Awal Oktober 2012 di Beeliar, Western Australia 6164

Dalam tulisan sebelumnya, kita telah membahas topik tentang Annex 13 Konvensi Chicago, yang merupakan hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah masalah penerbangan sebagai alat transportasi untuk umum. Supaya penerbangan dapat diterima sebagai alat transportasi oleh publik, pertama-tama harus dibuktikan lebih dulu kepada masyarakat bahwa penerbangan adalah moda transportasi yang aman selamat, di samping nyaman, cepat, dapat diandalkan jadwalnya dan dengan harga tiket yang terjangkau oleh sebagian besar anggota masyarakat. Pada awalnya, keselamatan penerbangan tidak bisa dijamin dan penerbangan hanya dilakukan oleh para pionir yang berjiwa petualang dan berani mengambil risiko, walaupun nyawalah yang menjadi taruhannya. 

Bagi kebanyakan orang, penerbangan hanya bermanfaat sebagai alat transportasi jarak jauh yang sangat cepat apabila keselamatan terbang dapat dijamin. Itulah sebabnya mengapa para pionir penerbangan dari sejak awalnya telah memikirkan bagaimana cara membuat penerbangan terjamin keselamatannya sehingga bisa diterima oleh publik sebagai salah satu pilihan moda transportasi khususnya untuk jarak menengah dan jarak jauh. Iptek penerbangan pada awalnya masih sangat terbatas dan kecelakaan pesawat sering terjadi. Untuk mencegah terulangnya kejadian kecelakaan yang sama, para perancang pesawat harus memahami faktor-faktor apa saja yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Dengan pengertian yang dimiliki, para perancang kemudian bisa berusaha mencari solusi teknis yang apabila diterapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang sama.

Untuk mendapatkan pengertian mengenai faktor-faktor penyebab kecelakaan, para perancang dan insinyur harus menerapkan iptek terbaru yang telah dikuasai, dalam proses perancangan dan produksi pesawat. Pada awalnya iptek yang sudah dikuasai masih sangat terbatas dan kekurangmengertian mengenai hal teknis tertentu sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Dengan mengumpulkan semua data yang diperkirakan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan pesawat terbang dan menganalisis data tersebut, pengetahuan manusia tentang iptek penerbangan sedikit demi sedikit mulai meningkat dan keselamatan penerbangan sedikit demi sedikit dapat diperbaiki sehingga akhirnya penerbangan telah menjadi moda transportasi yang paling aman selamat bila dibandingkan dengan moda2 transportasi darat dan laut. Itulah sebabnya mengapa sebuah sistem atau prosedur penyidikan kecelakaan pesawat merupakan bagian yang sangat penting dalam proses membuat penerbangan menjadi alat transportasi yang aman selamat dan diterima oleh publik.

Karena pesawat terbang dapat bergerak dengan sangat cepat dan dengan mudah dapat melintasi batas negara, maka kebanyakan penerbangan sipil melibatkan beberapa negara dan mau tidak mau penyidikan keselamatan terbang harus didukung oleh sebuah kesepakatan bersama oleh negara-negara di dunia. Konvensi Chicago adalah kesepakatan bersama dari negara-negara di dunia yang mengatur tentang penerbangan internasional. Annex 13 adalah bagian dari Konvensi Chicago yang mengatur tentang bagaimana penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan supaya mendapat hasil yang maksimal dan paling bermanfaat dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan yang sama dimasa yang akan datang.

Dalam tulisan ini kita akan mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian dari prosedur dan teknik penyidikan kecelakaan pesawat terbang, yang secara garis besarnya telah dibahas dalam 2 tulisan sebelumnya.

Proses Penyidikan

Tujuan penyidikan hanya dapat diperoleh secara optimal apabila penyidikan dilakukan secara teratur dan terorganisir dengan baik. Penyidikan dilakukan di bawah pimpinan seorang IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Utama. Dialah yang bertanggung jawab untuk mengorganisir dan merencanakan penyidikan, yang dari sejak awalnya harus sudah ditentukan luas dan besaran ruang lingkupnya, dan secara berkesinambungan harus dikaji ulang untuk menentukan sumber daya manusia (personil) dan sumber daya lainnya, termasuk dana, yang dibutuhkan dan paling tepat untuk mencapai tujuan penyidikan. Penyidikan kecelakaan pesawat terbang pada dasarnya sama saja dengan penyidikan dalam cerita detektif, yaitu pada awalnya penyidik perlu membuat sebuah daftar dari semua hal yang mungkin berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, kemudian mengumpulkan bukti-bukti dan mengkaji semua fakta baik yang mendukung maupun yang bertentangan dengan anggapan yang dibuat waktu membuat daftar. Faktor-faktor yang tercantum dalam daftar kemudian dikaji dan yang tidak didukung oleh fakta kemudian dicoret. Faktor-faktor yang masih tersisa kemudian diuji lagi dengan mengumpulkan data-data tambahan. Para penyidik harus mengkaji semua informasi yang sedang dikumpulkan secara berurutan dan hasilnya digunakan untuk menentukan arah dan ke dalaman ruang lingkup penyidikan. Kalau pesawat yang naas adalah sebuah pesawat besar pengangkut penumpang sipil, kemungkinannya adalah bahwa penyidikan harus dilakukan secara besar-besaran, membutuhkan sumber daya yang besar dan melibatkan sekelompok penyidik. Kecelakaan yang melibatkan sebuah pesawat kecil boleh jadi hanya perlu dilakukan oleh seorang penyidik saja, yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki badan penyidikan ataupun organisasi luar, untuk tujuan-tujuan khusus tertentu sesuai kebutuhan.

Penyidik Utama (IIC) dilantik untuk bertanggung jawab secara menyeluruh untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengendalikan jalannya penyidikan. IIC yang diberi beban seberat itu harus didukung sepenuhnya oleh badan penyidikan (seperti KNKT atau ATSB dan lainnya) yang melantiknya untuk kurun waktu terbatas yaitu sampai penyidikan telah dituntaskan. Untuk penyidikan berskala besar, IIC sesungguhnya lebih berperan sebagai seorang manager upaya penyidikan, bukannya semata-mata melakukan tugas penyidikan secara teknis saja. Itulah sebabnya mengapa IIC harus segera bertemu dengan para AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi dari negara-negara terkontrak yang terlibat. Selanjutnya IIC harus memastikan bahwa semua kebutuhan sumberdaya terpenuhi dan berada di tempat yang seharusnya, bahwa semua personil (AR dan para penasehat mereka) telah diberitahu semua hak dan kewajiban mereka, semua dokumentasi yang relevan telah disediakan khususnya bagi para wakil dari luar negeri tersebut, dan secara mendasar IIC harus secara tegas langsung mengambil kendali untuk pelaksanaan penyidikan dengan mengorganisir semua personil yang terlibat. Untuk penyidikan berskala besar, IIC harus diberi dukungan administratif untuk memulai pelaksanaan penyidikan. Pada umumnya penyidikan berskala besar selalu mendapat perhatian dari media masa dunia dan sebaiknya IIC mengeluarkan pernyataan resmi mengenai fakta-fakta yang telah dikumpulkan secara berkala, tetapi ini sebaiknya hanya dilakukan setelah IIC berkonsultasi dengan para wakil resmi (AR) dan sesuai dengan kebijakan dan prosedur resmi yang berlaku setempat. Di Australia undang-undang dan prosedur mengenai masalah penyidikan tercakup dalam Transport Investigation Act (TSI) Act 2003, the Transport Investigation Regulations dan the ATSB Procedures Manual. Hal-hal yang dibahas lebih lanjut di bawah ini berlaku khususnya di Australia, tetapi secara umum juga berlaku di negara-negara terkontrak (anggota ICAO ) lainnya.

Kalau sebuah kecelakaan pesawat terbang terjadi, tanggapan oleh pihak yang berwajib tentu saja tergantung pada skala besar kecelakaan dan penyidikan yang diperlukan. Penyidikan bisa berskala kecil, yang melibatkan hanya seorang penyidik saja, yang tidak mengunjungi lokasi kecelakaan, tetapi hanya melakukan penyidikan lewat telpon. Tentu saja cakupan penyidikan seperti itu jelas sangat terbatas, walaupun birokrasi pemerintahan cenderung menyukai pendekatan ini, karena membutuhkan biaya yang tidak besar. Masalahnya adalah tidak adanya kesempatan untuk verifikasi kebenaran informasi yang diperoleh ataupun untuk memeriksa hal-hal yang tak terduga. Untuk penyidikan berskala besar, prosedur yang diterapkan biasanya melibatkan “Group System” yang melibatkan banyak orang ataupun kelompok2 penyidik dari seluruh dunia di samping para penyidik lokal.

Saat seorang penyidik diberi tugas untuk melakukan penyidikan yang pertama kali baginya, itu adalah sebuah pengalaman yang cukup menegangkan karena memang mustahil untuk sepenuhnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi apa saja yang akan dihadapi, seperti harus berkoordinasi dengan badan2 pengendali keadaan gawat darurat (emergency services), berhadapan dengan para anggota keluarga para korban yang sedang berduka ataupun yang sedang berharap cemas ingin tahu apakah keluarga mereka selamat atau tidak, dengan penduduk setempat, dan dengan para reporter. Satu-satunya cara untuk mengurangi ketegangan bagi penyidik pemula adalah dengan “bersiap diri”, “terorganisir”, “berpengetahuan” dan “berhati-hati”. Di bawah ini kita akan membahas apa yang dimaksud dengan kata-kata tersebut.

