1.Pendahuluan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UURI No.1/2009) yang ditanda tangani tanggal 12 Januari 2009 sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam konvensi Cape Town 2001, berlakunya undang-undang secara extra-teritorial, kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan palayan umum (BLU), berbagai jenis angkutan udara baik niaga maupun bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, kepemilikan modal harus single majority tetap berada pada warga negara Indonesia, perusahaan penerbangan minimum mempunyai 10 (sepuluh) pesawat udara, 5 lima dimiliki dan 5 dikuasai,

komponen tarif yang dihitung berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara palayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional. Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas. Undang-undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab usul pemeritah semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Tulisan ini bermaksud menguraikan lembaga penyelenggara layanan umum yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU), investigasi kecelakaan pesawat udara dan single ATS provider, namun demikian sebelum menguraikan hal itu, lebih dahulu diuraikan pemisahan antara regulator dengan operator sebagai berikut

 

2.Pemisahan Regulator Dengan Operator


Suasana kebatinan UURI No.1/2009 adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Dengan pemisahan tersebut masing-masing mempunyai peran yang jelas, terpisah, tidak tumpang tindih, transparan. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, semua kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bilamana boleh meminjam istilah dalam UURI No.5/19602, perkataan “menguasai” berarti negara berwenang “mengatur” penggunaan atau kemanfaatan “kegiatan yang menguasai orang banyak” Berdasarkan kewenangan tersebut, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kewenangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, memisah-misahkan kegiatan-kegiatan yang menguasai hidup orang banyak yang dilakukan oleh regulator atau oleh operator, agar regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak sebagai regulator.


Kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi tidak menguntungkan, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini unit penyelenggara pemerintah yang merupakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation), sedangan kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi menguntungkan, maka diserahkan kepada operator baik milik negara maupun swasta yang merupakan pelayanan keikut sertaan swasta (private servive participant) dengan memungut biaya dari penerima jasa, sedangkan kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat membiayai diri (cost recovery) dapat diselenggarakan oleh badan tertentu (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum (public service obligation) dapat dikurangi oleh badan tersebut.


Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah muncul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, sehingga lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.


Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.


Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan, tetapi akhir-akhir ini di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN), lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, dan Badan Layanan Umum (BLU) yang akan diterapkan di bidang penerbangan.


Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah (a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, (b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, (c) kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat, (d) kegiatan tersebut tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan, (e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility, (f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat, (g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa, sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) ciri-cirinya adalah (a) kegiatan tersebut menguasai hajat hidup orang banyak, (b) kegiatan tersebut menguntungkan, (c) kegiatan tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN), (d) pemberi pelayanan boleh memungut keuntungan dari penerima layanan, (e) pemberi pelayanan bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan, (e) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi, (f) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela.


Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaikdan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah (a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, (b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, tetapi mampu membiayai diri sendiri (cost recovery), (c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat, (d) kegiatan tersebut memungut biaya dari penerima jasa layanan sesuai dengan kebutuhan teknologi, (e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility, (f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat, (g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.


Bilamana kreteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b) tidak berorientasi pada keuntungan, (c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,(d) biaya yang dipungut dikembalikan kepada penerima jasa pelayanan, (e) berdasarkan teori iure imperium, pemberi pelayanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability (f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat, (g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa. Berdasarkan kreteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator berbentuk BLU dan PT sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh operator dalam bentuk BLU, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati, secara teoritis ada ketidak adilan bilamana mereka tidak menikmati jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai.

3.Badan Layanan Umum (BLU)


Dalam Pasal 64 UURI No.1/2009 diatur lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering dikenal sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dalam tulisan penulis yang disampaikan pada diskusi keselamatan penerbangan yang dilangsungkan di Ujung Pandang tanggal 4 Desember 2008 yang lalu telah diungkapkan perlunya pembentukan badan pelayanan umum. Badan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan penerbangan. Semua pihak mengetahui bahwa sumber daya manusia, khususnya tenaga penerbang, teknisi dan operasional baik kuantitas maupun kualitas di bidang penerbangan tidak memadai dibandingkan dengan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, sementara itu pada saat ini terdapat tidak kurang dari 225 penerbang, teknisi maupun operasional yang bekerja di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia, Qatar Airways dll karena bekerja di Indonesia tidak memperoleh penghasilan yang memadai. Mereka bekerja di perusahaan penerbangan asing memperoleh pendapatan berkisar dari US$ 4.500 sampai dengan US$ 18,000 tergantung dari pengalaman dan rating yang dimiliki.


