Untuk siswa penerbang yang akan terbang cross country, navigasi adalah suatu yang akan dilatih dalam silabus anda. Ada beberapa jenis navigasi yang digunakan untuk menuju dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu bandara ke bandara lain. Dalam tulisan ini kita akan membahas navigasi yang sering dipakai siswa penerbang yaitu pilotage dan dead reckoning. Walaupun sepertinya kelihatan berbeda, tapi dua cara ini biasa dipakai bersamaan. Navigasi yang paling tua adalah pilotage, yaitu navigasi menggunakan checkpoint atau landmark, seperti danau, sungai, jalan, bangunan yang khas, kontur permukaan seperti bukit atau gunung dan juga rel kereta.
Penerbang-penerbang jaman dahulu terbang dari satu kota ke kota lain, atau dari satu kampung ke kampung lain menggunakan teknik ini. Teknik inipun masih umum digunakan oleh penerbang-penerbang di pedalaman Irian. Karenanya pengenalan kota, kampung, atau checkpoint (patokan) lainnya harus dikuasai oleh para penerbang yang menggunakan cara ini. Terbang dengan cara pilotage membutuhkan pemilihan ketinggian yang cukup supaya bisa mengenali landmark sepanjang rute yang ada, karena jika terbang terlampau tinggi, anda akan kesulitan mengenali checkpoint yang ada. Di sisi lain, terbang terlampau rendah akan muncul masalah seperti gedung atau bukit/gunung yang tinggi, selain itu juga, terbang terlampau rendah memberikan perspektif yang jelek dalam mengidentifikasi sebuah objek. Harus tetap diingat aturan terbang VFR yang berlaku pada kuadran-kuadran ketinggian saat memilih ketinggian jelajah.
Contohnya jika terbang di daerah yang memiliki elevasi 1000 feet diatas permukaan laut, dan course terbang anda 100 maka tinggi jelajah minimum adalah 3500 feet. Jika course terbang 300 maka tinggi jelajah 4500 dan seterusnya.
Satu keuntungan dari pilotage adalah kemudahan aplikasinya. Saat anda sudah mulai training dan memiliki pengalaman terbang, relatif mudah untuk terbang di daerah itu lagi dan tidak perlu instrumen khusus. Umumnya pesawat-pesawat latih dasar dirancang untuk bernavigasi secara pilotage. Kesulitannya adalah jika di daerah yang bersangkutan memiliki sedikit landmark, pilotage akan sulit untuk dilakukan karena navigasi pilotage itu terbatas hanya pada saat jarak pandang cukup bagus. Jika jarak pandang menurun oleh kabut, asap, dan fog, kemampuan bernavigasi secara pilotage juga turun. karena kita tidak bisa melihat tempat atau titik yang dijadikan patokan
MEMILIH CHECKPOINT
Checkpoint digunakan untuk menentukan posisi pesawat sepanjang rute penerbangan, dan hanya berguna jika dapat teridentifikasi secara jelas. Dalam penentuan checkpoint pilihlah yang anda kenali dan dapat jelas terlihat jelas dari udara. Latihan dan pengalaman akan membantu mengevaluasi simbol-simbol di peta pada tempat terbang yang berguna dalam bernavigasi.
Tidak ada peraturan yang spesifik dalam memilih checkpoint karena tiap rute yang dijalani pasti berbeda. Tapi hindari memilih landmark tunggal sebagai satu-satunya referensi, jika memungkinkan. Jangan berpatokan pada menara pemancar misalnya, karena di tempat-tempat lain juga akan banyak terdapat menara pemancar.
Saat terbang dengan pilotage penting untuk memiliki gambaran secara menyeluruh (global). Anda harus mengenali daerah anda berada dan mencocokkan dengan apa yang ada di peta sehingga didapat posisi tepat di mana anda berada. Anda sebaiknya terbang dengan peta yang masih berlaku biarpun sangat mengenal daerah yang diterbangi, karena dengan pesatnya pembangunan maka akan banyak terdapat landmark yang baru dan tidak tergambar di peta yang kadaluwarsa.
