Sriwijaya Air PK-CJG oleh Lutomo Edy Permono (hak cipta dilindungi undang-undang)

Seperti halnya manusia yang bisa tergelincir karena kulit pisang, jalan licin dan basah, atau alasan lainnya, sebuah pesawat bisa tergelincir karena alasan selain cuaca dan rem. Sambil menunggu hasil laporan resmi KNKT untuk kasus ini, marilah kita bahas sedikit tentang kemungkinan penyebab tergelincirnya Sriwijaya 062.

Untuk bisa mendarati sebuah landasan, ada aturan-aturan dan perhitungan yang diperlukan oleh sebuah pesawat yang dipengaruhi oleh antara lain kekuatan landasan, panjang landasan, obstacle (halangan seperti bangunan/ bukit) di sekitar landasan.

Kekuatan landasan

Semua landasan, taxiway dan apron di sebuah bandar udara mempunyai kekuatan tertentu dan terbatas. Salah satu cara untuk menyatakan kekuatan landasan aspal atau beton adalah dengan menggunakan nomor PCN (Pavement Classification Number). Dipasangkan dengan ACN (Aircraft Classification Number) maka kurang lebih bisa diketahui apakah landasan tersebut kuat didarati pesawat tertentu.
 
Panjang landasan
Setelah mengetahui bahwa pesawat bisa mendarati landasan dengan PCN tertentu, barulah bisa dihitung berapa panjang landasan yang dibutuhkan untuk mendarat. Ada istilah yang sangat penting untuk pendaratan yaitu (Dry) Landing Distance Required. Untuk berat yang berbeda karena muatan yang berbeda, maka akan berbeda pula panjang landasan yang dibutuhkan.
 
Dalam perhitungan Required Landing Distance, teknik pendaratan yang dilakukan oleh penerbang penguji di pabrik pesawat adalah sebagai berikut:
  1. Pesawat berada pada ketinggian 50 kaki di ujung landasan sebelum mendarat .
  2. Aggressive Touchdown Technique. Teknik ini melakukan pendaratan dengan aggressive, tidak mulus.
  3. Pengereman maksimal
  4. Menggunakan speed brake.
  5. Tidak menggunakan reverse thrust (aliran udara dari mesin jet yang diarahkan ke depan untuk membantu pengereman)

Hasil dari pengujian ini menghasilkan angka panjang landasan yang dibutuhkan. Angka ini ditambah 67% untuk mendapatkan Certified Dry Landing Distance.

Untuk landasannya basah (hujan) seperti yang diberitakan, maka panjang landasan yang dibutuhkan adalah Dry Landing Distance Required ditambah 15 persen.

Mengapa tergelincir?

Karena bandar udara Sultan Thaha Jambi memang bisa didarati oleh pesawat sekelas B737-200, maka kita tidak akan membahas kekuatan landasan dalam ulasan ini. Dalam kasus Sriwijaya 062, tergelincir di sini secara teknis adalah overrun. Maksudnya pesawat tergelincir melewati landasan. Sehingga dilihat dengan analisa sederhana, pesawat mendarat dengan keadaan membutuhkan landasan yang lebih panjang dari yang ada. Dari berita-berita di media massa disebutkan pesawat tergelincir sekitar 200 meter dari landasan.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi.

Perhitungan landing performance oleh perusahaan

Semua pesawat memiliki Maximum Landing Weight (MLW), berat maksimum untuk mendarat. Pada pesawat B-737-200 Advance MLWnya adalah sekitar 47.5 ton. Dengan PCN tertentu dan panjang landasan yang terbatas di sebuah bandar udara, mungkin sebuah pesawat tidak dapat mendarat dengan MLWnya. Jadi untuk setiap bandar udara yang didarati, biasanya sebuah maskapai penerbangan menetapkan Maximum Landing Weight khusus untuk bandar udara tersebut.

Ada hal yang dapat menipu jika penerbang tidak teliti. Perhitungan MLW yang dituliskan biasanya adalah berdasarkan Dry Landing Distance bukan perhitungan untuk WET runway. Bukan maksudnya menipu penerbang. Tapi penerbang harus mengkonversi angka ini lagi dengan tambahan 15% jika landasan yang didarati basah karena hujan.

Perhitungan ini juga tidak menyatakan panjang landasan yang dibutuhkan jika anti-skid (di mobil di kenal sebagai ABS, Anti lock Braking System) dalam keadaan rusak. Sekali lagi penerbang harus melihat di buku performance atau QRH. Jika anti-skid ini rusak, landasan yang dibutuhkan akan lebih panjang.