Tenaga professional di bidang penerbangan merupakan aset perusahaan penerbangan yang sangat menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Kehilangan pesawat udara dapat segera diganti dengan pesawat udara yang baru, bilamana perusahaan penerbangan tidak mempunyai dana yang cukup, perusahaan penerbangan dapat meminjam dana kepada penyedia dana, tetapi berbeda dengan tenaga professional seperti penerbang dan teknisi pesawat udara. Untuk memperoleh sumber daya manusia tertentu yang memenuhi kebutuhan, tidak cukup dengan tersedianya dana, melainkan memerlukan pengalaman yang panjang, pendidikan yang lama, biaya yang mahal dan kemampuannya.

Lahirnya badan layanan umum dapat menciptakan dana yang diperoleh dari perusahaan penerbangan maupun perbengkelan yang dilayani. Pada saat ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan menawarkan kepada Pemerintah, untuk meng-audit, menginspeksi dan perusahaan penerbangan dan perbengkelan tersebut bersedia membayar pelayanan yang diberikan, namun demikian Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak bersedia menerima pembayaran yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan maupun perbengkelan karena tidak ada dasar hukumnya. Selama ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan pesawat udara menerima layanan audit tidak dipungut bayaran oleh pemerintah, dengan kata lain perusahaan penerbangan maupun perbengkelan memperoleh pelayanan gratis artinya pelayanan tersebut dibayar oleh masyarakat yang dibebankan pada pajak rakyat. Secara filosofis terdapat ketidak-adilan, karena masyarakat yang tidak menikmati manfaat jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai audit terhadap perusahaan penerbangan. Dengan lahirnya lembaga pelayanan umum tersebut, maka biaya layanan audit dapat dibebankan kepada perusahaan penerbangan yang selanjutnya dapat dibebankan kepada pengguna jasa transportasi udara, wajar dibebani biaya audit karena mereka yang menikmati jasa transportasi udara.


Lembaga layanan umum tersebut antara lain pemberian sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kepada setiap pesawat udara yang dioperasikan, sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate) kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga, sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate) kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara unutk angkutan bukan niaga, pemberian lisensi ahli perawatan pesawat udara, perawatan dan pemeriksaan pesawat udara, pemeriksaan dan perawatan (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan, kendali mutu (quality assurance manuals), untuk menjamin dan mempertahankan kinerja perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling dan komponennya secara berkelanjutan, suku cadang untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan berkelanjutan dan system manajemen keselamatan penerbangan, pemberian lisensi atau sertifikat kompeten setelah memenuhi persyaratan administrative, sehat jasmani dan rohani, dan lulus dalam ujian. Pelayanan semacam ini pada saat ini tidak pernah dipungut biaya kepada perusahaan penerbangan maupun pada perbengkelan pesawat udara, dengan kata lain biaya yang diperlukan untuk pelayanan tersebut dibebankan pada anggaran belanja negara yang bersumber dari pajak pendapatan.


Dana yang diperoleh dari penyelenggara layanan umum tersebut tidak bersifat menguntungkan (profit-making) melainkan bersifat membiayai diri sendiri (cost recovery) yang dapat dikembalikan lagi kepada pengguna jasa transportasi udara berupa peningkatan fasilitas penerbangan, dapat digunakan untuk memanggil kembali tenaga-tenaga professional yang bekerja di di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia, Qatar dll sehingga dapat mencukupi sumber daya manusia yang diperlukan dan dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan karyawan tanpa harus membebani belanja negara, meningkatkan kinerja, keselamatan penerbangan, semuanya akan dapat menimbulkan kepercayaan pengguna jasa transportasi udara. Dalam Pasal 66 dikatakan ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelayanan umum serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam peraturan Menteri, semoga hal ini segera menjadi kenyataan.


4.Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara

UURI No.1/2009 juga mengatur investigasi kecelakaan pesawat udara. Menurut Pasal 357 UURI No.1/2009, pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan oleh komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara, komite tersebut independen yang memiliki anggota dipilih berdasarkan standar kompetensi. Komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara, penelitian, penyelidikan lanjutan, laporan akhir dan memberikan rekomendasi yang segera disampaikan kepada pihak yang terkait dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama.