Persimpangan seperti simpang jalan, sungai, jembatan layang, kabel SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi ) biasanya menjadi patokan yang bagus untuk menentukan posisi pesawat. Namun harus tetap mencocokkannya dengan landmark & kontur yang tertera di peta.
Saat mengikuti jalan raya atau tol sebagai checkpoint hati-hati keliru dengan jalan lainnya yang mungkin sama besarnya. Peta biasanya tidak mencantumkan semua jalan darat yang ada walau terlihat jelas dari udara. Karena itu hati-hatilah juga dengan pembangunan jalan baru jangan sampai dianggap sebagai checkpoint.
Sungai adalah checkpoint yang bagus untuk jadi patokan karena biasanya sungai memiliki liku-liku bentuk yang unik. Hanya saja masalahnya sungai sering memiliki kelokan badan sungai yang sulit diikuti. Selain itu juga saat banjir lekuk-lekuk asli sungai sering hilang sehingga kitapun kehilangan patokan, begitu juga ketika mengering di musim kemarau kita akan bingung dengan bentuknya. Danau pun demikian, sebuah patokan bagus untuk checkpoint tapi memiliki kekurangan yang hampir sama dengan sungai.
Penerbang-penerbang jaman dahulu terbang dari satu kota ke kota lain, atau dari satu kampung ke kampung lain menggunakan teknik ini. Teknik inipun masih umum digunakan oleh penerbang-penerbang di pedalaman Irian. Karenanya pengenalan kota, kampung, atau checkpoint (patokan) lainnya harus dikuasai oleh para penerbang yang menggunakan cara ini. Terbang dengan cara pilotage membutuhkan pemilihan ketinggian yang cukup supaya bisa mengenali landmark sepanjang rute yang ada, karena jika terbang terlampau tinggi, anda akan kesulitan mengenali checkpoint yang ada. Di sisi lain, terbang terlampau rendah akan muncul masalah seperti gedung atau bukit/gunung yang tinggi, selain itu juga, terbang terlampau rendah memberikan perspektif yang jelek dalam mengidentifikasi sebuah objek. Harus tetap diingat aturan terbang VFR yang berlaku pada kuadran-kuadran ketinggian saat memilih ketinggian jelajah.
Contohnya jika terbang di daerah yang memiliki elevasi 1000 feet diatas permukaan laut, dan course terbang anda 100 maka tinggi jelajah minimum adalah 3500 feet. Jika course terbang 300 maka tinggi jelajah 4500 dan seterusnya.
Satu keuntungan dari pilotage adalah kemudahan aplikasinya. Saat anda sudah mulai training dan memiliki pengalaman terbang, relatif mudah untuk terbang di daerah itu lagi dan tidak perlu instrumen khusus. Umumnya pesawat-pesawat latih dasar dirancang untuk bernavigasi secara pilotage. Kesulitannya adalah jika di daerah yang bersangkutan memiliki sedikit landmark, pilotage akan sulit untuk dilakukan karena navigasi pilotage itu terbatas hanya pada saat jarak pandang cukup bagus. Jika jarak pandang menurun oleh kabut, asap, dan fog, kemampuan bernavigasi secara pilotage juga turun. karena kita tidak bisa melihat tempat atau titik yang dijadikan patokan
MEMILIH CHECKPOINT
Checkpoint digunakan untuk menentukan posisi pesawat sepanjang rute penerbangan, dan hanya berguna jika dapat teridentifikasi secara jelas. Dalam penentuan checkpoint pilihlah yang anda kenali dan dapat jelas terlihat jelas dari udara. Latihan dan pengalaman akan membantu mengevaluasi simbol-simbol di peta pada tempat terbang yang berguna dalam bernavigasi.