 

 “Bersiap Diri”

Seorang penyidik harus siap dipanggil untuk melaksanakan tugas kapan saja. Untuk tujuan tersebut seorang penyidik harus mempunyai “perlengkapan siap pakai” atau dalam bahasa Inggrisnya “go kit”. Ini terdiri dari sebuah tas punggung (back pack) berkualitas yang dilengkapi dengan sebuah tas kecil yang sebaiknya dapat dicopot. Dalam tas tersebut penyidik harus punya pakaian, kaos kaki, dan sepatu bot. Barang-barang tersebut harus cocok untuk cuaca di lokasi di mana penyidik akan bekerja. Di Australia ini berarti segala macam cuaca, mulai dari kelembaban tropis dan panas gurun, sampai kedinginan daerah pegunungan yang mungkin bersalju. Di samping keperluan pribadi, tas harus berisi peralatan dasar untuk penyidikan seperti alat tulis, telpon genggam, alat perekam, alat pengukur kemiringan (inclinometer), timbangan, kamera, kompas, penyimpan sampel, pengukur panjang, peralatan keselamatan (topeng gas, sarung tangan, baju luar sekali pakai, baju luar terbuat dari katun), air minum, dan formulir2 resmi (salinan undang-undang, salinan Annex 13, manual, kwitansi, formulir pemesanan barang dan lain sebagainya). Sebuah laptop, walau agak berat, sebaiknya juga dibawa, di samping kamera digital. Sambungan ke internet lewat satelit harus disiapkan. Foto-foto digital yang diambil sebaiknya bisa dikirim langsung ke kantor pusat lewat internet kalau memungkinkan. Kalau foto-foto yang diambil membutuhkan memori yang terlalu besar untuk bisa dikirim lewat internet, maka foto-foto tersebut harus dibakar dalam CD (Compact Disc) atau DVD (Digital Video Disc) dan dikirim lewat pos kilat khusus, supaya kantor pusat dapat mengikuti perkembangan mutakhir dari penyidikan. Jadi beberapa cakram CD atau DVD harus disimpan dalam tas, dan laptop yang dibawa harus dilengkapi dengan pembakar CD atau DVD atau Blue Ray. Dengan adanya “cloud computing” belakangan ini, data sampai puluhan Gigabytes bisa disimpan dalam sistem penyimpan yang bisa diakses dari mana saja, oleh semua orang yang diberi akses, jadi dimasa depan mungkin CD atau DVD penyimpan data tidak diperlukan lagi. Semua peralatan yang disimpan dalam tas harus secara rutin diperiksa untuk memastikan bahwa semuanya dalam kondisi bekerja dengan baik, batere2 yang disimpan semuanya berisi muatan penuh, dan tidak ada komponen sekecil apapun yang hilang atau tidak berfungsi. Untuk penyidikan skala kecil, sebuah “go kit” yang lengkap akan memungkinkan penyidik mulai bekerja dengan segera. Untuk penyidikan skala besar atau kasus kecelakaan yang rumit tentu saja dibutuhkan sumberdaya peralatan dan manusia yang jauh lebih banyak, dan disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul.

 

“Terorganisir”

Seorang penyidik harus senantiasa berada dalam kondisi “terorganisir”, karena biasanya seorang penyidik hanya punya waktu beberapa jam setelah panggilan untuk memulai tugas sampai dia siap naik pesawat untuk terbang kemana saja di negara tempat kejadian kecelakaan, yang jauh dari tempat dia tinggal. Penyidik harus punya paspor yang masih berlaku dan siap dibawa lengkap dengan visa dan semua persyaratan kesehatan (kalau ditugaskan ke negara yang sedang punya wabah penyakit), dan tentu saja penyidik harus mampu secepatnya membukukan tiket untuk terbang. Penyidik harus tahu pasti tentang “apa”, “di mana” dan “bagaimana” dari setiap hal yang harus dilakukan, seperti siapa yang sudah berada di lokasi kejadian kecelakaan, di mana letak lokasi dan bagaimana cara mencapai lokasi tersebut (yang mungkin berada di tempat terpencil dipegunungan dan lain sebagainya). Sebaiknya penyidik juga punya langganan tempat membeli barang-barang seperti pita pengukur panjang, alat pembatas pencegah orang2 tak berkepentingan memasuki kawasan kecelakaan dan bahkan kalau diperlukan juga “portable toilets” atau WC sementara siap pakai. Dalam hal ini kalau otorita penyidikan punya kantor cabang pembantu di dekat lokasi kecelakaan, itu tentu sangat membantu karena mereka bisa diandalkan untuk punya hubungan dengan toko atau supplier lokal. Kalau tidak ada kantor cabang pembantu, maka penyidik harus minta pertolongan kepada polisi dan badan2 pengelola kondisi gawat darurat setempat.

 

“Berpengetahuan”

Yang dimaksud dengan pengetahuan disini adalah pengetahuan umum mengenai kondisi setempat, yang dapat membantu penyidik untuk tidak melakukan tindakan ceroboh yang boleh jadi akan membuat banyak orang setempat menjadi gusar dan tersinggung. Dalam peristiwa kecelakaan, apalagi bila ada korban yang meninggal dunia, orang akan merasa tegang, sedih dan mudah marah, reporter akan berkeliaran mencari berita2 menarik yang dapat menjual medianya seperti koran, radio dan TV dan lain sebagainya, termasuk reporter amatir yang menulis dalam blognya di internet. Politik lokal juga akan menjadi sorotan perhatian dan akan ada banyak politisi yang mencari muka dengan bersikap memusuhi penyidik yang dianggap mewakili mereka yang bertanggung jawab mengapa kecelakaan terjadi. Inilah sebabnya mengapa pengetahuan tentang situasi dan kondisi setempat akan sangat membantu penyidik dalam bersikap hati-hati dan tidak berlaku ceroboh dan membuat musuh dari orang2 setempat yang seharusnya justru dibutuhkan untuk membantu menuntaskan penyidikan kecelakaan. Dalam hal ini, penyidik bisa mendapat bantuan dari pihak kepolisian dan juga dari badan pengelola kondisi gawat darurat setempat, yang dapat memberi informasi mengenai situasi dan kondisi setempat.

 

“Berhati-hati”

Penyidik harus selalu berhati-hati karena kecelakaan pesawat terbang selalu menarik perhatian banyak orang. Penyidik harus selalu berhati-hati kepada siapa mereka bicara dan yang lebih penting lagi adalah apa yang mereka bicarakan. Penyidik harus selalu tahu dengan siapa mereka berbicara, misalnya penyidik harus selalu menelpon kembali sesorang penelpon untuk meyakinkan identitas penelpon, yang mungkin saja ingin mengecoh penyidik dengan memberikan informasi palsu dan lain sebagainya. Polisi dan pihak pengadilan negeri setempat bisa jadi juga merasa tersaingi, bahkan terancam dengan keberadaan penyidik, jadi sebaiknya penyidik telah mempelajari dengan sebaik-baiknya batasan-batasan dari hak-hak mereka sebelum berangkat ke lokasi kecelakaan, supaya tidak menjadi bermusuhan dengan otorita setempat.

 

Awal Penyidikan dan Laporan

Penyidikan kecelakaan pesawat berawal dengan adanya laporan tentang terjadinya kecelakaan, yang dilaporkan ke Badan Penyidikan Keselamatan Transportasi (BPKT) seperti ATSB atau KNKT di Indonesia. Bagian 3 dari undang-undang Australia TSI Act 2003 dan bagian 2 dari Transport Safety Investigation Regulations menyatakan bahwa seorang penduduk yang merasa punya tanggung jawab sosial dan mengetahui terjadinya suatu kecelakaan yang patut dilaporkan, diharuskan melaporkan hal tersebut ke ATSB. Artikel 2.4 sampai 2.7 dari peraturan dan Section 3 dari undang-undang tadi memberikan petunjuk tentang persyaratan bagaimana cara memberikan laporan kepada ATSB. Setiap negara anggota ICAO atau negara terkontrak diwajibkan memberikan laporan tentang terjadinya kecelakaan pesawat kepada ICAO sesuai dengan yang tercantum dalam Annex 13 Chapter 4 mengenai kecelakaan yang bersifat aksiden ataupun insiden yang serius. Chapter 7 dari Annex 13 menyatakan bahwa negara anggota ICAO diwajibkan untuk menyampaikan ADREPs (Accident/Incident Data Report) atau Laporan Data Aksiden/Insiden, tergantung pada sifat kecelakaan, yang perinciannya diberikan lebih lanjut di Attachment B dari Annex 13. Sesuai dengan isi Attachment tersebut, Kejadian Internasional (International Occurences) adalah Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi di wilayah negara terkontrak dan dialami oleh sebuah pesawat terbang yang diregistrasikan di negara terkontrak lainnya, sedangkan Kejadian Domestik adalah Aksiden atau Insiden Serius yang terjadi di wilayah negara terkontrak di mana pesawat diregistrasikan. Kejadian-kejadian lainnya yang mungkin terjadi adalah Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi di wilayah negara tak terkontrak (negara yang bukan anggota ICAO) atau di luar wilayah negara manapun juga (misalnya di laut internasional).

ATSB mempunyai sebuah prosedur pelaporan resmi yang memberitahukan kepada ICAO tentang aksiden dan insiden yang terjadi di Australia, sebagai wujud kewajibannya dalam memenuhi kesepakatan Konvensi Chicago, kecuali untuk kasus-kasus di mana Australia telah menyampaikan nota resmi menjelaskan “differences” atau perbedaan-perbedaan antara apa yang diminta ICAO dan apa yang bisa dilakukan oleh Australia karena keterbatasan yang ada di Australia.