Menurut Pasal 358 UURI No.1/2009, komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara kepada Menteri Perhubungan dan kepada para pihak yang terkait. Sebelum laporan hasil investigasi, konsep laporan akhir harus disampaikan kepada negara tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan, negara perancang pesawat udara, negara pembuat pesawat udara untuk memperoleh tanggapan, namun demikian keputusan akhir hasil investigasi tetap berada pada komite nasional. Rancangan laporan akhir tersebut harus disampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan. Dalam hal laporan akhir tersebut belum dapat diselesaikan dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan, maka komite nasional investigasi wajib memberi laporan perkembangan (intermediate report) hasil investigasi setiap bulannya.

Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara dan mengembil bagian dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau barang-barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serious dengan ancaman hukuman pidana atau denda. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pejabat yang berwenang atau aparat keamaan di lokasi kecelakaan untuk kepentingan operasi keselamatan penerbangan. Pejabat yang berwenang atau aparat keamanan setempat dapat mengubah letak pesawat udara, memindahkan ke tempat lain, merusak pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk kepentingan keselamatan penerbangan, misalnya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di ujung landasan, maka pejabat yang berwenang dapat memindahkan pesawat udara tersebut sebelum diadakan investigasi supaya tidak mengganggu operasi keselamatan penerbangan di bandar udara.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, komite nasional mempunyai kewajiban untuk investigasi kecelakaan pesawat udara nasional maupun asing yang terjadi di Indonesia. Dalam komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di Indonesia, maka wakil resmi dari negara (accredited representative) tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan (operator), negara tempat pesawat udara dirancang dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikut sertakan dalam investigasi kecelakaan pesawat udara sepanjang hukum nasional mengizinkan. Kedatangan mereka diperlukan, terutama sekali wakil resmi dari negara tempat pesawat udara didaftarkan karena semua dokumen yang berkenaan dengan pesawat udara yang diperlukan tersimpan, sedangkan negara-negara lain yang penting kehadirannya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama. Dalam hal pesawat udara Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia, maka komite nasional wajib menghadiri dalam invenstigasi kecelakaan sebagai peninjau dan dapat membantu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk investigasi.

Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi kecelakaan yang dibutuhkan oleh komite nasional, tidak hanya itu saja semua institusi baik otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, dan/atau perusahaan penerbangan wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara, sepanjang dapat melakukan bantuan, sesuai dengan kemampuan mereka.

Bilamana terjadi kecelakaan pesawat udara di luar daerah lingkungan kerja bandar udara, pejabat yang berwenang atau aparat keamanan dilokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk melindungi personel pesawat udara dan penumpangnya, mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan. Tindakan-tindakan tersebut berlangsung terus sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.

Masalah lain yang perlu dijelaskan di sini adalah penggunaan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara sebagai alat bukti dalam proses peradilan, karena bilamana hasil investigasi digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan akan bertentangan dengan maksud dan tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara. Berbicara mengenai hasil investigasi kecelakaan pesawat udara, sering terjadi kontraversial di dalam masyarakat. Kontraversial demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi dalam forum internasional di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) maupun dinegara-negara anggota ICAO seperti di Amerika Serikat dan Belanda.

Dalam hubungannya dengan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata maupun pidana, Pasal 359 secara tegas mengatakan bahwa hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, kecuali informasi yang tidak tergolong sebagai informasi rahasia dapat diumumkan kepada masyarakat. Informasi yang tergolong rahasia (non-disclosure records) antara lain pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi, rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara, informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian, rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan-catan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut, rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services) dan pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorders), karena itu rekaman yang muncul di internet dalam kasus kecelakaan pesawat udara Adam Air beberapa waktu yang lalu dapat digolongkan rahasia yang tidak dapat dipublikasikan.

Masalah kerahasian hasil investigasi juga dapat ditemui di dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944, hukum nasional Amerika Serikat, Belanda dan Jepang. Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944, apabila negara yang melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara berpendapat setiap penyebar luasan hasil investigasi akan mempunyai dampak negatif terhadap tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara serta investigasi yang akan datang, maka negara tersebut tidak perlu menyebar luaskan hasil investigasi tersebut, hal ini juga terjadi di Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan negara-negara maju lainnya.

Komite nasional independen yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden tersebut, di samping melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara juga melakukan penyelidikan lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan pesawat udara. Penyelidikan lanjutan dimaksudkan suatu proses untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang dilakukan berdasarkah hasil pelatihan dan pengalamannya (actions, omissions or decisions taken by them that are commencsurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging whether is acceptable or unacceptable). Dalam pelaksanaan penyelidikan, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan untuk penegakan etika profesi, mediasi dan penafsiran penerapan regulasi penerbangan.