Biasanya, departemen marketing/ penjualan kurang mau tahu masalah ini. Bagi mereka, penjualan adalah berdasarkan angka maksimum yang dinyatakan oleh pabrik pesawat.

Jadi harus dilihat apakah perusahaan sudah menghitung Landing distance yang benar untuk mencegah pesawat overrun.

Teknik Pendaratan

Dari sisi penerbang, selain menghitung kembali landing distance jika landasan dalam keadaan basah, juga harus diingat teknik pendaratan yang benar.
 
Kadang orang menilai sebuah perusahaan dari cara penerbangnya mendaratkan pesawat. Hal ini tidaklah benar. Pendaratan yang tidak nyaman (uncomfortable landing), atau dengan salah sering disebut Hard landing bukanlah gambaran penerbang yang bodoh, malah mungkin sebaliknya.

Pendaratan yang pasti (firm), tidak lembut, adalah cara pendaratan yang paling aman. Cara pendaratan seperti ini disebut positive landing.
 
Cara mendarat seperti ini menjamin roda pesawat bergesekan dengan landasan dan pengereman dapat dilakukan dengan baik. Jika pendaratan dilakukan dengan lembut sekali, pesawat akan mengapung (floating) melewati zona pendaratan (touch down zone) dan mempunyai resiko pesawat meluncur terus. Meluncur melebihi panjang landasan yang ada.  Hal ini bisa terjadi terutama pada waktu landasan berada pada kondisi basah, setelah atau selama hujan.

Unstabilized approach

 
Pada waktu mendarat, penerbang harus mengatur kecepatan, ketinggian dan posisi pesawat yang tepat. Jika salah satu dari parameter tersebut tidak sesuai maka pesawat tidak boleh mendarat (go around).
Banyak kejadian pesawat tergelincir karena posisi pesawat dan/atau kecepatan yang terlalu tinggi. Kejadian pesawat Garuda GA 200 di Yogyakarta membuktikan hal ini.
 
Kriteria stabilized approach untuk penerbang dapat dibaca di sini:
 
 

Alasan Teknis

Penyebab dengan alasan teknis disini bisa berupa dari pesawatnya sendiri ataupun dari landasan tempat mendarat.
 
1. Hydroplaning
Jika landasan tertutup air, atau ada genangan air, maka kemungkinan besar bisa terjadi hydroplaning. Roda pesawat akan mengapung di atas air dan mengakibatkan rem tidak bekerja dengan efektif. Berapapun kekuatan rem maka akan sia-sia, karena pesawat tidak dapat mengurangi kecepatannya.
 
2. Rubber Deposit
Pada waktu mendarat pesawat meninggalkan bekas/ sisa karet ban di landasan. Inilah yang disebut dengan rubber deposit. Setelah menumpuk, maka adalah tugas pengelola bandar udara untuk membersihkan deposit ini. Rubber deposit mempunyai efek yang sama dengan genangan air, hydroplaning.
 
Jadi dalam penelitiannya KNKT pasti akan melihat genangan air dan rubber deposit yang mungkin ada di permukaan landasan bandar udara Sultan Thaha, Jambi.
 
3. Rem blong?
Rem yang tidak berfungsi dengan baik atau anti-skid yang rusak jika terjadi pun tidak perlu dibahas di sini karena itu adalah kewajiban maskapai penerbangan untuk memelihara armadanya. Jika hal ini yang ternyata terjadi, maka kewajiban pemerintah pula untuk memberi sanksi yang sesuai.

Cuaca

Dalam keadaan hujan atau ada awan hujan di sekitar bandar udara maka dapat terjadi Windshear.

Windshear atau angin yang berubah arah dan kecepatan dalam waktu yang singkat. Angin yang berubah mendorong pesawat ke bawah dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar dari kemampuan pesawat.

Pembahasan tentang windshear dapat dibaca di:
 http://ilmuterbang.com/index.php/artikel-mainmenu-29/keselamatan-penerbangan-mainmenu-48/18-windshear

 

-----

 

Disclaimer:

Untuk penerbang: Ulasan di atas, tidaklah lengkap. Anda harus membaca bagian Landing Performance di buku masing-masing tipe pesawat. Ulasan di atas tidak membahas:

  1. Penggunaan flap
  2. Angin dan pressure altitude
  3. Penggunaan auto-brake
  4. Performance dengan Anti-skid
  5. Perhitungan dengan non-standard temperature
  6. Approach speed
  7. Runway slope
  8. Obstacle clearance