Tidak ada peraturan yang spesifik dalam memilih checkpoint karena tiap rute yang dijalani pasti berbeda. Tapi hindari memilih landmark tunggal sebagai satu-satunya referensi, jika memungkinkan. Jangan berpatokan pada menara pemancar misalnya, karena di tempat-tempat lain juga akan banyak terdapat menara pemancar.
Saat terbang dengan pilotage penting untuk memiliki gambaran secara menyeluruh (global). Anda harus mengenali daerah anda berada dan mencocokkan dengan apa yang ada di peta sehingga didapat posisi tepat di mana anda berada. Anda sebaiknya terbang dengan peta yang masih berlaku biarpun sangat mengenal daerah yang diterbangi, karena dengan pesatnya pembangunan maka akan banyak terdapat landmark yang baru dan tidak tergambar di peta yang kadaluwarsa.
Persimpangan seperti simpang jalan, sungai, jembatan layang, kabel SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi ) biasanya menjadi patokan yang bagus untuk menentukan posisi pesawat. Namun harus tetap mencocokkannya dengan landmark & kontur yang tertera di peta.
Saat mengikuti jalan raya atau tol sebagai checkpoint hati-hati keliru dengan jalan lainnya yang mungkin sama besarnya. Peta biasanya tidak mencantumkan semua jalan darat yang ada walau terlihat jelas dari udara. Karena itu hati-hatilah juga dengan pembangunan jalan baru jangan sampai dianggap sebagai checkpoint.
Sungai adalah checkpoint yang bagus untuk jadi patokan karena biasanya sungai memiliki liku-liku bentuk yang unik. Hanya saja masalahnya sungai sering memiliki kelokan badan sungai yang sulit diikuti. Selain itu juga saat banjir lekuk-lekuk asli sungai sering hilang sehingga kitapun kehilangan patokan, begitu juga ketika mengering di musim kemarau kita akan bingung dengan bentuknya. Danau pun demikian, sebuah patokan bagus untuk checkpoint tapi memiliki kekurangan yang hampir sama dengan sungai.
MENGIKUTI RUTE
Dua pendekatan dasar dari pilotage adalah mengikuti bentuk topografis seperti sungai dan jalan raya. Hal ini sering dilakukan saat sulit menarik garis lurus dari titik berangkat ke tujuan, yang membuat rute penerbangan menjadi zigzag. Prakteknya sering mustahil karena banyak tanda-tanda yang berubah, seperti gedung-gedung, danau, jalan yang bertambah atau hilang, jika ini terjadi anda dapat tetap terbang berpatokan pada rute semula (heading/track). Kerugian zigzag adalah jarak penerbangan akan bertambah, yang juga menambah konsumsi bahan bakar dan waktu. Karenanya jika tidak ada obstacle (penghalang) yang berarti, kita sebaiknya membuat garis lurus dan membuat patokan-patokan hanya sebagai referensi di kanan atau kiri garis lurus tadi. Mungkin sudah saatnya sekolah terbang untuk mendidik efesiensi terbang termasuk efisiensi pengunaan bahan bakar sejak dini yang dimulai sejak siswa masuk tahap cross country.
ORIENTASI
Karena pilotage mengandalkan navigasi visual maka menjaga ketepatan orientasi antara rute yang direncanakan dengan yang dijalani jadi sangat penting. Masalahnya jika terjadi disorientasi saat terbang di daerah yang kurang familier atau yang minim patokan, maka akan sulit menentukan posisi. Kuncinya adalah mempelajari dengan seksama area yang akan diterbangi.
Persiapan cross country dimulai dengan mempelajari peta area/daerah (aerial chart/VFR chart) yang akan diterbangi. Coba tarik garis lurus titik berangkat dan tujuan. Pelajari patokan-patokan yang ada di kiri & kanan garis itu. Kemudian tandai dengan stabilo patokan yang ada di peta sehingga saat terbang akan mudah diingat. Hal ini penting walau rute terbang yang singkat. Seiring dengan pengalaman cross country anda dan makin familier suatu area maka lama kelamaan patokan yang anda butuhkan akan berkurang.