 

Jenis2 laporan yang mungkin diminta oleh ICAO di antaranya adalah:

  • Laporan Awal (Preliminary Report)
  • Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP (Accident/Incident Data Report)
  • Laporan Akhir (Final Report) dan
  • Ringkasan Laporan Akhir (Summary of the Final Report).

Notifikasi (Notification) wajib dilaporkan oleh negara terkontrak di mana kecelakaan terjadi atau Negara Tempat Kejadian Kecelakaan (NTKK) untuk semua Kejadian Internasional yang melibatkan pesawat apapun, dan disampaikan kepada Negara-negara Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur, dan juga ke ICAO (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg). Negara Registrasi diwajibkan menyampaikan Notifikasi kepada Negara-negara Operator, Desain dan Manufaktur, dan juga ICAO (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg) untuk kecelakaan2 yang termasuk dalam Kejadian Domestik atau Kejadian lainnya (kalau berat pesawat lebih dari 2250 kg).

Di samping notifikasi, negara yang melakukan penyidikan juga diharuskan untuk menyampaikan Laporan Awal (Preliminary Report) untuk semua Aksiden dan Insiden Serius yang terjadi di negara tersebut. Laporan awal mencakup informasi awal berdasarkan fakta dan hal-hal yang terkait tentang kecelakaan yang terjadi, dan harus disampaikan se-lambat2nya 30 hari setelah terjadinya kecelakaan. Aksiden yang terjadi pada pesawat dengan berat lebih dari 2250 kg harus dilaporkan kepada ICAO dalam bentuk Laporan Awal, dan juga kepada Negara-negara Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur dan Negara-negara lain yang memberikan informasi, dan fasilitas yang signifikan atau tenaga ahli. Untuk kasus aksiden yang melibatkan pesawat dengan berat kurang dari 2250 kg, atau apabila melibatkan masalah kelaikan terbang dan hal-hal lain yang dipandang penting, Laporan Awal juga harus disampaikan kepada semua pihak seperti disebutkan sebelumnya, dengan perkecualian bahwa ICAO tidak perlu diberi laporan tersebut. Format laporan dapat dibaca rinciannya di buku petunjuk ICAO yaitu ICAO Accident/Incident Reporting Manual. Laporan awal berbentuk laporan data yang dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam database komputer. Informasi yang tersimpan kemudian dijadikan database tentang kecelakaan pesawat terbang di seluruh dunia dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara yang menginginkan data statistik bulanan atau tahunan.

Laporan Data Aksiden/Insiden atau ADREP harus diserahkan setelah Laporan Akhir disetujui oleh otorita yang berwewenang, yang untuk Australia adalah Direktur Pelaksana (Executive Director) ATSB, sedangkan di Inggris Raya oleh Kepala Penyidik (Chief Investigator) AAIB. Manfaat ADREP adalah sebagai sebuah standar metoda pelaporan yang memberikan informasi yang akurat dan lengkap tentang kecelakaan yang terjadi.

Baik Laporan Akhir maupun Ringkasan dari Laporan Akhir adalah Laporan Kisah yang bercerita tentang apa yang dilaporkan, bukan sekedar sejumlah data teknis saja. Ringkasan dari Laporan Akhir diserahkan oleh Negara Penyidik apabila negara tersebut berpendapat bahwa informasi yang tercantum dalam laporan dinilai sangat penting dalam mempromosikan keselamatan penerbangan, mungkin karena melibatkan sebuah teknik penyidikan baru ataupun menyampaikan saran tentang beberapa tindakan pencegahan yang diperkirakan akan dapat mencegah terulangnya kembali kecelakaan yang sama atau mirip.

 

Hubungan kerja (Liaison)

Mengingat bahwa aviasi itu bersifat antar bangsa, jadi walaupun melakukan penyidikan untuk kasus Kecelakaan Domestik, seorang penyidik harus selalu mengingat persyaratan Annex 13 dalam melakukan penyidikannya. Sebagai contoh, penyidik yang ingin menghubungi perusahaan yang memproduksi pesawat, tidak boleh begitu saja langsung menghubungi perusahaan tersebut, tetapi harus menghubungi dulu BPKT (Badan Penyidik Kecelakaan Transportasi) negara di mana perusahaan tersebut berada (misalnya NTSB di Amerika Serikat atau AAIB di Inggris Raya). Seorang penyidik yang bijaksana kemudian menyitir perwakilan BPKT dalam laporannya, dan dengan cara tersebut dia akan mendapatkan perlindungan untuk informasi yang disampaikan yang diberikan oleh Annex 13 Konvensi Chicago. Di samping itu, BPKT biasanya juga dapat memperlancar terjadinya kerjasama antara penyidik dengan misalnya perusahaan produsen pesawat, ataupun dengan perusahaan lainnya. Misalnya saja Boeing akan lebih cepat menanggapi sebuah permintaan untuk data-data teknis tertentu, bila yang memintanya adalah NTSB dibandingkan dengan kalau yang minta adalah penyidik KNKT yang secara langsung menghubungi Boeing untuk minta data. 

Setelah menyampaikan notifikasi, BPKT negara tempat kejadian kecelakaan (NTKK) harus membuat keputusan untuk melakukan penyidikan atau tidak. ICAO memang mengharuskan semua NTKK agar menyidik semua kecelakaan yang terjadi di negara tersebut. Tetapi, dalam prakteknya ini tidak dilakukan. Sebagai contoh, seperti telah disebut sebelumnya Australia telah menyampaikan keberatan atau “difference” formalnya, yaitu bahwa Australia hanya akan melakukan penyidikan untuk kecelakaan yang terjadi pada pesawat angkutan sipil, sedangkan untuk pesawat lainnya seperti pesawat agrikultur, pesawat kecil pribadi atau pesawat olah raga, penyidikan hanya akan dilakukan apabila Australia memandang bahwa hasil penyidikan pada kecelakaan yang terjadi akan sangat bermanfaat di dunia internasional dan Australia memiliki dana untuk melakukan penyidikan. Kalau diputuskan untuk melakukan penyidikan, Penyidik Utama (IIC) harus segera menghubungi otorita lokal di tempat terjadinya kecelakaan, dan berusaha menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis dengan otorita setempat tersebut kedepannya. IIC harus segera mengorganisir sekuriti untuk mengamankan barang bukti di tempat terjadinya kecelakaan.

 

Sekuriti Situs Kecelakaan

Petugas2 sekuriti jelas dibutuhkan untuk mengamankan barang bukti di tempat terjadinya kecelakaan, yang mungkin saja akan dicuri atau diambil secara tidak sengaja oleh penduduk setempat di sekitar lokasi kecelakaan. Di samping itu, reruntuhan pesawat bisa berbahaya bagi penduduk setempat yang kurang berhati-hati dan berjalan disekeliling reruntuhan pesawat yang tidak dijaga, dan dapat dengan mudah menjadi terluka ataupun terkena radiasi, atau menghirup gas beracun dan lain sebagainya. Perimeter atau garis batas lokasi kecelakaan (“police line”) harus segera ditentukan dan dipatok serta dijaga oleh petugas sekuriti. Semua personil, yaitu penyidik dan petugas lain yang bekerja di lokasi kecelakaan harus mengenakan tanda pengenal yang sah, dan harus memakai seragam yang memadai supaya tidak cedera selama bertugas di situ. Orang lain yang tak berwewenang, termasuk para reporter, harus dicegah memasuki lokasi tersebut.

 

Barang Bukti

Barang bukti seringkali bersifat sangat mudah untuk menjadi musnah, baik karena cuaca (hujan, angin dan lain sebagainya), dan juga karena manusia ataupun binatang yang berlalu lalang secara bebas di lokasi kecelakaan. Hal-hal tersebut juga bisa saja menyebarkan bahan berbahaya dari lokasi ke tempat lain di luar lokasi, yang mungkin saja adalah sebuah kota dengan penduduk yang berjumlah cukup banyak. Bahan berbahaya atau hazard tersebut bisa jadi adalah bio-hazard alias kuman dan virus misalnya, ataupun racun dan gas berbahaya dari penyimpan gas yang meledak, dan tentu saja kemungkinan mendapat luka yang cukup parah dari reruntuhan yang tajam ataupun tertimpa benda berat dan lain sebagainya.

 

Korban Selamat

Apabila ditemukan adanya korban yang masih hidup, tentu saja korban tersebut harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis secepatnya supaya hidupnya dapat diselamatkan dan lukanya diobati dan dirawat. Dari segi penyidikan memang tidak ada desakan untuk sesegera mungkin mengangkat jenasah ataupun bagian tubuh korban yang berserakan, tetapi dari segi kemanusiaan dan tuntutan para keluarga korban tentu saja jenasah tersebut harus diamankan diangkut dari lokasi kejadian ke tempat yang lebih tepat untuk pengurusan korban, misalnya dirumah sakit terdekat ataupun tenda medis darurat yang perlu dibangun di dekat lokasi kejadian. Hal ini juga perlu dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit ataupun kemungkinan sisa para korban dimakan oleh binatang liar yang mungkin berada di daerah sekitar lokasi yang mungkin adalah hutan belukar dan lain sebagainya.

