Melakukan penelitian tentang kecelakaan penerbangan di Indonesia memberikan banyak perspektif baru bagi saya. Bertahun berinteraksi bukan hanya dengan dokumen saja tapi juga dengan orang-orang yang terlibat langsung dengan suatu kecelakaan membuat saya semakin memahami bagian-bagian penting yang selama ini luput atau terabaikan, seperti informasi yang mengedukasi yang akan menjadi bahasan saya disini.

Bukan suatu hal yang baru ketika banyaknya praktisi di dunia penerbangan mengecam pemberitaan media (ada) yang tidak melakukan investigasi secara mendalam sebelum menginformasikan kepada publik. Dan juga ada berita yang spekulatif serta cenderung provokatif. Kondisi ini, disadari atau tidak, membangun suatu opini yang belum tentu teruji kebenarannya.

Hal ini diperparah dengan pernyataan-pernyataan pejabat publik, selebriti atau tokoh-tokoh yang tidak berdasar. Terasa miris ketika orang dengan seenaknya berkata bahwa penyebab kecelakaan ini adalah human error. Sungguh hebat sekali spekulasinya, bahkan investigasi saja baru saja dimulai, tapi hasilnya sudah ketahuan.

Ada dua hal yang mudah sekali untuk dijadikan kambing hitam penyebab kecelakaan penerbangan: human error dan cuaca. Jika merunut kondisi paska kecelakaan di Indonesia, sebenarnya yang dituju dalam human error ini adalah pilot. Padahal suatu kecelakaan sangat jarang sekali disebabkan oleh faktor tunggal karena selalu ada kontributor lain atau probable causes.

Ilmu dalam memahami sebab musabab kecelakaan sudah berkembang pesat. Walaupun berbagai studi memperlihatkan kontribusi manusia dalam kecelakaan penerbangan yang mencapai 70% dan bahkan 80% dari kejadian yang ada. Cara pandang terhadap kontribusi manusia ini juga berbeda. Secara konvensional, human error dipandang sebagai penyebab kecelakaan. Sedangkan pandangan kontemporer melihat bahwa human error sebagai konsekuensi berbagai hal yang terjadi sebelum kecelakaan. Pergeseran pola pandang ini, menjadikan konsep dari human error menjadi human factors.

Human error adalah deviasi dari aksi dan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia, sedangkan human factors adalah ilmu yang mempelajari manusia dan segala limitasi (keterbatasan)nya. Berbagai keterbatasan manusia itu disebabkan oleh berbagai hal, misalnya saja keterbatasan akibat kurangnya pengetahuan (knowledge), keterbatasan akibat kurangnya keahlian (skill) atau keterbatasan yang diakibatkan peraturan-peraturan yang berlaku (rule) dan berbagai hal lainnya yang menyebabkan limitasi ini.

Keterbatasan ini menjadikan investigasi kecelakaan tidak berhenti begitu saja ketika tindakan yang membahayakan (unsafe act) yang berakibat pada kecelakaan teridentifikasi. Investigasi kecelakaan harus melihat unsur-unsur di belakang terjadinya human error. Berdasarkan hal di atas, menginvestigasi suatu sebab musabab kecelakaan tidaklah sederhana. Tidak bisa hanya dengan melihat serpihan puing-puing pesawat, pembicaraan akhir sang pilot ataupun kondisi cuaca terakhir. Maka tak heran jika suatu investigasi kecelakaan bisa memakan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Dibutuhkan ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk mengidentifikasi dan menginvestigasi sebelum suatu kesimpulan dibuat. Jadi, terlalu dini untuk menyebutkan penyebab kecelakaan pesawat SSJ 100 ini.

Melihat perkembangan berita kecelakaan pesawat SSJ 100 ini, saya sedih dan gemas melihat pemberitaan yang hanya menyajikan cerita bombastis dan juga ada jurnalis yang membuat kesimpulan sendiri dari pembicaraan dengan narasumbernya. Informasi-informasi yang seharusnya dirilis oleh pihak otoritas (seperti KNKT) bisa keluar dari corong media beserta para narasumbernya. Aspek investigasi terlihat diabaikan, dengan menghadirkan keterangan sepotong-sepotong justru menimbulkan persepsi yang berbeda dari penikmat berita. Unsur edukasi dari suatu peristiwa diabaikan, sudah tidak jelas lagi mana yang privasi dan mana yang bukan.

