Penyebab kecelakaan pesawat biasanya diakibatkan oleh 3 faktor utama yaitu, faktor teknis, faktor cuaca dan faktor kesalahan manusia (human error). Pada tulisan ini kita hanya akan membahas faktor yang diakibatkan oleh human error atau dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu human factor (Faktor manusia). Berdasarkan beberapa studi dan statistik faktor human error ini adalah faktor penyumbang terbesar dalam kecelakaan, bahkan 2/3 dari rangkaian penyebab kecelakaan pesawat komersial (Wiegman and Shappel, 2009). Karena meningkatnya kecelakaan, sejak tahun 1970, dunia penerbangan mulai fokus pada human factor yaitu bagaimana memahami human decision making process (Proses pengambilan keputusan) dan bagaimana manusia penerbangan bereaksi dan berinteraksi dengan teknologi baru, prosedur dan peraturan keselamatan penerbangan yang terus menerus diperbaharui karena kita dituntut untuk mengambil keputusan yang bebas dari kesalahan (Error-Free Judgement).
Dari semua unsur yang terlibat dalam suatu aktifitas penerbangan, penerbang memiliki andil human error yang lebih banyak, karena penerbang adalah rangkaian terakhir dari rantai aktifitas penerbangan yang harus mengidentifikasi dan mengoreksi error sebelum berubah menjadi kecelakaan yang fatal. Pada dasarnya human error adalah ‘Poor Human Decision Making’ (Kurang tepat dalam mengambil keputusan) yang terjadi karena 3 hal:
- Incomplete Information (Informasi yang tidak lengkap)
- Inaccurate/Irrelevant Information (Informasi yang tidak akurat)
- Poor Information Process (Proses informasi yang salah)
Miller’s Law mengatakan bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam memproses informasi, yaitu hanya terbatas pada 7 objek (Plus minus 2) dalam memory di otak kita pada saat yang sama. Pada penerbang, ketika mereka menggunakan visual (Penglihatan) dan auditory (Pendengaran), kemampuan memproses objek diperkirakan bisa lebih dari 7 karena perbedaan proses di otak kita.
Riset membuktikan bahwa kecelakaan yang diakibatkan oleh human error terjadi karena beban kerja (workload) yang tinggi dan kerjaan yang menjenuhkan (Task saturation period) di dalam kokpit sehingga penerbang mengalami overload pada proses memory/ingatannya. Adanya Crew duty and rest time adalah suatu cara untuk menghindari kedua penyebab itu. Bahkan pada situasi darurat pun ‘penerbang baru’ juga harus diajarkan ‘A task Shedding Strategy’ untuk fokus pada tugas utama di kokpit yaitu: Aviate, Navigate and Communicate.
Dengan bahasa yang sederhana, pada saat emergency, kendalikan pesawat, arahkan pesawat dengan benar jika memungkinkan dan komunikasikan dengan ATC.
Laporan investigasi pada kecelakaan pesawat biasanya tidak semua akan memberikan detail apa yang terjadi. Kebanyakan hanya fakta dan logika yang akan mengarah pada faktor teknis dan data analisa pada FDR dan CVR. Menentukan human factor secara presisi sungguh diakui sebagai bagian yang sangat sulit karena luasnya cakupan permasalahannya. Sehingga tanpa memahami ‘human behaviour’ maka faktor, tujuan investigasi untuk mencegah kecelakaan berikutnya menjadi sesuatu yang mustahil.
Walaupun berisikan interaksi dengan teknologi yang canggih di pesawat, human factor bukanlah suatu bentuk teknologi dalam dunia penerbangan. Human factor adalah suatu multi-disiplin ilmu yang mencoba mengoptimalkan interaksi antara manusia, perangkat/mesin, prosedur yang saling menunjang dalam suatu sistem untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dan karena cakupannya yang sangat luas sehingga human factor memerlukan waktu riset yang lebih lama dibandingkan riset ilmu yang lain. Human factor konsentrasi pada kemampuan dan keterbatasan manusia dalam penggunaan suatu sistem. Seperti di awal pembahasan, human factor mulai dikenal pada sekitar tahun 1970, di mana pada saat itu banyak kecelakaan yang disebabkan oleh interaksi antar manusia dan perangkat yang dioperasikannya dan prosedur pengoperasiannya, dan belum adanya regulasi yang menunjang semua aktifitas penerbangan.