Ketika anda menarik garis dan menandainya, pelajari lagi dengan seksama keseluruhan rute. Perhatikan juga airspace sebuah bandara, yakinkan anda tidak mengganggu lalu lintas bandara yang bersangkutan. Selain itu perhatikan ketinggian yang sesuai dengan kuadran yang tepat untuk menghindari tabrakan di udara. Juga harus disiapkan frekuensi-frekuensi radio pengatur lalu lintas udara di area sepanjang rute sehingga anda dapat cepat mendapatkan traffic advisories terutama di sekitar bandara yang padat.
DEAD RECKONING
Cara navigasi selain pilotage adalah dead reckoning yaitu dengan menggunakan perhitungan matematis. Dead reckoning adalah sebuah teknik navigasi yang berdasar pada hitungan waktu, kecepatan, jarak, dan arah. Ada 4 variabel untuk menentukan heading dan ground speed yaitu true airspeed, course, arah dan kecepatan angin. Faktor-faktor inilah yang menentukan pergerakan pesawat sepanjang rute yang sudah ditentukan. Sebelum menghitung untuk menentukan heading dan ground speed, anda harus menarik garis lurus dengan plotter navigasi.
Dua pendekatan dasar dari pilotage adalah mengikuti bentuk topografis seperti sungai dan jalan raya. Hal ini sering dilakukan saat sulit menarik garis lurus dari titik berangkat ke tujuan, yang membuat rute penerbangan menjadi zigzag. Prakteknya sering mustahil karena banyak tanda-tanda yang berubah, seperti gedung-gedung, danau, jalan yang bertambah atau hilang, jika ini terjadi anda dapat tetap terbang berpatokan pada rute semula (heading/track). Kerugian zigzag adalah jarak penerbangan akan bertambah, yang juga menambah konsumsi bahan bakar dan waktu. Karenanya jika tidak ada obstacle (penghalang) yang berarti, kita sebaiknya membuat garis lurus dan membuat patokan-patokan hanya sebagai referensi di kanan atau kiri garis lurus tadi. Mungkin sudah saatnya sekolah terbang untuk mendidik efesiensi terbang termasuk efisiensi pengunaan bahan bakar sejak dini yang dimulai sejak siswa masuk tahap cross country.
ORIENTASI
Karena pilotage mengandalkan navigasi visual maka menjaga ketepatan orientasi antara rute yang direncanakan dengan yang dijalani jadi sangat penting. Masalahnya jika terjadi disorientasi saat terbang di daerah yang kurang familier atau yang minim patokan, maka akan sulit menentukan posisi. Kuncinya adalah mempelajari dengan seksama area yang akan diterbangi.
Persiapan cross country dimulai dengan mempelajari peta area/daerah (aerial chart/VFR chart) yang akan diterbangi. Coba tarik garis lurus titik berangkat dan tujuan. Pelajari patokan-patokan yang ada di kiri & kanan garis itu. Kemudian tandai dengan stabilo patokan yang ada di peta sehingga saat terbang akan mudah diingat. Hal ini penting walau rute terbang yang singkat. Seiring dengan pengalaman cross country anda dan makin familier suatu area maka lama kelamaan patokan yang anda butuhkan akan berkurang.
Ketika anda menarik garis dan menandainya, pelajari lagi dengan seksama keseluruhan rute. Perhatikan juga airspace sebuah bandara, yakinkan anda tidak mengganggu lalu lintas bandara yang bersangkutan. Selain itu perhatikan ketinggian yang sesuai dengan kuadran yang tepat untuk menghindari tabrakan di udara. Juga harus disiapkan frekuensi-frekuensi radio pengatur lalu lintas udara di area sepanjang rute sehingga anda dapat cepat mendapatkan traffic advisories terutama di sekitar bandara yang padat.