Namun demikian, sebelum para korban dievakuasi harus dulu diambil foto-foto yang menggambarkan skenario kecelakaan secara umum sebelum skenario tersebut berubah karena adanya barang bukti yang sudah dipindahkan. Penyidik harus dari sejak awal berkoordinasi dengan para ahli forensik untuk mengumpulkan informasi dari hasil “post mortem” atau pembedahan untuk menentukan penyebab kematian dan lainnya, yang nantinya dibutuhkan untuk analisis penyidikan. Kalau penyidik terpaksa minta pertolongan pihak kepolisian untuk mengambil foto-foto dari lokasi kejadian, penyidik harus secara tegas minta supaya polisi mengambil foto-foto yang memberikan gambaran menyeluruh tentang lokasi kejadian, dan bukannya hanya foto-foto jarak dekat dan foto-foto “close up” saja, yang biasanya diambil fotonya oleh polisi dalam penyidikan mereka.

Hal-hal tersebut di atas bisa dilakukan sebelum IIC mencapai lokasi, yaitu lewat telpon minta pertolongan pihak kepolisian dan badan penanggulangan bencana setempat dan lain sebagainya. Begitu IIC sampai di lokasi kejadian biasanya otorita setempat langsung mendesak IIC untuk secepat mungkin mengambil alih tanggung jawab penyidikan, di mana IIC bertanggung jawab sepenuhnya untuk semua permasalahan yang menyangkut sekuriti, keamanan dan keselamatan. Itulah sebabnya mengapa IIC tidak boleh gegabah mengambil alih begitu saja, tetapi sebaiknya serah terima tanggung jawab baru dilakukan setelah IIC meyakinkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan sekuriti dan keselamatan telah dibahas dan disetujui bersama dan IIC merasa yakin mampu mengurusnya. IIC harus menyiapkan secara tuntas segala hal yang menyangkut konsumsi dan kebersihan, dan membuat jadwal kerja bagi semua personil yang bekerja di lokasi kejadian. Biasanya para personil harus bekerja keras dengan jam kerja yang sangat panjang dan melelahkan, dengan kondisi kerja yang penuh tantangan, jadi IIC harus bisa memberikan tempat istirahat yang memadai, minuman dan makanan bergizi, dan air bersih untuk mandi dan keperluan lainnya.

 

Memulai Penyidikan

Setelah menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah sekuriti dan keselamatan, IIC disarankan untuk menjauhi tempat kecelakaan dan mencoba menyerap situasi dan kondisi secara keseluruhan dan tidak menjadi terbawa emosi oleh suasana yang mencekam, terfokus pada detil yang dapat membuat arah penyidikan menjadi kabur. IIC harus menyimak suasana kawasan lokasi secara menyeluruh dan menyerap seluruh informasi yang diperoleh lewat pancainderanya. Setelah mendapatkan gambaran besar dari suasana lokasi kecelakaan, barulah IIC mulai memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat lebih rinci dari dekat.

Lokasi kecelakaan sebenarnya bukan hanya di mana reruntuhan pesawat berada, tetapi jauh lebih luas, yaitu mencakup hanggar atau bengkel perawatan dan juga perkantoran operator pesawat. Kecelakaan hanya terjadi setelah serangkaian peristiwa terjadi dan yang terakhir adalah pilot yang tak mampu mengelakkan terjadinya kecelakaan. Tetapi bisa jadi bahwa kecelakaan dimulai sejak pesawat meninggalkan landasan saat take-off, mungkin karena teknisi perawatan telah melakukan kesalahan dalam merawat ataupun mereparasi pesawat.

Bisa jadi juga cara kerja organisasi operator pesawat lah yang punya andil besar dalam terjadinya kecelakaan. Semua faktor ini harus diperhitungkan, dan IIC tidak boleh gegabah menganggap bahwa hanya pilot dan kru terbang pesawat saja yang harus langsung dicurigai sebagai penyebab kecelakaan. IIC harus menyadari bahwa dia tidak bisa begitu saja langsung masuk ke kawasan kerja operator pesawat dan minta segala macam dokumen yang mungkin berkaitan dengan kecelakaan pesawat. IIC harus menghormati undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku setempat dan apapun juga yang dilakukan IIC harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Di Australia ada pasal2 yang mengatur mengenai perlunya dan bagaimana cara mendapatkan “Investigation Warrants” atau ijin penyitaan barang bukti untuk tujuan penyidikan sebelum memasuki kawasan kerja operator pesawat. Di samping minta dan kalau perlu menyita dokumen-dokumen kerja yang diperlukan sebagai barang bukti, penyidik juga harus meyakinkan bahwa data-data meteorologi, rekaman radar dan pita suara, komputer, dokumen-dokumen rencana penerbangan (flight plan), perawatan (maintenance) dan pelatihan (training) karyawan dikumpulkan dan diamankan untuk dianalisis lebih lanjut.

 

Menyurvei Suasana Lokasi

Para penyidik harus membuat catatan dan mengambil foto dari suasana di lokasi kecelakaan yang dapat memberikan gambaran besar dari suasana kecelakaan di samping mengambil foto-foto “close up” yang lebih rinci. Ini mencakup hal-hal seperti kondisi geografis setempat, apakah berbukit, dan ada banyak bebatuan besar-besar yang berserakan, ataukah tanahnya berpasir atau berlumpur dan lain sebagainya. Rincian dari tanda-tanda goresan di bumi dari pesawat yang jatuh harus dipelajari secara rinci, termasuk ke dalaman dari amblesnya reruntuhan ke dalam bumi, luas dan arah dari tersebarnya reruntuhan pesawat dan lain sebagainya. Kalau ada kertas dari dalam pesawat yang tersebar dikawasan reruntuhan, sebaran dari kertas-kertas akan dapat memberikan gambaran tentang arah dan kencangnya angin yang berhembus di lokasi saat kecelakaan terjadi. Penyidik harus memeriksa apakah ada kobaran api yang pernah terjadi tetapi sudah padam atau yang masih berkobar saat disidik, karena ini bisa memberikan informasi tentang penyebab terjadinya kecelakaan (misalnya kalau terjadi kebakaran di dalam pesawat saat terbang). Tetapi bisa jadi juga bahwa kebakaran terjadi setelah pesawat jatuh dan bahan bakar di pesawat tumpah dan kalau ada pemicunya maka kebakaran pasti terjadi. Hal lain yang perlu diperiksa adalah kemungkinan bahwa kecelakaan terjadi sebagai akibat dari “bird strike” atau ada beberapa burung besar (paling tidaknya sebesar ayam) yang bertabrakan dengan pesawat dan terhisap masuk ke engine pesawat dan menyebabkan engine menjadi tak berfungsi dan pesawat jatuh karena tidak ada daya pendorongnya lagi.

Seluruh situasi dan kondisi kecelakaan harus diamati dan dicatat secara hati-hati dan sangat rinci, baik dengan menggunakan buku catatan ataupun direkam dengan perekam suara (tape recorder atau digital solid state recorder). Tetapi penyidik harus berhati-hati untuk tidak menyentuh, membalikkan atau mengambil sesuatu yang bisa jadi adalah barang bukti yang sangat penting. Survei seperti yang dijelaskan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, sebelum ada barang bukti yang letak dan posisinya berubah, atau diubah oleh manusia ataupun binatang yang berkeliaran di kawasan itu sebelum sekuriti diterapkan. Hal-hal penting yang dapat diamati dengan mudah, seperti kondisi dan bentuk propeler yang rusak dan bengkok, adanya permukaan kendali (control surface) yang hilang, arah dan kondisi pohon yang tumbang karena ditabrak oleh pesawat yang naas, goresan di tanah yang disebabkan oleh pesawat yang tergelincir di situ, semuanya harus direkam dengan cermat dan seakurat mungkin.

Kondisi di lokasi kecelakaan harus direkam seperti apa adanya, sesaat setelah reruntuhan pesawat menghantam bumi atau tergeletak di dasar laut (bila pesawat jatuh ke laut). Semua bagian dari reruntuhan pesawat harus difoto di mana dia berada seperti apa adanya, sebelum barang tersebut nantinya diangkut ke laboratorium atau tempat di mana barang tersebut akan diperiksa lebih lanjut. Setelah barang diangkat dari lokasi, tak ada seorangpun yang akan bisa ingat di mana barang tadi berada sesaat setelah kecelakaan terjadi. Jadi situasi di sekitar kawasan kecelakaan dan kondisi barang bukti yang berupa serpihan pesawat dan lain sebagainya harus direkam dalam bentuk foto dan juga dalam bentuk catatan, yang bisa jadi tertulis atau direkam dalam bentuk rekaman suara penyidik yang menceritakan rincian dari apa yang dia lihat dan amati saat itu.

Keadaan di lokasi kecelakaan jelas sangat berbeda untuk pesawat kecil dan untuk pesawat angkutan sipil yang besar, di mana serpihan atau reruntuhan bagian pesawat bisa jadi tersebar di areal yang sangat luas, ratusan kilometer persegi atau lebih. Situasi dan kondisi reruntuhan pesawat yang jatuh di laut bisa diabadikan dengan bantuan sonar ataupun dengan bantuan ROV (Remotely Operated Vehicle) alias kapal selam robot kecil yang bisa beroperasi di lautan yang sangat dalam dan mampu mengambil foto-foto dari dekat dan gelap.

Di samping barang bukti yang dikumpulkan dari lokasi kejadian, penyidik juga perlu mengumpulkan semua barang bukti lainnya, seperti data-data dari produsen pesawat atau komponen pesawat, rekaman kegiatan “engineering” dari operator, pernyataan dari para teknisi dan staf engineering lainnya, sampel atau contoh dari bahan bakar (yang bisa jadi terkontaminasi dan berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan) dan juga rekaman informasi tentang jasa angkutan yang telah dilakukan oleh operator. Kalau penyidik mengalami kesulitan, baik teknis maupun non-teknis, penyidik tidak boleh ragu-ragu untuk minta bantuan dari pihak-pihak luar yang lebih berkompetensi di bidang-bidang tertentu yang terkait. Bantuan tersebut bisa diperoleh dalam bentuk nasihat oleh produsen pesawat atau para ahlinya, dari konsultan di bidang aeronotika ataupun peralatan yang digunakan dalam pesawat terbang, dan juga dari pihak militer jika memang diperlukan.

 

Teknik2 Penyidikan

Penyidikan kecelakaan pesawat terbang harus dilakukan secermat dan selengkap mungkin, dan memerlukan pengumpulan barang-barang bukti dari sumber-sumber yang seluas-luasnya. Penyidik harus cermat dan tidak boleh hanya tergantung pada satu sumber informasi saja dalam mengambil kesimpulan. Informasi harus dikumpulkan dari sebanyak mungkin sumber, sehingga kebenaran informasi dapat diuji dan di verifikasi, sebelum informasi tersebut digunakan dalam mengambil kesimpulan. Di bawah ini kita akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan pengumpulan barang bukti dan bagaimana barang bukti tersebut sebaiknya dimanfaatkan supaya memberikan hasil2 yang paling bermanfaat.

 

Jenis2 Barang Bukti

Penyidik tidak boleh tergantung pada satu sumber saja untuk bukti-bukti tertentu. Sebuah bukti dari satu sumber harus bisa dibandingkan dengan bukti untuk hal yang sama dari sumber yang lain. Dengan cara tersebut, penyidik bisa merasa sangat yakin akan kebenaran bukti tersebut, atau sebalinya bukti tersebut harus dibuang karena bukti dari satu sumber ternyata sangat berbeda, bahkan bertentangan dengan bukti yang diperoleh dari sumber lainnya. Hanya bukti-bukti yang telah diuji keabsahannya saja, yaitu dengan membandingkan bukti tentang hal yang sama dari beberapa sumber, yang boleh digunakan oleh penyidik dalam melakukan analisis selanjutnya.

Salah satu contoh dari barang bukti adalah struktur patahan (“fracture”) dari sebuah struktur komponen pesawat tertentu, atau apakah ada tanda-tanda kebakaran pada struktur tersebut misalnya. Komponen struktur yang patah harus dikumpulkan dan segera dikirim ke tempat pengumpulan barang bukti di mana analisis lanjutan akan dilakukan. Kalau ada patahan struktur yang menarik perhatian, sebaiknya bagian yang patah diperiksa secara teliti dengan bantuan kaca pembesar untuk menentukan apakah patahan struktur tersebut perlu diperiksa secara lebih teliti dan rinci di laboratorium analisis bukti atau tidak. Bentuk atau tanda-tanda yang ada pada permukaan patahan bisa menentukan apakah struktur tersebut patah karena “fatigue” (kelelahan logam) atau karena alasan lain. Hal tersebut hanya dapat diputuskan oleh seorang ahli metalurgi yang memeriksa barang bukti tersebut dengan peralatan laboratorium yang canggih dan tepat, misalnya mikroskop elektron, yang sangat akurat dan mahal sekali dan hanya dapat dioperasikan oleh seorang ahli di bidang tersebut. Pemeriksaan yang teliti seperti itu tidak bisa dilakukan di lokasi kejadian, tetapi hanya dapat dilakukan di laboratorium di mana kondisi pengujian dapat diatur dengan baik, menggunakan peralatan yang sepadan.

Barang bukti berupa reruntuhan pesawat dapat diperiksa untuk menentukan apakah api merupakan kemungkinan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan atau tidak, yaitu apakah terjadi kebakaran dalam pesawat saat sedang terbang dan kobaran api menjadi tak terkendali sehingga akhirnya menjadi sebab dari terjadinya kecelakaan. Kalau kerangka dan kulit pesawat terbuat dari logam (aluminium misalnya), maka aluminium akan meleleh dan membuat untaian yang memanjang mirip benang atau tali kalau terkena panas yang hebat dari kebakaran saat pesawat melayang di langit. Sebaliknya, bila kebakaran terjadi saat pesawat tidak bergerak (karena sudah jatuh menghujam ke bumi) maka lelehan logam akan terkumpul membentuk sebuah gundukan. Jadi analisis cepat akan bisa memberikan informasi mengenai apakah pesawat terbakar saat masih terbang di udara, ataukah pesawat menjadi terbakar saat pesawat jatuh menghantam bumi dan tangki bahan bakar pecah atau bocor dan dengan sangat mudahnya menjadi terbakar apabila ada percikan api, yang bisa saja terjadi saat pesawat menghantam bumi dan hancur berkeping-keping.

Pola asap kebakaran, yang dapat ditentukan dengan mengamati bentuk pola bekas kebakaran atau abu dan jelaga, dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah kebakaran terjadi saat pesawat masih melayang di udara. Kalau di lokasi kejadian dapat dilihat adanya pola bekas kebakaran yang menunjukkan bahwa api menyebar dari titik tepat sebelum pesawat menyentuh bumi sampai ke lokasi reruntuhan, maka jejak kebakaran dapat ditelusuri untuk menentukan sumber asal api. Di samping itu jenis jelaga yang terbentuk dapat diperiksa untuk menentukan sumber terjadinya kebakaran. Jenis jelaga dan bau kebakaran yang masih ada di lokasi bisa membantu untuk menentukan apakah kebakaran terjadi akibat adanya “sirkit pendek” (“short circuit”) arus listrik, yang dapat disimpulkan terjadi saat pesawat masih melayang di udara, atau apakah bau yang tercium adalah bau rerumputan yang terbakar karena adanya tumpahan avtur yang kemudian menyala karena adanya percikan api saat pesawat menghantam bumi.

Apabila ditemukan komponen struktur pesawat atau permukaan kendali (rudder, aileron dan elevator dan lain sebagainya) yang rusak atau bengkok, maka komponen tersebut harus dibawa ke laboratorium untuk diperiksa secara seksama. Pemeriksaan sekilas dengan menggunakan indera penglihatan saja, pasti tidak cukup, karena sangat sulit untuk menentukan apakah kerusakan terjadi sebelum pesawat menjadi tak terkendali dan akhirnya jatuh, ataukah karena komponen tersebut menjadi rusak atau bengkok karena pesawat menghantam bumi, jadi bukan merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan. Contoh lain adalah posisi tuas pengendali gaya dorong engine pesawat (“engine throttle”) yang tidak seperti seharusnya pada pesawat yang beroperasi normal, sangat sulit ditentukan apakah terjadi saat pesawat masih melayang di udara (sehingga bisa dicurigai sebagai salah satu faktor yang mungkin menyebabkan terjadinya kecelakaan) atau karena kabel yang terhubung pada tuas tersebut menjadi tertarik karena terjadinya tabrakan dengan bumi dan dengan demikian mengubah posisi tuas.

Sebelum engine pesawat dibongkar dan dibawa ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut, semua cairan yang masih ada di dalamnya harus dikuras untuk kemudian diperiksa di laboratorium. Kalau hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tanda-tanda bahwa ada air tercampur dengan avtur, tentu saja dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan bahwa engine menjadi tak beroperasi karena avtur yang tercemar air itu tidak bisa menyala dan api dalam engine menjadi padam sehingga engine tak berfungsi.

Pada akhirnya kepastian tentang penyebab terjadinya kecelakaan tidak bisa dilakukan tanpa melakukan rekonstruksi seluruh pesawat. Semua komponen pesawat yang berhasil ditemukan dan dikumpulkan harus dipasang pada sebuah kerangka yang khusus dibuat sehingga menjadi bentuk pesawat selengkap mungkin pada saat terjadinya kerusakan awal yang akhirnya menyebabkan pesawat jatuh. Salah satu contoh kasus di mana rekonstruksi pesawat akhirnya berhasil menentukan penyebab jatuhnya pesawat adalah kasus pesawat Boeing 747-121 N739PA pada tahun 1990 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Rekonstruksi tersebut berhasil menentukan bahwa pesawat jatuh akibat meledaknya sebuah bom di dalam pesawat yang ditaruh oleh para teroris yang didanai oleh Muamar Gadafi, Presiden Libya saat itu. Informasi selengkapnya tentang kecelakaan tersebut dapat dibaca dalam artikel yang dapat diunduh dari internet di alamat2 berikut

http://www.aaib.gov.uk/publications/formal_reports/2_1990_n739pa.cfm

http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/2-1990%20N739PA.pdf

http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/dft_avsafety_pdf_503158.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Pan_Am_Flight_103

http://aviation-safety.net/database/record.php?id=19881221-0 

Alamat berikut berisi informasi tambahan mengenai penyidikan kecelakaan pesawat terbang yang disimpan diperpustakaan Hunt Library Universitas Embry Riddle.

http://library.erau.edu/worldwide/find/online-full-text/non-ntsb.htm

Kerusakan yang terjadi pada lingkungan di sekitar reruntuhan pesawat juga dapat dijadikan sebagai barang bukti tambahan. Kalau pesawat atau helikopter jatuh dalam trajektori turun dengan kemiringan tertentu dan ini terjadi di daerah yang penuh dengan pepohonan, maka kerusakan pada pohon-pohon di lokasi tersebut dapat digunakan untuk membantu menentukan dari mana menuju arah mana dan seberapa tajam turun melayangnya pesawat yang naas itu sebelum akhirnya menghujam bumi. Kalau dedaunan di pohon-pohon tersebut terbakar, pola terbakarnya daun2 tersebut dapat digunakan untuk membantu menentukan bagaimana avtur menyebar dari tangki bahan bakar yang rusak muncrat keluar ke pohon-pohon yang ditabrak pesawat. Kalau tangki bahan bakar pesawat ditemukan dalam kondisi pecah dan kosong (tak ada avtur di dalamnya), dan di lokasi tidak terjadi kebakaran, ini memberi kesan bahwa tangki bahan bakar pesawat itu kosong saat pesawat masih melayang di udara, sehingga engine tidak menerima avtur dan berhenti beroperasi dan sebagai akibatnya pesawat menjadi tak terkendali dan jatuh ke bumi. Tetapi penyidik tidak boleh gegabah langsung mengambil kesimpulan tersebut, karena bila tanah di lokasi kejadian berpasir, maka avtur akan cepat terserap masuk dalam pasir dan tidak meninggalkan tanda-tanda bahwa ada avtur yang tumpah di situ. Demikian juga kalau bumi di situ berbatu-batu dan cuaca sangat panas, maka avtur akan cepat menguap dan memberi kesan bahwa tidak pernah ada avtur yang tertumpah di situ. Jadi penyidik harus sangat berhati-hati, pikirannya terbuka untuk menerima segala macam kemungkinan, dan kesimpulan hanya dapat diperoleh dengan benar setelah mempertimbangkan semua barang bukti yang bermacam-macam itu.