Transportasi udara adalah moda transportasi yang paling aman diantara moda transportasi lainnya (darat, air). Akan tetapi, berbeda dengan moda transportasi lainnya, dampak suatu kecelakaan didunia penerbangan akan lebih luas dari pada moda transportasi lainnya, bukan saja bagi stakeholder namun hingga ke society. Sehingga kecelakaan penerbangan dikelompokkan sebagai salah satu bentuk socio-technical disaster.
 
Namun yang ingin saya garis bawahi disini adalah efek psikologis yang ditimbulkan terhadap korban selamat, keluarga dan kerabat korban meninggal, bahkan pihak-pihak lain yang terlibat paska kecelakaan.

Dalam salah satu perbincangan saya dengan seorang teman yang merupakan jurnalis dan ikut secara langsung meliput peristiwa kecelakaan pesawat B737-200 Mandala Airlines MDL-091,  di Medan. Kecelakaan yang terjadi pada tanggal 5 September 2005 ini dan merenggut 100 nyawa penumpang dan kru serta 46 orang masyarakat di Jl. Jamin Ginting, Medan ini, telah menyisakan trauma baginya selama beberapa waktu. Jika peliput saja bisa trauma, dapat dibayangkan bagaimana dampak psikologis yang harus dihadapi para korban selamat atau keluarga serta kerabat para korban.

Begitu juga ketika saya berbincang dengan keluarga korban kecelakaan pesawat B737-4Q8 Adam Air PK-KKW, saya bisa merasakan duka mendalam serta stress yang dirasakannya disaat menunggu kepastian kabar keluarganya yang ikut dalam pesawat naas itu. Hingga keluarnya pernyataan resmi otoritas penerbangan Indonesia bahwa 102 penumpang dan kru Adam Air PK-KKW hilang di perairan Makassar, dia menggambarkan bagaimana situasi tanpa kepastian yang harus dihadapi selama berhari-hari.

Dua contoh diatas adalah untuk mengajak kita semua menyadari bahwa yang menjadi korban dari suatu peristiwa kecelakaan bukan hanya orang-orang yang kehilangan nyawa, namun juga keluarga, kerabat, sanak saudara, dan juga seperti yang saya tulis diatas, berdampak juga pada orang-orang yang terlibat langsung paska kecelakaan.

Mungkin ada dari kita yang lupa untuk menempatkan diri kita pada posisi mereka yang terlibat langsung dengan kecelakaan yang ada, seperti pada kecelakaan pesawat SSJ 100 ini. Bagaimana jika ditengah ketidakpastian menunggu kabar berita keluarga dan kerabat yang ikut dalam penerbangan itu, ada orang yang menyebarkan gambar-gambar potongan tubuh, ada yang menyatakan bahwa ada sabotase karena persaingan bisnis, dan sebagainya? Pernahkah anda memikirkan bagaimana perasaan mereka?

Marilah kita belajar memilih dan memilah informasi yang edukatif. Ketika kita tidak paham akan apa yang dibicarakan, janganlah ikut serta memberikan pernyataan-pernyataan yang dapat menimbulkan berbagai macam spekulasi. Apalagi jika pernyataan itu memprovokasi. Saatnya kita sama-sama belajar, karena suatu tragedi harusnya menyisakan lesson learn yang menambah pengetahuan kita.

Jadi, mari kita serahkan proses evakuasi dan investigasi kepada para ahlinya dan sabar menunggu. Pada saat suatu tragedi terjadi, disaat itulah empati anda teruji dan jika anda ingin berkontribusi, marilah kita mendoakan yang terbaik bagi segala pihak dan proses evakuasi hingga investigasi bisa berjalan lancar.

Penulis adalah PhD dari Lincoln University, New Zealand