DEAD RECKONING
Cara navigasi selain pilotage adalah dead reckoning yaitu dengan menggunakan perhitungan matematis. Dead reckoning adalah sebuah teknik navigasi yang berdasar pada hitungan waktu, kecepatan, jarak, dan arah. Ada 4 variabel untuk menentukan heading dan ground speed yaitu true airspeed, course, arah dan kecepatan angin. Faktor-faktor inilah yang menentukan pergerakan pesawat sepanjang rute yang sudah ditentukan. Sebelum menghitung untuk menentukan heading dan ground speed, anda harus menarik garis lurus dengan plotter navigasi.
PLOTTER NAVIGASI
Plotter adalah penggaris sederhana untuk menggambar garis, protractor untuk mengukur arah, dan juga ada skala untuk menentukan jarak. Biasa terbuat dari plastic bening sehingga detil peta dapat tetap terlihat. Biasanya dengan menggambar garis anda bisa dapat langsung menentukan jarak, dan arah terbang. Anda harus perhatikan skala yang tepat untuk tiap peta yang anda gunakan.
FLIGHT PLANNING
Pertama tarik garis dari titik berangkat ke tujuan. Gunakan plotter untuk menentukan jarak, ingatlah bahwa penting untuk menggunakan skala yang tepat saat mengukur. Langkah berikut tentukan arah dengan protractor (busur derajat) berpatokan pada true north. Pada protractor ada lubang kecil tempat titik berangkat, sejajarkan busur pada true north, maka akan didapat arah pada garis menuju bandara tujuan.
Setelah itu, kita memasukkan pengaruh faktor angin (wind aloft) yang didapat dari prakiraan cuaca untuk mendapatkan true heading dan groundspeed. Contoh jika anda terbang dari bandara Sentani ke Oksibil melalui W66 diketahui wind aloft easterly 10 knots dan checkpoint pertama adalah MELAM. Dari chart diketahui course ke MELAM 175° dan berjarak 100 NM. Sedangkan dari hasil perhitungan didapat True Airspeed 140 knots, dan sesuai kuadran, intended cruising altitude 11.500 feet dengan VSI 500 fpm
Climb segment:
True airspeed= 140 kts
True course= 175°
True wind direction= 090°
Wind speed= 10 kts
NM=(Altitude/Vsi) x (Ground Speed/60) NM
Plotter adalah penggaris sederhana untuk menggambar garis, protractor untuk mengukur arah, dan juga ada skala untuk menentukan jarak. Biasa terbuat dari plastic bening sehingga detil peta dapat tetap terlihat. Biasanya dengan menggambar garis anda bisa dapat langsung menentukan jarak, dan arah terbang. Anda harus perhatikan skala yang tepat untuk tiap peta yang anda gunakan.
FLIGHT PLANNING
Pertama tarik garis dari titik berangkat ke tujuan. Gunakan plotter untuk menentukan jarak, ingatlah bahwa penting untuk menggunakan skala yang tepat saat mengukur. Langkah berikut tentukan arah dengan protractor (busur derajat) berpatokan pada true north. Pada protractor ada lubang kecil tempat titik berangkat, sejajarkan busur pada true north, maka akan didapat arah pada garis menuju bandara tujuan.
Setelah itu, kita memasukkan pengaruh faktor angin (wind aloft) yang didapat dari prakiraan cuaca untuk mendapatkan true heading dan groundspeed. Contoh jika anda terbang dari bandara Sentani ke Oksibil melalui W66 diketahui wind aloft easterly 10 knots dan checkpoint pertama adalah MELAM. Dari chart diketahui course ke MELAM 175° dan berjarak 100 NM. Sedangkan dari hasil perhitungan didapat True Airspeed 140 knots, dan sesuai kuadran, intended cruising altitude 11.500 feet dengan VSI 500 fpm
Climb segment:
True airspeed= 140 kts
True course= 175°
True wind direction= 090°
Wind speed= 10 kts
NM=(Altitude/Vsi) x (Ground Speed/60) NM
=(11.500/500) x (138,8/60)
= 53,21 Nm
Selanjutnya gunakan flight computer E6B (kalkulator geser) atau kalkulator elektronik. Penulis menggunakan kalkulator elektronik merk “asa” type Path finderCX-1 dan memperoleh hasil
Climb Segment:
Ground speed= 138,8 kts (climbing)
Heading= 171°
Level off Point= 53,21 NM (dari perhitungan di atas)
Selanjutnya gunakan flight computer E6B (kalkulator geser) atau kalkulator elektronik. Penulis menggunakan kalkulator elektronik merk “asa” type Path finderCX-1 dan memperoleh hasil
Climb Segment:
Ground speed= 138,8 kts (climbing)
Heading= 171°
Level off Point= 53,21 NM (dari perhitungan di atas)
Climbing time= 00 : 23 : 00
Cruise segment:
Cruising true airspeed= 170 kts
Ground speed= 168.8 kts
Heading= 172°
Sisa jarak ke MELAM 100 – 53,21 = 46,79 NM
Maka cruising time segment ke MELAM memakan waktu= 00 : 16 : 30
Total waktu dari Sentani ke point Melam= 00 : 39 : 30
Waktu tempuh dari titik berangkat Sentani ke point Melam= 00 : 39 : 30
Silahkan download E6B di http://www.navfltsm.addr.com/nav-downloads.htm bagi yang tidak memilikinya, atau juga di:
Cruise segment:
Cruising true airspeed= 170 kts
Ground speed= 168.8 kts
Heading= 172°
Sisa jarak ke MELAM 100 – 53,21 = 46,79 NM
Maka cruising time segment ke MELAM memakan waktu= 00 : 16 : 30
Total waktu dari Sentani ke point Melam= 00 : 39 : 30
Waktu tempuh dari titik berangkat Sentani ke point Melam= 00 : 39 : 30
Silahkan download E6B di http://www.navfltsm.addr.com/nav-downloads.htm bagi yang tidak memilikinya, atau juga di:
http://www.studentflyingclub.com/flight-planning.php
NAVIGATION LOG
Navigation Log adalah catatan flight plan dan perhitungan enroute yang sudah dikalkulasikan sebelumnya dengan memperhatikan wind aloft, wind speed, true heading, dan ground speed. Dengan berpegangan pada navigation log maka kita dapat memantau pergerakan pesawat. Pada navigation log ada kolom estimated time enroute yang memuat perhitungan di atas dan ada kolom waktu tempuh yang aktual hasil pantauan selama terbang. Selain itu dari hasil time enroute kita juga memiliki kolom estimated fuel requirement (bahan bakar yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu). Fuel burned atau fuel yang terpakai dapat dihitung dari konsumsi fuel per jam dan waktu tempuhnya.
Contoh jika konsumsi satu pesawat adalah 600 lbs/jam, maka bahan bakar yang diperlukan untuk waktu tempuh 00 : 39 : 30 adalah 395 lbs. Hasil ini tetap harus dibandingkan dengan actual fuel flow / quantity gages yang ada di pesawat untuk mendapatkan akurasi yang maksimal.
Terbang di daerah berbahaya
Pada Indonesia yang membentang dari Sabang – Merauke, membentang pula perairan luas, pegunungan yang tinggi. Maka rujukan yang berkaitan dengan area terbang anda wajib dipelajari dengan baik. Operational Navigation Charts (ONC), data-data valid airport (AIP) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan wajib anda miliki.