 

Otopsi

Salah satu sumber barang bukti yang bisa jadi sangat bermanfaat adalah hasil otopsi. Tetapi bila penyidik kurang cermat dan teliti, ada kemungkinan bahwa otopsi akan memberikan petunjuk menuju kesimpulan yang sama sekali salah. Otopsi adalah pemeriksaan medis dari jenazah korban untuk menentukan secara tepat dan akurat apa yang menjadi penyebab kematian korban. Informasi ini bisa membantu penyidik dalam menentukan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi pada terjadinya kecelakaan. Tentu saja otopsi harus dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat dan korban harus dihormati dengan memperlakukan jenazahnya secara sensitif tidak asal main potong sana sini begitu saja. Sebuah contoh adalah seandainya tubuh para pilot hancur berkeping-kepingdan tak dapat dikenali, tetapi ada sepotong tangan yang ditemukan berada di tuas pengegas engine (“throttle”). Pertanyaannya adalah, tangan siapa yang sebenarnya berada di tuas itu, apakah pilot atau kopilot atau siapa? Seandainya terjadi ledakan dalam pesawat, maka serpihan logam akibat ledakan yang menancap ke tubuh para korban dapat digunakan untuk menentukan apakah sumber ledakan berada di bawah tempat duduk atau berada di rak tempat barang di atas kepala penumpang. Jenazah yang membusuk juga selalu mengandung alkohol dan kadar alkohol tersebut semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu antara korban meninggal sampai saat otopsi dilakukan. Jadi kalau ditemukan kadar alkohol yang cukup tinggi dalam tubuh jenazah pilot, ini tidak selalu berarti bahwa pilot mengoperasikan pesawat dalam kondisi mabuk. Jadi penyidik harus memberi tahu dokter ahli otopsi (bedah mayat) berapa lama korban yang diperiksa diperkirakan telah meninggal dunia sampai saat otopsi dilakukan, atau sebelum jenazah dimasukkan ke dalam peti es untuk mencegah terjadinya pembusukan. Kandungan alkohol dalam cairan yang diambil dari kawasan sekitar mata korban akan memberikan hasil yang lebih bisa dipercaya karena tidak begitu terpengaruh oleh proses pembusukan.

Keadaan dan luka-luka yang diderita oleh korban yang selamat juga dapat memberikan informasi yang bermanfaat, misalnya untuk menentukan besaran dan arah gaya penyebab luka-luka yang mungkin disebabkan oleh rak penyimpan barang di atas kepala penumpang yang terbuka (misalnya karena kelalaian pramugara atau bisa jadi karena salah desain).

 

Rekaman Informasi

Rekaman yang dimaksud mencakup data radar dan radio yang direkam oleh ATC (Aircraft Traffic Controller) atau oleh pengelola bandara, yang mungkin merekam semua percakapan radio dari pesawat ke ATC dan lainnya, untuk menentukan berapa biaya yang harus dibayar oleh operator pesawat ke pengelola bandara untuk menggunakan semua fasilitas bandara demi keperluan operasinya. Peralatan untuk FMS (Flight Management System atau Sistem Manajemen Penerbangan) dan Navigasi (termasuk GPS dan lain sebagainya) biasanya merekam semua data penerbangan, walaupun penyidik harus minta bantuan ahli khusus bidang ini untuk membaca informasi apa saja yang terekam di dalamnya dalam analisis terperinci di laboratorium.

Data atau informasi yang terekam dalam rekaman radar dan navigasi dapat digunakan sebagai input (masukan) ke sebuah perangkat lunak (software) buatan NASA, yang membutuhkan beberapa asumsi dasar tentang lift (gaya angkat) dan drag (gaya hambat), untuk menentukan attitude atau posisi terbang, dan sudut serang serta “g-loading” ( besaran gaya yang beraksi pada saat terjadinya kecelakaan dibagi besaran gaya yang beraksi bila pesawat beroperasi secara normal). Ini dapat memberikan informasi tentang situasi terbang pesawat pada saat-saat terakhirnya sebelum jatuh menghunjam bumi. Informasi yang diperoleh kemudian bisa dimasukkan ke dalam sebuah perangkat lunak untuk mensimulasikan kondisi terbang pesawat selama beberapa menit terakhirnya, dan ini bisa jadi akan bermanfaat dalam menentukan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.

Pihak militer biasanya juga memiliki fasilitas radar yang mungkin secara tak sengaja mengambil rekaman data radar yang dapat dimanfaatkan dalam penyidikan kecelakaan pesawat, seandainya informasi tersebut tidak bisa diperoleh dari ATC dan lainnya karena satu dan lain hal.

Pada masa kini semua pesawat sipil internasional (dan juga domestik) pasti dilengkapi dengan “black box” atau “kotak hitam” yang sebenarnya dicat berwarna merah oranye menyala. Ada 2 jenis kotak hitam yang diwajibkan oleh ICAO yaitu FDR (Flight Data Recorder atau Perekam Data Penerbangan) dan CVR (Cockpit Voice Recorder atau Perekam Suara di dalam Kokpit). Di jaman dulu baik FDR maupun CVR adalah dari jenis analog yaitu informasi direkam dalam bentuk data analog pada pita magnetik, yang hanya mampu merekam data yang sangat terbatas baik dalam jumlah jenis data yang bisa direkam maupun panjang waktu rekamannya. Di samping itu blackbox dijaman dulu juga seringkali menjadi rusak dan tak dapat dibaca karena rusak akibat pesawat menghunjam ke bumi dengan gaya tabrak (“impact”) yang terlalu besar. Pada jaman sekarang, peralatan analog tersebut sudah diganti oleh perekam digital (seperti hard disk) yang bisa merekam jauh lebih banyak data dengan panjang waktu rekaman yang jauh lebih panjang, dan mampu bertahan tidak rusak atau masih dapat dibaca walaupun menderita gaya tabrak (impact) yang luar biasa saat pesawat menghujam bumi. Catatan rekaman suara di kokpit (CVR) dapat memberikan informasi mengenai kondisi dalam kokpit, apa saja yang dikatakan pilot dan kopilot dan komunikasi mereka dengan menara ATC dan suara apa saja (misalnya ledakan atau percikan api) yang terdengar dikokpit.

Untuk kecelakaan yang terjadi pada helikopter, data penerbangan pasti terekam dalam sistem perekaman yang disebut HUMS (Health and Usage Monitoring System atau yang lebih moderen Health and Usage Management System), yang digunakan sebagai alat bantu dalam manajemen perawatan helikopter. Informasi yang terekam oleh HUMS biasanya diunduh oleh operator pada akhir hari setelah helikopter beroperasi terakhir kalinya hari itu. Data tersebut dapat diminta oleh penyidik dan tentunya bermanfaat dalam pelaksanaan penyidikan. Informasi tambahan tentang HUMS dapat diperoleh dari internet di alamat berikut

http://www.dsto.defence.gov.au/HUMS2009/ 

Kecelakaan bisa terjadi pada helikopter sipil yang sedang mencoba mendarat di kapal atau di anjungan lepas pantai pengeboran minyak, yang sedang oleng karena adanya ombak yang cukup besar. Contoh dari kecelakaan seperti itu bisa dibaca di internet di alamat berikut

http://www.aaib.gov.uk/cms_resources.cfm?file=/3-2004%20G-BKZE.pdf

Di awal abad ke 21 ini, hampir semua pesawat (paling tidaknya yang terbaru) pasti dilengkapi dengan Quick Access Recorder yang dipasang dan dimanfaatkan oleh airline, yang mengoperasikan pesawat dengan tujuan merekam percakapan kru terbang dalam rangka meyakinkan bahwa setiap anggota kru terbang akan mengikuti peraturan tentang tata cara kerja yang telah ditentukan oleh manajemen airline. Di samping itu, untuk tujuan perawatan pesawat, manajemen airline biasanya juga memasang komputer untuk merekam data-data teknis yang dibutuhkan untuk perawatan pesawat yang efektif dan efisien. Data-data tersebut dikirim lewat satelit dari pesawat ke kantor pusat manajemen airline dan direkam di komputer perekam di situ. Informasi tersebut tentu saja tidak akan hilang walaupun pesawat hancur berkeping-keping dan blackbox rusak berat ataupun tak bisa ditemukan (misalnya kalau tenggelam di lautan yang sangat dalam). Masalah utama dalam pemanfaatan data yang terekam adalah melakukan sinkronisasi waktu di antara rekaman yang direkam oleh perekam yang berbeda. Seringkali ini bisa menjadi sangat penting karena menentukan apakah suatu kejadian terjadi sebelum atau sesudah kejadian yang lain di mana kedua-duanya merupakan faktor penyebab kecelakaan, dan urutan kejadian bisa memberikan 2 skenario yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa pembacaan data dari alat perekam adalah tugas sulit yang hanya bisa dilakukan secara profesional oleh ahli yang berpengalaman di bidang tersebut.

 

Informasi Saksi Mata

Salah satu sumber informasi yang penting adalah laporan dari para saksi mata. Informasi ini sangat tergantung kepada keakuratan tentang uraian urutan terjadinya kecelakaan yang disampaikan oleh saksi mata. Orang yang menjadi saksi mata bisa jadi adalah orang yang sangat berhati-hati dalam menyampaikan laporannya, tetapi bisa jadi juga dia adalah orang yang agak ceroboh, dan kesaksiannya patut dipertanyakan kebenarannya. Di samping itu daya ingat setiap orang tentu saja berbeda-beda, jadi sebuah kejadian bisa saja dilaporkan oleh 2 orang saksi mata yang menyaksikan kejadian secara bersama tetapi laporan yang diberikan bisa saja cukup berbeda. Saksi mata bisa jadi berada di bumi dan menyaksikan pesawat yang sedang terbang tiba-tiba mengalami sesuatu yang menyebabkannya jatuh ke bumi, mungkin meledak saat masih di udara atau meledak saat menghantam bumi. Saksi mata bisa jadi juga berada di dalam pesawat yang naas dan selamat setelah pesawat jatuh. Bisa jadi juga bahwa saksi mata itu adalah petugas ATC (Air Traffic Controller) yang berkomunikasi lewat radio dengan pilot, menuntun pilot untuk melakukan persiapan pendaratan saat kecelakaan tiba-tiba saja terjadi.

Para saksi mata sebaiknya diwawancarai selekas mungkin setelah kecelakaan terjadi, yaitu saat ingatan saksi mata mengenai terjadinya kecelakaan masih segar dibenaknya, sehingga bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara seakurat mungkin, tidak tercemar oleh kenyataan bahwa saksi mata mungkin telah lupa tentang sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan, yang mungkin adalah informasi penting. Ada kecenderungan bahwa saksi mata akan begitu saja membenarkan kesaksian dari saksi mata lain yang berkepribadian lebih tegas, walaupun ini sebenarnya bukanlah ingatan saksi mata itu, yang mungkin ingatannya tidak terlalu baik, apalagi bila wawancara dilakukan cukup lama setelah terjadinya kecelakaan. 

Penyidik harus berhati-hati untuk tidak mengajukan pertanyaan atau memberi pernyataan yang merupakan pendapat pribadinya (yang belum tentu didukung oleh fakta yang ada), yang mungkin saja akan diiyakan oleh saksi mata yang mungkin sedikit terguncang perasaannya oleh terjadinya kecelakaan yang disaksikannya, dan merasa lebih baik mengiyakan apa saja yang ditanyakan padanya. Jadi penyidik harus mengajukan pertanyaan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga saksi mata harus menyampaikan ingatannya sendiri tentang apa yang didengar dan dilihatnya, dengan menggunakan kata-katanya sendiri, tanpa disetir oleh pertanyaan penyidik. Kalau memungkinkan, sebaiknya saksi mata diwawancarai di lokasi yang sama seperti di mana dia berada saat menyaksikan terjadinya kecelakaan. Dengan berada dilingkungan yang sama seperti saat dia menyaksikan terjadinya kecelakaan, saksi mata mungkin akan tergugah ingatannya dan bisa menceritakan kejadian sebenarnya yang dia saksikan. Untuk mencegah terjadinya salah pengertian, sebaiknya penyidik mengucapkan ulang apa yang dikatakan oleh saksi mata dan menanyakan apakah itu yang dikatakan oleh saksi mata sebelumnya. Kalau pernyataan saksi mata agak kabur atau tidak jelas, penyidik harus menanyakan kepada saksi mata apakah bisa menjelaskan pernyataannya sehingga bisa dimengerti oleh penyidik dan penyidik tidak membuat kesalahan dalam merekam hasil wawancara dengan saksi mata.

Semua pernyataan saksi mata tentu saja harus direkam dan dibacakan ulang ke saksi mata untuk meyakinkan kebenarannya. Setelah saksi mata menyetujui bahwa apa yang direkam secara tertulis memang adalah rekaman yang akurat dari apa yang diceritakannya, kemudian untuk meyakinkan bahwa saksi mata tidak omong sembarang omong, dan kesaksian yang tertulis bisa dipercaya kebenarannya oleh siapapun juga yang membacanya, sebaiknya kesaksian tertulis itu ditandatangani oleh saksi mata. Tetapi kalau saksi mata tahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya, besar kemungkinannya bahwa dia tidak akan memberikan pernyataannya secara sejujur-jujurnya, karena bisa jadi itu akan memberikan kesulitan pada dirinya sendiri ataupun pada teman dekatnya. Bila saksi mata tidak diberitahu bahwa dia akan diminta menandatangani pernyataannya yang telah direkam secara tertulis, bisa jadi saksi mata akan menolak untuk menandatangani pernyataan tertulisnya itu, bahkan bisa jadi dia akan menarik semua pernyataannya dan memungkiri bahwa dia telah memberikan keterangan seperti yang terekam. Ini adalah masalah dasar yang dihadapi penyidik, sebab pernyataan tertulis yang tidak ditandatangani biasanya tidak bisa dijadikan sebagai kesaksian yang bisa dipercaya, sedangkan Di sisi lain bisa jadi penyidik akan mendapat kesulitan untuk meyakinkan saksi mata untuk menandatangani pernyataan tertulisnya itu.

Di bawah ini disampaikan sebuah contoh kasus yang benar-benar terjadi yang memberikan gambaran tentang sulitnya mendapatkan kesaksian yang benar-benar dapat dipercaya. Di Australia terjadi kecelakaan yang melibatkan sebuah pesawat kecil yang mengakibatkan tewasnya 2 orang pensiunan warga negara Inggris di WA (Western Australia). Kecelakaan ini dianggap cukup penting untuk disidik oleh ATSB. Suami istri yang pensiunan itu tewas saat pesawat Cessna 421 yang dinaikinya jatuh di kawasan wisata terpencil, El Questro, di sebelah barat kota kecil Kunnunurra. Para saksi mata memberikan kesaksian kepada pihak otorita bahwa mereka menyaksikan pesawat Cessna itu mendapat masalah yaitu engine sebelah kirinya tak berfungsi saat pesawat sedang tinggal landas (take-off). Para saksi mata tersebut mengatakan bahwa engine kiri pesawat itu kemudian terbakar dan sebagai akibat pesawat langsung jatuh. Selanjutnya ada 4 orang ahli keselamatan terbang yang datang dari Canberra untuk melakukan penyidikan. Pada awalnya para saksi mata mengatakan bahwa engine pesawat mengalami kerusakan dan kemudian terbakar dan oleh karena itu pesawat kemudian jatuh. Tetapi para ahli keselamatan terbang yang melakukan penyidikan menemukan bahwa pesawat memang mengalami kerusakan engine, dan oleh karena itu langsung jatuh menghujam bumi dan setelah menghantam bumi pesawat meledak dan terbakar. Setelah diberi tahu tentang hasil penyidikan, para saksi mata kemudian mengubah kesaksiannya dan mengatakan bahwa penyidiklah yang benar. Memang pesawat jatuh dulu baru meledak dan terbakar. Hanya saja waktu diwawancarai, logika mereka mengatakan bahwa pesawat itu jatuh karena enginenya rusak dan terbakar, bukan sebaliknya jatuh dulu baru meledak dan terbakar. Mereka tidak bermaksud menipu atau memberikan kesaksian yang palsu, tetapi logika mereka membuat mereka mengubah ingatannya tentang urutan kejadian, disesuaikan dengan cara berpikir logika mereka. Jadi kesaksian seorang saksi mata tidaklah bisa dipercaya kebenarannya 100 persen, tetapi harus diverifikasi dengan membandingkan kesaksian dari sebanyak mungkin saksi mata yang ada, dan juga dengan menggunakan kesaksian dari semua sumber barang bukti yang terdapat di lokasi kecelakaan.

 

Pengujian Laboratorium

Misalnya saja dalam sebuah penyidikan diperkirakan bahwa salah satu faktor penyebab kecelakaan adalah engine yang gagal berfungsi karena satu dan lain hal, sedemikian rupa sehingga pesawat tidak memiliki gaya dorong dan akhirnya jatuh ke bumi. Pertanyaannya adalah apakah ada bukti yang mendukung anggapan ini, dan bagaimana cara mengujinya supaya benar-benar yakin pada hasil pengujian. Ini tidak mudah. Pertama seluruh komponen engine yang bisa dikumpulkan harus dikumpulkan dan masing-masing komponen perlu diuji di laboratorium atau perlu dilakukan uji lab pada komponen tersebut. Seandainya ada salah satu komponen yang diuji lab ternyata gagal berfungsi dan ini menyebabkan seluruh engine tak berfungsi, maka ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa pesawat jatuh gara-gara komponen tertentu itu gagal berfungsi seperti seharusnya. Tetapi penyidik tidak boleh secara gegabah mengambil kesimpulan tersebut. Bisa jadi komponen tersebut sebenarnya berfungsi dengan baik saat pesawat melayang di udara, tetapi karena pesawat jatuh ke bumi (karena faktor penyebab yang lain) maka komponen tersebut menjadi rusak dan gagal berfungsi saat diuji lab. Di sisi lain, seandainya saja komponen yang diuji lab itu ternyata berfungsi dengan baik saat diuji, ini tidak berarti bahwa komponen itu berfungsi dengan baik saat berada di pesawat yang sedang terbang. Masalahnya adalah sebagai berikut. Sebelum diuji lab, komponen itu harus dibersihkan dan secara umum dipersiapkan supaya bisa diuji dengan baik. Saat dipersiapkan itulah komponen yang saat berada di pesawat yang sedang terbang berfungsi dengan baik, kemudian berubah menjadi gagal berfungsi saat diuji lab. Sebaliknya komponen yang tadinya tidak berfungsi di dalam pesawat, mungkin karena dibersihkan dan lainnya kemudian berubah menjadi berfungsi dengan baik saat diuji lab. Jadi hasil uji lab tidak boleh dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, tetapi harus dipertimbangkan juga kemungkinan bahwa hasil uji lab itu tidak sepenuhnya benar, dan kajian berdasarkan barang bukti lainnya harus dilakukan untuk mengambil kesimpulan yang benar. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa komponen yang diuji lab itu mungkin secara struktural sudah menjadi sangat lemah dan waktu diuji (misalnya propeler yang sedang diputar) bisa jadi akan patah dan berbahaya bagi penguji yang berada di dekat mesin penguji. Jadi petugas uji lab harus berhati-hati saat melakukan pengujian laboratorium supaya terhindar dari malapetaka.

 

Uji Simulasi dan Rekonstruksi

Pengertian mengenai mengapa kecelakaan terjadi bisa diperjelas dengan mengadakan simulasi situasi dan kondisi terbang pesawat pada menit-menit terakhir penerbangannya sebelum jatuh. Biasanya ini dilakukan lewat simulasi digital dengan bantuan sebuah software simulasi, di mana input yang dimasukkan adalah data-data teknis yang diperoleh dari kotak hitam (“black box”). Hasil simulasi tentu saja sangat tergantung pada keakuratan model matematis yang menjadi dasar software simulasi dalam mewakili gerakan pesawat yang naas itu. Di samping itu, hasil simulasi juga tergantung pada keakuratan input data yang dimasukkan ke simulator. Bisa jadi bahwa data dari black box tidak dapat dibaca secara akurat dan mengandung “error” atau kesalahan, yang menyebabkan hasil simulasi tidak bisa dipercaya. Di mana simulasi terbang tidak bisa dilakukan secara digital (dengan model komputer) karena tidak ada software yang bisa mewakili gerak terbang pesawat yang jatuh, simulasi bisa dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang dari jenis yang sama (misalnya saja sesama Boeing-737-800) yang diterbangkan dengan permukaan kendali dan tuas pengegas engine berada pada posisi yang sama dengan yang tercatat dalam black box pesawat yang jatuh. Kondisi terbang pesawat kemudian diamati dan direkam, dan dari pengamatan tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai apa yang sebenarnya terjkadi pada pesawat yang naas itu pada detik-detik terakhirnya. Tetapi uji terbang seperti ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab selalu saja ada kemungkinan pesawat yang digunakan dalam uji terbang itu juga akan memberikan respon yang sama seperti pesawat yang naas, dan ikutan jatuh juga!

Rekonstruksi adalah di mana sebuah kerangka besi dipersiapkan, di mana serpihan-serpihan pesawat yang terkumpul kemudian dipasang pada kerangka tersebut sehingga memberikan bentuk yang semirip mungkin dengan bentuk pesawat sebelum mengalami kecelakaan. Ini dapat digunakan untuk memahami bagaimana terjadinya awal dari faktor penyebab kecelakaan. Metoda ini sangat bermanfaat untuk menentukan urutan terjadinya peristiwa2 yang terjadi secara beruntun dengan hasil akhirnya adalah pesawat jatuh menghujam bumi. Tetapi metoda ini melibatkan dana yang sangat besar dan waktu yang sangat lama untuk menuntaskannya. Namun demikian seringkali, walaupun merupakan pilihan terakhir, ini merupakan satu-satunya cara untuk meyakinkan kebenaran dari kesimpulan yang diambil mengenai faktor-faktor penyebab kecelakaan. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kecelakaan yang terjadi pada pesawat Boeing 747 yang jatuh di Lockerbie.

 

Beberapa Kosa Kata yang digunakan dalam Penyidikan

Perancangan pesawat menuntut agar pesawat bisa terbang semakin lebih cepat, lebih jauh dan membutuhkan lebih sedikit avtur yang perlu dibakar dalam enginenya, dibandingkan dengan pesawat-pesawat yang desainnya lebih tua. Pesawat-pesawat yang terbaru bisa dibuat lebih efisien dengan menggunakan bahan komposit sebagai bahan baku untuk badan (“fuselage”) pesawat, bahkan juga untuk struktur primer seperti sayap dan ekor. Pesawat Boeing 787 itu lebih dari separo beratnya adalah berat bahan komposit yang digunakan dalam pembuatannya. Pesawat-pesawat dimasa depan akan menggunakan lebih banyak lagi bahan komposit, baik komposit karbon ataupun komposit serat gelas. Keuntungan menggunakan bahan komposit adalah lebih ringan tetapi lebih kuat dan lebih kaku dibandingkan dengan aluminium. Karena lebih kaku maka pesawat yang terbuat dari bahan komposit bisa lebih tahan terhadap masalah kelelahan logam alias “fatigue”, jadi umur pesawat bisa diperpanjang. Pesawat juga bisa dibuat menjadi lebih ringan sehingga secara keseluruhan menjadi lebih efisien. Informasi lebih lanjut mengenai bahan komposit bisa diperoleh dari Composite Material Handbook, US Departement of Defence yang dapat diunduh dari internet di alamat berikut

http://www.lib.ucdavis.edu/dept/pse/resources/fulltext/HDBK17-1F.pdf

Salah satu masalah yang penting dan belum begitu dipahami mengenai sifat2 bahan komposit adalah bagaimana bahan tersebut berperilaku bila dihadapkan pada temperatur tinggi, yang bisa terjadi kalau pesawat jatuh dan terbakar. Perilaku kebakaran yang terjadi pada pesawat yang terbuat dari logam (aluminium) sudah cukup dimengerti, tetapi hal yang sama tak bisa dikatakan mengenai bahan komposit. US Navy tahun lalu memberikan dana penelitian sebesar $1 juta (satu juta dolar US) pada RMIT Aerospace Engineering untuk melakukan penelitian selama 3 tahun mempelajari bagaimana menanggulangi kebakaran yang terjadi pada kapal milik US Navy. Salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah berapa lama setelah kebakaran dimulai sampai sebelum struktur kapal menjadi begitu lemah dan akan ambruk. Ini akan memberi informasi yang harus diberikan kepada kru kapal supaya secepat mungkin meninggalkan kapal yang terbakar, tak boleh lebih dari sekian menit dan lain sebagainya. Masalah lainnya adalah mengenai sifat kimia dari gas yang terbentuk dari bahan komposit yang terbakar, apakah beracun atau paling tidaknya berbahaya bila masuk ke saluran pernapasan para awak kapal, dan seberapa ganas pengaruhnya. Indonesia punya pengalaman pahit tentang kebakaran kapal yang terbuat dari bahan komposit yaitu terbakarnya KRI Klewang belum lama lalu. Diharapkan bahwa para peneliti ahli dari ITB dan lain sebagainya akan mempelajari masalah tersebut dan mengambil hikmah se-besar-besarnya dari kecelakaan yang tak diharapkan itu.

Pembuatan badan pesawat dari bahan komposit membutuhkan waktu yang lebih pendek dan biaya produksi bisa dikurangi, karena “kulit pesawat” tidak terbuat dari lembaran yang kemudian perlu dipasangkan pada struktur pesawat dengan menggunakan paku keling (rivet) yang berjumlah sangat besar. Tetapi kerugiannya adalah kalau terjadi kerusakan disatu tempat pada kulit pesawat, maka seluruh kulit pesawat harus diganti, berbeda dari kalau kulit tersebut terbuat dari aluminium, di mana hanya lembaran aluminium yang retak itu saja yang perlu diganti. Reparasi dari struktur yang terbuat dari bahan komposit belumlah semaju seperti untuk struktur yang terbuat dari logam, dan masih perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam lagi. Mungkin Prof. Mardjono Siswosuwarno bersedia memberikan komentar mengenai hal ini.

Struktur yang terbuat dari logam biasanya sangat rawan terhadap korosi atau karatan, khususnya di mana dua logam yang berbeda, misalnya aluminium dan besi, menempel satu ke yang lain. Bahan komposit jauh lebih tahan terhadap masalah korosi dibandingkan dengan logam. Tetapi di sisi lain bahan komposit lebih rawan terhadap masalah erosi.

Bahan karbon komposit ternyata rawan terhadap panas dan kelembaban udara, yang dapat mengurangi kekuatan struktur, apalagi bila struktur tersebut sudah mengalami keretakan mikro, yang kemudian bisa merambat dengan cepat dan akhirnya patah.

Seorang penyidik, apalagi IIC, sebaiknya memiliki pengetahuan yang luas mengenai bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pesawat, walaupun dia tak perlu menguasai sepenuhnya ilmu logam dan ilmu material pada umumnya, tetapi sebaiknya punya cukup pengetahuan untuk bisa berkomunikasi dengan ahli metalurgi, yang akan dia minta untuk membantunya dalam melakukan penyidikan.