Majelis profesi penerbangan yang dibentuk oleh komite nasional tersebut mempunyai tugas (a) menegakkan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan, (b) melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan, dan (c) menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan. Penegakan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan tersebut mempunyai arti sangat penting untuk menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga mereka dapat dilindungi bilaman telah menjalankan tugas sebagaimana layakanya seorang profesional, demikian pula tugas mediasi antara penyedia jasa transportasi dengan penggunanya perlu dilakukan untuk menjamin keseimbangan keduanya, sedangkan tugas penafsiran penerapan regulasi penerbangan demikian mempunyai peran yang sangat penting, mengingat regulasi-regulasi penerbangan yang selalu mengacu kepada rekomendasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) tersebut mempunyai pengertian-pengertian yang kadang-kadang sangat berbeda dengan regulasi selain penerbangan.

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dibentuk oleh komite nasional tersebut paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah dan masyarakat yang kompeten dibidang hukum, pesawat udara, navigasi penerbangan, bandar udara, kedokteran penerbangan dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Berdasarkan ketentuan tersebut masih terbuka profesi-profesi penerbangan lainnya bilamana diperlukan misalnya meteorologi penerbangan, pencarian dan pertolongan (search and rescue). Majelis penerbangan yang mempunyai tugas tersebut diberi wewenang memberikan rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serious terhadap pesawat udara dan memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan. Lebih lanjut mengenai penyidikan lanjutan diatur dengan peraturan Menteri.

5.Single Air Traffic Provider

Pelayanan navigasi penerbangan pada saat ini dilakukan oleh PT (Pesero) Angkasa Pura I dan II, Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, TNI-AU dan Batam. Pelayanan navigasi penerbangan di dalam satu negara berdaulat mustinya dilakukan dalam satu pelayanan (single provider),single air traffic services provider. sehingga terdapat keseragaman pelayanan, fasilitas, maupun peralatannya. Menyadari hal tersebut Undang-undang Penerbangan yang baru disahkan, membuka kemungkinan penyelenggaraan dalam satu tangan yang dikenal dengan istilah

Pasal 271 UURI No.1/2009, menyatakan bahwa pelayanan navigasi penerbangan menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah kedaulatan Republik Indonesia, untuk maksud tersebut pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Pelayanan navigasi penerbangan tersebut harus mengutamakan keselamatan penerbangan, tidak berorientasi kepada keuntungan, secara finansial dapat mandiri dan biaya yang diterima dari pemberian pelayanan dikembalikan lagi untuk biaya investasi dan peningkatan operasional penerbangan. Lembaga penyelenggara penerbangan yang dibentuk bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan.

Lembaga penyelenggara navigasi penerbangan wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan kepada pesawat udara, sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan. Guna memenuhi kewajiban pelayanan navigasi penerbangan tersebut, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedures), mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar, mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi, dan memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.

Dalam hal-hal tertentu penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan berhak mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat udara, helikopter atau pesawat udara sipil jenis tertentu yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan yang pelaksanaan lebih lanjut tentang pengalihan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Setiap unit penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan oleh Menteri Perhubungan. Unit-unit pelayanan navigasi penerbangan tersebut terdiri dari unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara, unit pelayanan navigasi penerbangan pendekatan (approach) dan unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.

Pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan bertujuan untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di udara, mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacles) di daerah manufer, memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan, memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan penerbangan dan effisiensi penerbangan, dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue). Dalam penyelenggaraan navigasi penerbangan terdapat berbagai pelayanan yang diberikan misalnya pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (air traffic control services), pelayanan informasi penerbangan (flight information services), pelayana saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service). Penetapan jenis-jenis pelayanan tersebut dengan mempertimbangkan jenis lalu lintas penerbangan, kapadatan arus lalu lintas penerbangan, kondisi sistem teknologi dan topografi serta fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di dalam pesawat udara.

Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992, dalam undang-undang yang baru juga mengatur kewajiban memberi pelayanan navigasi penerbangan terhadap semua pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah Republik Indonesia. Setiap pesawat udara yang memperoleh pelayanan navigasi penerbangan dikenakan biaya pelayanan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.

Dengan terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan tersebut, merupakan satu langkah maju guna meningkatkan pelayanan penerbangan, memelihara fasilitas navigasi penerbangan tanpa harus membebani anggaran pendapatan dan belanja negara, terdapat keseragaman pelayanan navigasi penerbangan, meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang pada gilirannya dapat meningkatkan keselamatan penerbangan.

1 Dosen STMT-Trisakti, Universitas Tarumanagara, Nara sumber pembahasan UURI No.1/2009

2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria