Banyak orang awam atau bahkan penerbang pemula menyangka menjadi pilot adalah bisa menerbangkan pesawat saja. Padahal di sekolah penerbangan, jika seorang siswa terbang dengan instruktur 1-2 jam saja sehari, dalam keadaan normal hanya diperlukan waktu kurang dari satu-dua minggu untuk bisa terbang solo, hanya dalam waktu 5 sampai 15 jam terbang saja. Bayangkan, waktunya hampir sama dengan belajar mengemudi mobil. Jadi dengan analogi ini kita bisa menebak bahwa menerbangkan pesawat tidak terlalu susah kan?.

Bahkan seorang penerbang yang baru lulus dari sekolah penerbang dengan lisensi CPLnya, hanya perlu waktu kurang dari 6 minggu untuk belajar menerbangkan sebuah pesawat jet seperti Boeing B737.

Jadi apa sebenarnya yang membuat peraturan penerbangan mengharuskan seorang calon penerbang untuk mempunyai jam terbang yang cukup banyak sampai ratusan jam untuk bisa mendapatkan lisensi penerbang? Maksud saya, jika seorang belajar mengemudi mobil, maka setelah dia bisa mengemudi dan lulus di tes maka dia langsung mendapatkan Surat Ijin Mengemudi. Sedangkan seorang calon penerbang yang sudah lulus ujian teori dan bisa terbang solo tanpa instruktur tetap harus mengumpulkan jam terbang tertentu sebelum bisa mendapatkan lisensinya.

Jawabannya adalah resiko dan bahaya (hazard).

Resiko menerbangkan pesawat jauh lebih besar daripada mengemudi mobil. Tidak semua orang bisa mengenali dan mengendalikan resiko ini. Tapi dengan pelatihan dan kesadaran yang tinggi dari seorang penerbang maka resiko ini bisa diminimalkan. Sebuah contoh sederhana pada waktu seseorang mengemudi mobil dan dia bingung apa yang harus dilakukan maka cukup berhenti dan bertanya maka masalahnya mungkin akan selesai. Tapi bagaimana pada waktu bingung di udara, tersesat dan kehilangan komunikasi? Tahukah anda faktor terbesar yang membuat sebuah penerbangan beresiko tinggi? Apakah teknologi pesawat, cuaca, atau pelatihan? Ternyata semua salah, jawabnya adalah manusianya sendiri yang membuat sebuah penerbangan bisa beresiko tinggi.

Pengenalan Aeronautical Decision Making

Sudah lebih dari 100 tahun sejak pesawat terbang pertama yang dikendalikan manusia berhasil lepas landas, dan sejak itulah kecelakaan penerbangan mulai terjadi. Berdasarkan pengalaman, 80% kecelakaan dalam penerbangan diakibatkan oleh faktor manusia (human factor). Sehingga penerapan teknologi dalam penerbangan bukan hanya membuat pesawat lebih canggih tapi juga dipikirkan bagaimana kecanggihan ini tidak menyebabkan kebingungan bagi pemakainya (manusia).

Dari sisi manusianya sendiri telah dibangun berbagai metoda untuk mengurangi kecelakaan akibat faktor manusia ini sehingga bisa membantu insan penerbangan membuat keputusan yang terbaik pada saat mengoperasikan pesawat terbang, baik penerbangnya sendiri maupun awak yang lain termasuk staf di darat seperti teknisi dan dispatcher.

Manusia, penyebab 80% kecelakaanBerbeda dengan pendapat umum, ternyata pengambilan keputusan yang tepat merupakan hal yang bisa diajarkan. Sehingga sejak beberapa tahun silam, pelajaran Aeronautical Decision Making yang merupakan bagian dari aspek human factor secara umum mulai diajarkan di sekolah penerbang. Yang kami tahu di Indonesia pelajaran ini juga sudah mulai diajarkan di sekolah penerbang mulai dari tahap PPL. Berbeda juga dengan pendapat umum bahwa keputusan diambil sebelum penerbangan dilakukan, maka ADM adalah sebuah proses pengambilan keputusan terus-menerus yang dinamis mengikuti situasi yang ada dimulai dari sebelum penerbangan sampai penerbangan selesai dilakukan dan pesawat diparkir dengan aman.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh FAA pada tahun 1987, yang menunjukkan bahwa penerbang yang dilatih dengan pelatihan ADM yang baik menurunkan tingkat kesalahan dalam pengambilan keputusan antara 10% sampai 50%.