Mountain flying (terbang di pegunungan) dan perairan luas adalah operasi yang berbahaya ditinjau dari tingkat resiko yang dihadapi. Untuk itu pelatihan dari instruktur yang berpengalaman dan familier dengan area bersangkutan mutlak dibutuhkan demi keselamatan terbang anda. Faktor yang berkontribusi di gunung antara lain adalah penurunan unjuk kerja mesin karena High Density Altitude, turbulensi, cuaca yang sangat cepat berubah dan kesulitan mengidentifikasi satu patokan adalah contoh dari tantangan yang dihadapi jika anda terbang di pegunungan.
Dari semua penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Pilotage dan Dead Reckoning adalah teknik navigasi visual yang saling melengkapi. Anda bisa gunakan pilotage dalam orientasi medan pada rute yang dipilih dengan mengidentifikasi patokan yang ada. Sedangkan penggunaan perhitungan dead reckoning memberikan anda arah terbang, groundspeed, yang akan memberikan kalkulasi BBM dan lainnya. Semua informasi yang ada dibandingkan satu sama lain sehingga dapat diketahui secara tepat pergerakan terbang anda. Dari navigation log anda juga dapat mengisi flightplan form yang terdapat di tower.
referensi: Basic Navigation, Jeppesen Private Pilot Manual.
NAVIGATION LOG
Navigation Log adalah catatan flight plan dan perhitungan enroute yang sudah dikalkulasikan sebelumnya dengan memperhatikan wind aloft, wind speed, true heading, dan ground speed. Dengan berpegangan pada navigation log maka kita dapat memantau pergerakan pesawat. Pada navigation log ada kolom estimated time enroute yang memuat perhitungan di atas dan ada kolom waktu tempuh yang aktual hasil pantauan selama terbang. Selain itu dari hasil time enroute kita juga memiliki kolom estimated fuel requirement (bahan bakar yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu). Fuel burned atau fuel yang terpakai dapat dihitung dari konsumsi fuel per jam dan waktu tempuhnya.
Contoh jika konsumsi satu pesawat adalah 600 lbs/jam, maka bahan bakar yang diperlukan untuk waktu tempuh 00 : 39 : 30 adalah 395 lbs. Hasil ini tetap harus dibandingkan dengan actual fuel flow / quantity gages yang ada di pesawat untuk mendapatkan akurasi yang maksimal.
Terbang di daerah berbahaya
Pada Indonesia yang membentang dari Sabang – Merauke, membentang pula perairan luas, pegunungan yang tinggi. Maka rujukan yang berkaitan dengan area terbang anda wajib dipelajari dengan baik. Operational Navigation Charts (ONC), data-data valid airport (AIP) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan wajib anda miliki.
Mountain flying (terbang di pegunungan) dan perairan luas adalah operasi yang berbahaya ditinjau dari tingkat resiko yang dihadapi. Untuk itu pelatihan dari instruktur yang berpengalaman dan familier dengan area bersangkutan mutlak dibutuhkan demi keselamatan terbang anda. Faktor yang berkontribusi di gunung antara lain adalah penurunan unjuk kerja mesin karena High Density Altitude, turbulensi, cuaca yang sangat cepat berubah dan kesulitan mengidentifikasi satu patokan adalah contoh dari tantangan yang dihadapi jika anda terbang di pegunungan.
Dari semua penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Pilotage dan Dead Reckoning adalah teknik navigasi visual yang saling melengkapi. Anda bisa gunakan pilotage dalam orientasi medan pada rute yang dipilih dengan mengidentifikasi patokan yang ada. Sedangkan penggunaan perhitungan dead reckoning memberikan anda arah terbang, groundspeed, yang akan memberikan kalkulasi BBM dan lainnya. Semua informasi yang ada dibandingkan satu sama lain sehingga dapat diketahui secara tepat pergerakan terbang anda. Dari navigation log anda juga dapat mengisi flightplan form yang terdapat di tower.
referensi: Basic Navigation, Jeppesen Private Pilot Manual.