Zaman ini ditandai dengan berbagai macam bentuk teknologi automasi. Bidang aviasi juga ditandai dengan berkembangnya teknologi pesawat tanpa awak atau yang sering dikenal dengan singkatan UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Teknologi ini selain berkembang untuk keperluan militer juga dikembangkan untuk misi-misi di mana sangat berbahaya bagi manusia untuk memasuki daerah tersebut, misalnya ketika perlu melakukan SAR(search-and-rescue) di daerah yang beracun. Penggunaan UAV memudahkan pencarian karena pesawat ini dapat dikirim ke daerah tersebut dan melakukan pengamatan (surveillance) secara mendetail sebelum manusia turun ke daerah tersebut untuk melakukan penyelamatan.
 
gull36_cad.jpg picture by adhikalee
 
UAV umumnya didesain dengan ukuran yang tidak besar. Selain menghemat bahan bakar penggerak UAV, ini juga memudahkan maneuver dari UAV itu sendiri. Bayangkan ketika anda perlu meluncurkan UAV ini ke suatu gedung yang akan roboh dan mencari apakah masih ada orang di dalam gedung tersebut. Dengan ukuran yang kecil, UAV mampu bergerak dengan leluasa di dalam gedung tersebut. Berdasarkan ukurannya, UAV dapat dikelompokkan kembali menjadi UAV secara umum, MAV (Micro Aerial Vehicle) dan NAV (Nano Aerial Vehicle).
 
Namun, permasalahan timbul karena dengan ukurannya yang kecil tersebut, tidak banyak beban/payload yang dapat dibawa oleh UAV tersebut. Sering kali kita ingin menggunakan suatu UAV yang sudah tersedia di pasar(off-the-shelves) dan memodifikasinya untuk misi kita secara khusus. Karena keterbatasan beban yang dapat dibawa tadi, sering kali 1 UAV tidak memadai untuk misi tersebut. Oleh karena itu, kita memerlukan lebih dari 1 UAV.
 
Ambil contoh ketika kita ingin menggunakan UAV ini untuk penginderaan jarak jauh (remote sensing). Kita akan meluncurkan 10 UAV masing-masing dengan kamera on-board agar dapat mendapatkan gambaran 3-D dari areal yang diperiksa. Masing-masing UAV akan mengirimkan data gambar dari kamera masing-masing ke ground station untuk diproses lebih lanjut. Tentu saja apabila masing-masing UAV terbang secara acak proses penggabungan dan pemrosesan data lebih lanjut di ground station akan sangat sulit. Oleh karena itu, kita membutuhkan UAV tersebut untuk terbang dalam suatu susunan/tatanan tertentu agar data dapat diproses dengan mudah. Hal ini menuntut pengembangan teknologi terbang formasi secara otomatis.

 

Secara garis besar, ada 2 bagian besar kajian terbang formasi ini. Pertama adalah bagaimana menjaga agar masing-masing UAV terbang dalam suatu konfigurasi tertentu. Artinya, kontroler yang didesain harus dapat mempertahankan suatu tatanan geometris dari formasi tersebut. Umumnya kontroler yang didesain menerapkan prinsip perubahan dari geometri formasi tersebut adalah suatu disturbance dan harus diatenuasi. Selain itu, beberapa kontroler nonlinear seperti swarming intelligence juga sangat hangat di dunia akademis.
 
Selain formation keeping, bidang yang juga sedang digeluti adalah tentang rekonfigurasi dari geometri formasi itu sendiri. Tidak ada satu formasi yang cocok selama dalam suatu misi. Sering kali konfigurasi tersebut harus berubah. Perubahan konfigurasi ini dapat dicapai melalu beberapa metodologi. Beberapa metode yang lumayan populer antara lain offline path planning, graph search dan online optimization-based trajectory planning. Masing-masing dari metode ini memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing.
 
5UAV_V_form_to_Echelon-1.jpg picture by adhikalee
 
Offline path planning adalah perencanaan jalur rekonfigurasi yang dilakukan sebelum misi dilaksanakan. Dengan cara ini, jalur untuk berbagai macam kombinasi rekonfigurasi dihitung oleh sebuar komputer di ground station dan kemudian di simpan ke dalam suatu koleksi trajectory library. Ketika ada perintah untuk melakukan rekonfigurasi, trajectory masing-masing UAV dikirim ke UAV yang bersangkutan untuk kemudian diikuti (trajectory tracking). Keuntungan dari metode ini adalah berbagai macam perilaku nonlinear dan limitasi sistem UAV (misalnya maximum turn rate, maximum speed, minimum speed, dll) dapat diperhitungkan ketika melakukan optimisasi ini. Namun, karena beratnya model yang harus dioptimisasi, metode ini umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga tidak bisa dilakukan secara real-time.
 
inline_23switch.jpg picture by adhikalee
 
Graph search dengan metode Voronoi search adalah metodologi untuk menentukan trajectory mana yang harus dipilih oleh suatu UAV untuk pindah dari lokasi A ke lokasi B. Metode ini mendiskretisasi ruang 3-D ke dalam rusuk-rusuk yang dapat dikombinasikan menjadi suatu trajectory dari titik A ke titik B. Dari sekian banyak kombinasi, akan dipilih jalur yang optimum terhadap suatu metrik tertentu, misalnya waktu atau banyaknya bahan bakar yang diperlukan untuk rekonfigurasi tersebut. Metode ini sangat populer karena metode ini adalah suatu bentuk pencarian jalur optimum yang sistematik. Namun, apabila ruang yang perlu didiskretisasi besar, permasalahan dari metodologi ini adalah besarnya memory yang diperlukan untuk melakukan penyimpanan data.
 
 
Seringkali dibutuhkan suatu bentuk perencanaan trajektori yang dapat dilakukan real-time sesuai dengan situasi dan kondisi dari UAV saat itu. Oleh karena itu, metode-metode perencanaan trajektori penerbangan secara online juga terus dikembangkan. Ada berbagai macam strategi yang digunakan untuk tujuan ini, namun karena perencanaan secara real-time membutuhkan tidak hanya optimalitas solusi tetapi juga batas waktu keluarnya solusi, maka setiap strategi tetap memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Daerah ini masih sangat hangat diteliti.
 
Referensi: