Candaan bom di bandara dan di kabin pesawat penumpang bukanlah perkara ringan apalagi lucu. Membuat orang lain takut, resah, dan merasa terancam adalah salah satu turunan dari efek teror. Kelakar semisal ini juga melenceng dari tujuan guyonan yang sehat, yakni menghibur diri dan orang lain.
Ironis memang ketika seseorang menghibur diri dengan candaan sementara orang lain di sekitarnya merasa cemas, takut, dan terhambat dalam bepergian.
Tanggal Januari 2017 silam, petugas keamanan (Avsec) Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar mengamankan seorang penumpang maskapai Wings Air tujuan Bima, NTB, terkait gurauannya tentang adanya bom di tas bawaannya. Kejadian ini menambah catatan kasus serupa di bandara tersebut.
Di bulan yang sama tahun lalu, tercatat empat kasus serupa. Seorang pegawai Pemprov berkelakar bahwa dirinya membawa bom saat alat screening pendeteksi metal berbunyi. Selain itu, dua anggota penegak hukum secara terpisah juga terlibat insiden serupa setelah melontarkan lelucon mengenai bom ketika melewati pemeriksaan x-ray. Terakhir, seorang mahasiswi dari Ternate diamankan petugas keamanan bandara setelah beberapa kali mengaku membawa bom saat berada di walk through metal detector.
Tanpa “horor” candaan bom, bepergian udara bagi sebagian orang sudah merupakan perjuangan tersendiri. Sebab, fear of flying tergolong ke dalam jenis fobia yang paling populer. Semakin ketatnya pengamanan bandara dan tingginya angka insiden/kecelakaan udara di suatu negara mempengaruhi aspek psikologis sebagian pelancong. Pasca-911, aksi terorisme dalam penerbangan menambah alasan pelancong untuk merasa cemas.
Ketakutan terbesar penumpang (73%) adalah kegagalan mekanik saat mengudara, disusul dengan terbang dalam cuaca buruk (63%), dan (36%) terbang malam hari (Robert D. Dean, Kerry M. Whitaker, Fear of Flying: Impact on the U.S. Air Travel Industry). Namun faktanya, faktor penyumbang terbesar sebuah kecelakaan udara adalah kesalahan manusia (58%) dibanding kerusakan mekanis (17%) atau karena cuaca (6%). Adapun aksi sabotase (terorisme) adalah yang terkecil (9%) (Causes of Fatal Accidents, [online], www.planecrashinfo.com, diakses 2 Februari 2017).
Salah satu ancaman bagi keamanan, keselamatan, dan kenyamanan penerbangan sipil saat ini didominasi oleh terorisme dan turunannya, termasuk ancaman bom baik secara verbal, melalui media sosial, telpon, layangan surat, paket, atau yang lainnya. Inilah mengapa ucapan “bom” meski dalam konteks guyonan ditanggapi serius sebagai potensi ancaman dalam penerbangan.
Tujuan dari terorisme adalah menyebarkan rasa takut, terkadang disertai tujuan politik dan provokasi agar merebaknya kebencian kolektif (Bruce Schneier, What The Terrorists Want).
Target terorisme bukan semata infrastruktur untuk menyasar kerugian material serta keguncangan ekonomi suatu negara. Tujuan utama terorisme adalah menyebar rasa takut seluas-luasnya.
Dimensi ancaman terorisme akan terus berevolusi mengikuti perkembangan aviasi itu sendiri, baik dari melalui celah teknologi maupun regulasi. Dari aspek regulasi inilah kasus candaan bom yang meresahkan dapat diminimalisir. Namun hal itu harus didukung dengan edukasi dan diseminasi tentang konsekuensi hukum bagi pelaku sehingga kebebasan berekspresi secara alamiah membatasi maknanya sendiri.
Memang berbeda antara candaan bom dengan ancaman bom. Ancaman bom dapat berupa tulisan atau ucapan yang menyatakan bahwa si oknum akan memicu bahan peledak demi terciptanya kerusakan properti, kematian, atau cedera, terlepas ada atau tidaknya bahan peledak tersebut (Alfred Dalizon – Aviation Security Group).
Namun menebar ketakutan meski berkelakar seperti yang marak terjadi di bandara-bandara domestik akhir-akhir ini membutuhkan perhatian serius. Karena ketika ia menimbulkan ketakutan dan merugikan kepentingan umum baik material maupun moral, ia telah memiliki sejumlah kesamaan dengan aksi terror secara definisi.
Di Indonesia, tindakan semisal ini telah diatur UU Penerbangan dalam pasal 437 ayat (1) yang menyebutkan:
"Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun."
Selain itu, candaan tentang bom yang menyasar industri penerbangan melalui media sosial dapat dikategorikan sebagai hoax. Pelakunya dianggap sebagai penyebar berita bohong sehingga dapat dikenakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Di tahun 2014, seorang warga Belanda bernama Sarah melayangkan candaan bom melalui akun media sosialnya ke maskapai American Airlines. Pihak maskapai menanggapinya dengan serius dan meneruskan “ancaman” Sarah ke FBI.
Hoax jenis ini disikapi sangat serius oleh otoritas AS terlebih pasca-911. Di Amerika Serikat tindakan ini masuk ke dalam perbuatan meresahkan orang lain dengan ancaman hingga 20 tahun penjara dan denda sekitar 50 ribu dolar AS.
Ternyata, ucapan “bom” tidak melibatkan penumpang saja, namun juga bagi penerbang dan maskapai. Pada tahun 2012 silam, pilot maskapai JetBlue asal AS, Clayton Osbon, bertingkah di luar kendali dan kewajaran dengan berteriak histeris dengan melontarkan kata-kata ancaman bom dan serangan teroris. Setelah “dilumpuhkan” dan diikat oleh beberapa penumpang pria, kopilot dapat mendaratkan Airbus A320 itu dengan selamat. Captain Osbon diberhentikan oleh maskapai sekaligus menutup karirnya dalam penerbangan.
Terlepas maraknya ancaman atau candaan bom yang menambah kesan angker dalam bepergian melalui udara, sejauh ini pesawat terbang komersial adalah moda transportasi paling aman. Mengendarai mobil dari rumah menuju bandara 22 kali lebih beresiko untuk terlibat dalam kecelakaan fatal ketimbang terlibat dalam kecelakaan pesawat. Berdasarkan data International Safety Council, aktifitas berjalan di luar ruangan justru jauh lebih berbahaya ketimbang berada di dalam penerbangan komersial.
Secara statistik, probabilitas seorang penumpang kehilangan nyawa di dalam kabin penumpang lebih besar disebabkan oleh serangan jantung atau tersedak makanan ketimbang disebabkan oleh kecelakaan udara. Bahkan di tahun 2014, salah satu tahun terburuk dalam sejarah penerbangan sipil, kemungkinan seseorang terlibat dalam kecelakaan pesawat dioperasikan maskapai besar di dunia adalah 1:4,7 juta penerbangan (Kelli B. Grant, 2014: Deadly year for flying — but safer than ever, CNBC). Jika seseorang bepergian udara setiap hari, membutuhkan sekitar 11 ribu tahun untuk terlibat dalam kecelakaan (Casey Tolan, et al, Is 2014 the deadliest year for flights? Not even close, CNN).
Jika memang seseorang harus menggunakan haknya untuk berkelakar saat menggunakan moda transportasi udara, ada baiknya menimbang dahulu efek bagi sekitar. Tertundanya jadwal penerbangan dan terganggunya rangkaian penerbangan lain, pemeriksaan ulang barang bawaan di bagasi, menyebarkan ketakutan dan kecemasan, serta membuat gaduh otoritas keamanan bandara adalah kemudaratan yang nyata.
Jika ada manfaat, maka hanya memberikan hiburan sesaat pada diri sendiri yang kemudian disusul dosa, malu, dan penyesalan.