Kapan terakhir kali Anda melihat berita buruk mengenai dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim? Tahun ini saja Eropa mengumumkan fenomena gelombang panas yang membuat ratusan orang tewas. China mengisyaratkan darurat kekeringan terburuknya. Jakarta dikabarkan akan tenggelam di tahun 2030.
Belum lagi, dampak turunan global warming secara jangka panjang yang sangat mengkhawatirkan seperti krisis pangan dan krisis air bersih. Fakta ini membuat permasalahan lingkungan, khususnya climate change, menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi umat manusia dalam beberapa tahun ke depan. Detik demi detik yang terlewati, harusnya kita kian menyadari bahwa peradaban manusia tengah berjalan ke arah yang salah. Sungguh meresahkan bukan?

credit : https://earthobservatory.nasa.gov/world-of-change/global- temperatures

Secara umum, global warming timbul akibat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pengunaan bahan bakar fosil. Saat ini, kita menghasilkan emisi karbon sebesar 50 milyar ton gas rumah kaca pertahun dan tentunya akan terus bertambah setiap tahunnya seiring bertambah populasi dunia. Mirisnya, mayoritas aktivitas manusia saat ini masih bergantung pada bahan bakar fosil, termasuk transportasi udara. Industri yang penulis jadikan tempat bekerja dan berkarya, dan mungkin termasuk Anda juga. Lalu, langkah apa saja yang telah dilakukan untuk menghindari krisis iklim ini terjadi? Kembali ke tahun 2015, sebenarnya para pemimpin dunia telah membuat kesepatakan internasional yang dikenal dengan Paris Agreement. Yang di mana isinya mencetuskan bahwa pemanasan global harus dijaga agar tidak melebihi 1.5° C.

Target tersebut akan berhasil dicapai jika bisa mengurangi total emisi karbon sebesar 50% pada tahun 2030, serta diharapkan kondisi akan terus membaik hingga mencapai kondisi carbon neutral pada tahun 2050. Dengan semua fenomena yang terjadi, cepat atau lambat, semua industri harus siap berkontribusi dan beradaptasi untuk melakukan transisi menuju model bisnis yang lebih sustainable dari segi lingkungan. It is you adapt or die. Oke, sekarang kita membahas kiat preventif dari sisi industri aviasi. Untuk menyingkapi tantangan krisis iklim tersebut, IATA (Internasional Air Transport Organization) telah membuat komitmen Fly Net Zero 2050. DI tahun 2050, diproyeksikan jumlah pengguna angkutan udara akan mencapai lebih dari 10 milyar penumpang dan industri aviasi akan menghasilkan 21.2 milyar ton CO2. Dan untuk mencapai visi yang telah dibuat oleh IATA tersebut, IATA telah membuat strategi mitigasi
dengan presentase sebagai berikut:

 

credit: https://www.iata.org/en/programs/environment/flynetzero/

 Sustainable Aviation Fuel (SAF) 65%
SAF mengambil porsi paling banyak pada diagram di atas. Tapi apakah SAF itu? Singkatnya, SAF adalah bahan bakar sejenis biofuel yang bukan berasal dari bahan bakar fosil. Nah, penggunaan SAF sendiri dapat mereduksi emisi karbon sampai 80% dibanding bahan bakar fosil. Namun, sayanganya ketersediaan SAF terbilang masih sangat sedikit, sehingga memiliki harga yang lebih tinggi (2x lipat) dari avtur.


 New Aircraft Technology 13%
Sisi inovasi desain pesawat juga harus terus didorong agar dapat lebih aerodinamis dan hemat bahan bakar. Dan diharapkan juga, teknologi pesawat dapat beradaptasi dengan pengunaan bahan bakar alternatif (seperti hidrogen dan listrik) dalam skala komersial.

 Operational & Infrastructure Improvement 3%
Mengatur laju kegiatan operasional tentunya turut memberikan kontribusi apabila dilakukan secara efisien. Semisal, implementasi Green Operating Procedure yang diterapkan oleh penerbang, dan juga kinerja ATC dalam menjaga Air Traffic Management agar bisa menciptakan lalu lintas udara yang kondusif, sehingga penggunaan bahan bakar yang tidak perlu bisa diminimalisir.


 Offsetting & Carbon Ccapture 19%
Sisa emisi karbon yang tidak terelakkan akan dimitagsi dengan melakukan carbon offset. Sederhananya, carbon offset adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengimbangi emisi karbon yang telah terbuang. Sebagai contoh, untuk emisi karbon yang telah terhasilkan dari suatu penerbangan akan diredam / diserap menggunakan cara penanaman sejumlah pohon. Dan sebagai catatan, sejak 2021, ICAO telah melakukan program ini dengan nama CORSIA. Mengingat seberapa gentingnya kondisi alam saat ini, seharusnya membuat kita ke merenungkan aksi yang dapat dilakukan untuk membuat perubahan. Setelah menyimak strategi yang dipaparkan, apakah Anda optimis kalau aviasi bisa melakukan transisi menuju industri yang ramah lingkungan? Jawaban atas pertanyaan tersebut seyogyanya bergantung pada aksi kita sebagai stakeholders dunia penerbangan, baik itu regulator, operator maupun pengguna jasa transportasi udara.

Dan untuk penerbang sendiri, tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam langkah perubahan satu ini. Kontribusi dapat mulai dilakukan dengan memaksimalkan efisensi bahan bakar dalam penerbangan sehari-hari. Penghematan bahan bakar mungkin sebelumnya hanya dianggap sebagai upaya dari sisi ekonomi untuk mengurangi biaya operasional. Namun, isu perubahan iklim dapat menjadi alasan baru bagi pilot untuk lebih bijak dalam melaksanakan tugas sehingga dapat meminimalisir emisi karbon yang dihasilkan. Keselamatan penerbangan tentunya selalu menjadi prioritas utama yang harus dipertahankan. Tetapi disisi lain, penulis berharap topik pencegahan climate change dapat mulai lebih banyak diperbincangkan agar aviasi dapat beradaptasi dan menjadi industri environmentally sustainable di masa depan.

Always remember that we do not inherit this planet from our parents rather we borrow it from future
generations.

Terima kasih telah membaca.

Penulis : Farid Aziz Saleh
Editor : Prima Pratono
References :
https://ourworldindata.org/greenhouse-gas-emissions

https://climateanalytics.org/briefings/15c/

https://www.iata.org/en/programs/environment/flynetzero/

https://simpleflying.com/saf-cost-competitive-jet-fuel/