghindari bahaya. Pesawat Bae 146 ini kemudian melakukan go around di ketinggian yang cukup rendah di atas landasan.

Pesawat kemudian terbang rendah setelah melewati landasan dan melakukan belokan ke kanan untuk masuk ke downwind leg dari circuit. Saksi mata menyatakan mereka melihat pesawat masuk ke downwind leg tapi pesawat tidak terlihat di downwind leg karena terbang rendah.

 

ATC menawarkan landasan 33 (arah sebaliknya) tapi awak pesawat memilih untuk tetap memakai landasan 15 dan masuk ke pola pendaratan right circuit untuk landasan 15.

Pada saat pesawat sejajar dengan ujung landasan 15, roda pendaratan diturunkan untuk approach yang kedua kalinya. Berbelok kanan ke right base pesawat dibelokkan dengan kemiringan 30° secara konstan. Sekitar 100° dari arah menuju landasan, kopilot berkata “OK, sungai ketok” [OK sungai kelihatan, bhs jawa]. 4 detik kemudian pada waktu berada 85° dari landasan kopilot berkata “Pike clear” [Bukit Pike terlihat jelas].

Ketika pesawat berada 65° dari arah landasan/runway heading, kopilot berkata “be careful pak”. Tidak jelas kenapa kopilot berkata seperti itu. Orang ketiga yang ada di kokpit berkata “di kiri ada bukit”. Kemudian pesawat berbelok 41 derajat ke kanan dan kopilot berkata “pak, pak, pak, open pak, kiri, kiri”. Maksudnya mungkin adalah open power atau menambah tenaga karena ada perbukitan di sebelah kiri.

Tenaga mesin langsung dinaikkan seketika setelah kopilot berkata “open pak”. FDR (Flight Data Recorder) menunjukkan bahwa tenaga mesin naik dengan cepat ke 92% pada mesin no 2 dan 4, dan 87% pada mesin 1 dan 3.

Kopilot berkata “kiri pak” pada waktu PIC memiringkan pesawat ke kiri dan EGPWS kembali berbunyi ‘DON’T SINK, DON’T SINK’ yang artinya mengingatkan penerbang untuk tidak turun terlalu cepat. Pada waktu kemiringan mencapai 40°, hidung pesawat turun ke -10°. Kopilot mengingatkan PIC “don’t sink !”. PIC menjawab “ya, ya”. Pada waktu berbelok dengan normal pesawat biasanya hanya dimiringkan 25°-30° saja. Kemiringan ini disebut Bank Angle. Jika kemiringan ini berlebihan maka EGPWS juga akan memberi peringatan. Sementara hidung pesawat juga terlihat terlalu turun.

Tiga detik kemudian kopilot berkata “left turn”. EGPWS kembali berbunyi ‘TOO LOW – TERRAIN’, ‘BANK ANGLE - BANK ANGLE’, ‘TERRAIN – TERRAIN’.

Pada saat yang bersamaan kopilot berkata dengan nada yang tinggi “pak, pak, pak”. Hidung pesawat turun ke -6° degrees pada waktu kemiringan mencapai 49° ke kiri. Pada saat itu landing gear di angkat dan EGPWS berbunyi TERRAIN, sedetik kemudian kopilot berkata “pak”. Pada waktu menabrak daratan roda pendaratan baru dinaikkan setengahnya, kemiringan pesawat 16° dan hidung pesawat naik 12° serta kecepatannya 146 knots.

Bagian kokpit PK-BRDBagian ekor

Penyelidikan KNKT 

Setelah kecelakaan ini, KNKT segera mengadakan penyelidikan dan menggunakan semua data yang ada. Data dari rekaman pesawat FDR (Flight Data Recorder) yang diambil dari pesawat pada tanggal 10 April 2009 segera dikirim ke Australian Transport Safety Bureau di Canberra pada tanggal 14 April 2009 untuk dijalankan ulang dan di analisa.

Pabrik EGPWS juga melakukan simulasi berdasarkan data yang didapat dari FDR, yaitu

  • heading; arah pesawat,
  • airspeed; kecepatan pesawat,
  • pitch and roll attitude; kemiringan dan sudut angguk pesawat,
  • uncorrected altitude; indikasi ketinggian yang belum dikoreksi,
  • radio altitude; ketinggian dari radio altimeter,
  • temperature; suhu,
  • landing gear position; posisi roda pendarat,
  • flap position/angle; posisi flaps
  • time before impact;  waktu sebelum kecelakaan,
  • time stamped EGPWS warnings.  Peringatan GPWS yang dilengkapi dengan petunjuk waktu,
  • QNH, tekanan udara
  • Altitude, ketinggian pesawat,
  • true airspeed, kecepatan asli pesawat,
  • groundspeed, kecepatan pesawat terhadap daratan,
  • track, lintasan pesawat.

Data lain yang dipakai adalah kordinat dari lokasi kecelakaan, dan daftar bunyi peringatan yang didapat dari CVR (Cockpit Voice Recorder). 

Temuan dan rekomendasi KNKT 

Selain yang sudah diceritakan dalam bagian awal artikel ini, KNKT dalam penyelidikannnya menemukan ketidak sesuaian seperti:

  • Formulir yang digunakan untuk menghitung weight and balance adalah formulir untuk konfigurasi penumpang saja.
  • Awak pesawat tidak melakukan tindakan seharusnya pada waktu ada peringatan dari EGPWS, ada dua belas kali peringatan ‘DON’T SINK’ dan tiga ‘TOO LOW TERRAIN’ dan satu kali  ‘TERRAIN TERRAIN’.
  • Awak pesawat tidak mengikuti prosedur seharusnya dari operator untuk melakukan visual approach
  • Tidak ada bukti bahwa awak pesawat telah mendapatkan pelatihan tentang EGPWS yang tertulis di Company Training Manual.
  • Approach dan right circuit tidak dilakukan sesuai dengan Company Operations Procedures.
  • Enhanced Look-Ahead function dari EGPWS sepertinya dimatikan padahal tidak ada prosedur untuk melakukan ini. Hal ini biasa dipraktekkan di lapangan.

Berdasarkan penyelidikan dan rekomendasi dari KNKT berapa tindakan telah dilakukan untuk menghindari kecelakaan yang sama:

  • Operator mengubah prosedur missed approach/go around di Wamena.
  • DGCA mengeluarkan NOTAM yang mengubah data ketinggian bandar udara Wamena menjadi 5430 kaki dari 5084 kaki yang tertulis di Aeronautical Information Publication.

Kesimpulan 

Banyak lagi hal yang sebenarnya bisa dibahas dari laporan ini, seperti perubahan (alteration) konfigurasi pesawat, cara kerja EGPWS secara teknis dan lain-lain. Tapi karena keterbatasan pengetahuan penulis dibidang tersebut maka penulis tidak membahasnya lebih lanjut. Semoga jika ada orang lain yang lebih kompeten untuk menjelaskannya akan ada tulisan lain mengenai hal-hal tersebut. Jika ada kesalahan penulis dalam menguraikan kejadian ini kami mohon untuk mengirimkan kritik dan saran anda ke Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. untuk perbaikan.

Sebagai penerbang  kami hanya bisa berdoa semoga selalu dilimpahi keselamatan oleh Allah SWT. amin.  

Laporan KNKT:
http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/baru/pre/Final_Preliminary_Report_PK-BRD.pdf
pictures are from accident report of KNKT and courtesy of BAE Systems (Operations) Limited.