Secara umum human factor dipengaruhi oleh human performance yaitu aktifitas manusia yang digambarkan dalam bentuk bagaimana manusia menjalankan suatu aktifitas/pekerjaan secara akurat, cepat dan tepat. Ada 4 faktor yang yang mempengaruhi human performance:
- Faktor Fisik: Ukuran badan, tinggi, pendek, usia, kekuatan, penglihatan, pendengaran dll
- Faktor Fisiologi: Kesehatan dan kondisi medis secara umum seperti tekanan darah, gula darah, detak jantung, cacat secara fisik dll
- Faktor Psikologi: Mental, emosional secara umum
- Faktor Psikososial: Mental emosional/kesedihan yang diakibatkan karena pengaruh sosial seperti kematian, problem keluarga, keuangan dll.
Pada zaman sekarang, human factor di penerbangan terus berkembang dengan ditemukannya berbagai cara bagaimana meminimalisasi faktor ini sehingga kecelakan bisa dihindari. Salah satunya, Dr. James Reason telah menemukan model rangkaian kecelakaan ‘Swiss Cheese’ yang menggunakan analogi yang sangat menarik. Human error adalah seperti nyamuk, pada saat hinggap di tubuh kita, walaupun telah kita coba pukul dengan keras, tetapi mereka dan teman temannya akan tetap datang. Tidak ada cara lain kecuali membuat pertahanan yang efektif (menutup tubuh kita) dan tetap menghalau supaya mereka tidak datang lagi.
Dengan mengadopsi model ‘Swiss Cheese’ ini, Dr. Douglas Wiegmann dan Dr. Scott Shappell mengembangkan HFACS (Human factor Analysis and Classification System) untuk angkatan laut Amerika sebagai langkah responsif atas meningkatnya human error dan tingginya kecelakaan. HFACS secara teori adalah alat (tool) untuk investigasi, analisa, dan mengklasifikasikan human error yang terdapat pada suatu kecelakaan pesawat. Model HFACS ini telah resmi dicoba dan diteliti secara menyeluruh pada 1020 investigasi kecelakaan pesawat di Amerika (NTSB-National Transportation Safety Board) yang telah terjadi lebih dari 13 tahun lalu. HFACS menggunakan suatu pemahaman di mana human error bukanlah suatu penyebab tetapi hanya akibat dari sebuah masalah besar yang ada dalam suatu organisasi/otoritas/perusahaan penerbangan. Seperti model ‘Swiss Cheese’, HFACS juga menggunakan 4 pertahanan/penghalang yang efektif untuk mencegah kecelakaan yaitu dengan mengontrol 4 faktor dan menjabarkannya secara detail seperti diagram berikut ini:
Unsafe act adalah akhir dari pertahanan yang terdiri dari error (kesalahan) dan violation (pelanggaran). Sedangkan error itu sendiri adalah honest mistake (kesalahan tidak sengaja) dan violation (pelanggaran). Beda antara honest mistake dan violation terletak pada adanya kesengajaan. Berikut ini adalah contoh kongkret aplikasi dari HFACS yang berbasis pada model rangkaian kecelakaan ‘Swiss Cheese’ yang di gunakan untuk analisa kecelakaan pesawat Comair Flight 5191 yang terjadi di Lexington, Kentucky USA, 27 Agustus 2006.
Sebuah CRJ-100ER mengalami kecelakaan pada saat take off. Crew telah diinstruksikan oleh ATC untuk menggunakan runway 22, tetapi salah menggunakan runway 26 yang lebih pendek, sehingga pesawat keluar dari ujung landasan sebelum tinggal landas yang mengakibatkan 49 penumpangnya tewas.
Keterangan:
- Organization Influence (Latent Failure): FAA ATC runway crossing not required (Tidak diperlukan clearance untuk runway crossing menurut FAA pada saat itu)
- Unsafe Supervision (Latent Failure): Failed to correct runway line-up. (Penerbang dan ATC gagal untuk mengoreksi kesalahan pada saat pesawat line-up akan take off)
- Precondition for Unsafe Act (Latent Failure): Inadequate Cockpit Resources Management (CRM), (Tidak ada interaksi antara Crew dan ATC, walaupun Crew menyadari lampu pada runway yang salah, tidak menyala)
- Unsafe Act (Active Failure): Error- Copilot gagal untuk cross check runway heading. Violation of Steril Cockpit Rule (Banyak pembicaraan tak berguna di kokpit selama taxi mengakibatkan Crew kehilangan konsentrasi dan kewaspadaan)
Kelanjutan tulisan ini tentang bagaimana management human error, akan dituangkan dalam tulisan berikutnya.