Tulisan ini akan menekankan pada pengambilan keputusan berdasarkan manajemen sumberdaya (Resource Management). Sehingga penerbang terutama single-pilot yang menerbangkan pesawat sendirian lebih bisa memahami dirinya sendiri dan semua sumberdaya yang bisa dipakai yang ada di sekitarnya. ADM sendiri sebenarnya adalah metoda untuk mengembangkan proses pengambilan keputusan untuk mengurangi kesalahan manusia (Human Error) dan menambah kemungkinan untuk penerbangan yang lebih aman.

Langkah pengambilan keputusan adalah:

  1. Mengenali sikap diri sendiri yang berbahaya bagi penerbangan.
  2. Mempelajari teknik mengubah sifat.
  3. Belajar mengenali dan menghadapi stress.
  4. Mengembangkan kemampuan manajemen resiko.
  5. Menggunakan semua sumberdaya yang ada.
  6. Mengevaluasi kemampuan mengambil keputusan.

Manajemen resiko adalah sangat penting dalam ADM ini. Seorang penerbang yang mempraktekkan pengambilan keputusan yang baik, maka hasilnya akan meminimalkan atau bahkan menghilangkan resiko yang ada.

CRM/SRM

Bertahun-tahun terakhir sebelum tulisan ini dibuat, CRM (Crew Resource Management) telah dimulai dan dikembangkan sehingga dapat mengurangi kecelakaan penerbangan. Manajemen sumberdaya ini menekankan pada pengumpulan informasi dan komunikasi yang terbuka antar manusia (secara khusus awak pesawat) yang terkait dalam penerbangan.

Bagaimana dengan pesawat dengan satu awak seperti pesawat-pesawat General Aviation ataupun pesawat komersial yang disertifikasi dengan hanya satu awak (Single Pilot)? Sebuah metode pelatihan yang bernama SRM (Single-Pilot Resource Management) juga telah dikembangkan berdasarkan kesuksesan CRM. Isi SRM adalah konsep ADM, Manajemen Resiko, Manajemen Tugas, Manajemen Otomasi, CFIT Awareness (artikel CFIT), Kewaspadaan akan situasi (Situational Awareness).

 

Tidak semudah ini menentukan sebuah penerbangan layak diteruskan atau tidakBahaya dan Resiko (Hazard and risk)

Dua elemen dari ADM di antaranya adalah Bahaya dan Resiko. Bahaya adalah kondisi nyata, kejadian, atau keadaan yang dihadapi oleh penerbang. Pada waktu melihat sesuatu yang berbahaya maka seorang penerbang akan menilainya berdasarkan berbagai faktor. Dengan penilaian tersebut maka diketahui sesuatu yang penting: resiko.

Pengalaman seseorang menentukan pengambilan keputusan yang dilakukan. Begitu pula pengetahuan dan pendidikan orang tersebut. Pengalaman bisa menjadi alasan untuk pengambilan keputusan yang buruk kalau tidak didasari dengan pengetahuan. Silahkan simak dua cerita di bawah.

Cerita pertama: Seorang penerbang melakukan pre-flight check dan menemukan takik (lubang kecil, gompal) di tengah baling-baling pesawat di bagian leading edge. Kemungkinan takik tersebut akibat dari batu/kerikil yang berloncatan dari angin baling-baling pesawat lain yang pergi dari tempat parkir.

Seorang penerbang yang berpengalaman dan mengetahui bahwa takik tersebut adalah sebuah resiko yang kecil akan meneruskan penerbangan hari itu. Dia tahu bentuk takik ini tidak menyebabkan stress di baling-baling dan berada di bagian yang paling kuat dari baling-baling.

Sebaliknya seorang penerbang yang tidak berpengalaman akan menganggap hal ini bisa membahayakan penerbangan karena pernah mempelajari bahwa hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada baling-baling. Kemungkinannya dia akan membatalkan penerbangannya. Tidak ada yang salah dari kedua keputusan ini karena berdasarkan pengalaman dan pengetahuan.

Cerita kedua dari penilaian resiko ini adalah tentang seorang penerbang Beechcraft King Air yang dilengkapi dengan alat anti-icing dan de-icing. Dia terbang ke daerah yang dilaporkan mempunyai moderate to severe icing condition. Akhirnya penerbang dan semua penumpangnya meninggal karena kecelakaan.

Apa yang menyebabkan dia memilih untuk terbang? Penyelidikan menyebutkan bahwa sebelumnya dia telah berkali-kali terbang dengan selamat di kondisi dengan ramalan/forecast kondisi icing yang dimulai dari 2000 kaki di atas permukaan tanah. Pada saat terjadi kecelakaan ada sedikit perbedaan dengan forecast di atas: kondisi icing dimulai di permukaan tanah bukan di 2000 kaki. Keterburuan menyebabkan penerbang tidak membaca perbedaan ini, menganggap kondisi icing sebagai resiko kecil dan mencoba mengambil resiko tersebut.

bersambung ke bagian 2