Malam itu, beberapa saat setelah lepas landas dalam sebuah penerbangan domestik, seorang ibu setengah baya terlihat menarik penutup jendela pesawat seolah enggan melihat panorama di luar yang kelihatannya sangat gelap dan pekat. Meski begitu, dari jendela di sebelahnya, bias cahaya lampu strobe light yang berkelip di ujung sayap pesawat tetap masih saja menembus ke dalam kabin pesawat. Suasana gelap dan sunyi di dalam kabin saat itu seolah semakin menambah kecemasan bagi setiap orang.
Sebenarnya, tanpa disadari oleh banyak penumpang, terbang dengan pesawat sesungguhnya menyimpan banyak sekali hal menarik yang tidak mereka ketahui. Itu sebabnya banyak penumpang selalu bertanya-tanya di dalam hati mereka tentang berbagai hal, kebanyakan tentang persoalan yang sangat mengkhawatirkan keselamatan hidup mereka. Lalu kemudian, di dalam penerbangan malam itu, saya yang duduk di sebelah ibu itu mencoba mendengarkan rasa khawatirnya tentang terbang di malam hari yang gelap gulita dan jauh tinggi di atas permukaan daratan. Dan di saat itu pula, sang ibu merasa terbang dalam kehampaan yang seolah tak tentu arah, dan tak lagi ada tempat bergantung, kecuali hanya kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Kisah tersebut kemudian menjadi entry point bagi saya untuk menuliskan artikel ini, agar setiap orang dapat memahami betapa perlunya membunuh kegelisahan dan kekhawatiran dalam setiap penerbangan yang terasa mencemaskan.
Sejak pesawat terbang mulai diciptakan dan dikembangkan dengan instrumen avionic yang sangat sederhana, pada masa itu pilot hanya dapat menerbangkan pesawat pada siang hari dengan mengandalkan pandangan mata (visual) dan hanya dapat terbang dalam jangkauan jarak tempuh yang sangat terbatas, sehingga penerbangan sulit dilakukan dengan sempurna. Selain persoalan instrument penerbangan (avionic) yang masih terkendala, persoalan lain yang tak kalah rumit adalah belum ditemukannya cara melakukan navigasi udara yang tepat agar pesawat dapat terbang menuju ke arah yang benar dan akurat. Kedua hal tersebut menjadi sangat penting, sebab, terbang tanpa perhitungan arah dan waktu yang tepat akan membuat pesawat kemudian tersesat dan bahkan dapat menghabiskan bahan bakar di tengah perjalanan. Dan dalam kondisi yang demikian, pilot akan dipaksa mendaratkan pesawat pada tempat-tempat di luar perkiraan, dan, atau bahkan, pesawat dapat mengalami kecelakaan fatal. Nah, untuk mengatasi persoalan tersebut, para ahli penerbangan kemudian mencoba menciptakan berbagai metode navigasi agar penerbangan dapat dilakukan dengan tepat dan akurat.
Dead Reckoning, adalah satu metode navigasi manual yang telah dicoba kembangkan untuk memudahkan pilot dalam melakukan kalkulasi saat menerbangkan pesawat menuju ke tempat tujuan dengan tepat. Disebut juga sebagai metode navigasi tradisional, Dead Reckoning diterapkan dengan menggunakan perlengkapan yang sangat sederhana, yaitu dengan hanya mengandalkan pena, penggaris, busur, peta (map) dan kompas, lalu kemudian penerbang/navigator akan memberi tanda di atas lembaran peta (map) untuk memposisikan pesawat pada titik awal keberangkatan sebagai start point. Dan setelah itu, penerbang dapat menarik garis dari titik keberangkatan (departure) menuju ke suatu tempat atau bandar udara tujuan sebagai titik akhir (destination). Selanjutnya, berbekal tarikan garis-garis diatas peta (map) navigasi tersebut, penerbang kemudian akan mendapatkan arah terbang (direction/heading) serta jarak tempuh (distance/range). Akan tetapi, kedua variabel di atas belum lagi cukup bagi para penerbang untuk dapat menerbangkan pesawatnya begitu saja, sebab penerbang juga harus dapat memperhitungkan kemampuan pesawat (performance) dan jumlah bahan bakar (fuel) yang akan dibutuhkan untuk dapat menempuh jarak tersebut, selain juga penerbang harus memperhitungkan kecepatan dan arah hembusan angin (wind speed/ direction) yang dapat saja menghambat laju kecepatan pesawat (drag). Atau bahkan, hembusan angin dari sisi pesawat dapat pula menggeser jauh posisi pesawat hingga menuju ke arah yang salah.
Dalam perjalanannya, sistim navigasi udara terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan dengan terus dikembangkannya perlengkapan avionic yang semakin modern, secara teknis, sistim navigasi tradisional pun kemudian mulai ditinggalkan dan digantikan dengan sistim navigasi elektronik. Maka dengan demikian, sistim navigasi udara menjadi lebih efektif, akurat dan semakin pasti.
Selanjutnya, setelah perang dunia pertama selesai, pesawat-pesawat militer pun mulai dikembangkan lebih modern dengan dilengkapi sistim navigasi udara yang mengandalkan teknologi radio sebagaimana yang telah dicoba kembangkan sebelumnya. Dan dengan memanfaatkan teknologi tersebut, kemudian pesawat-pesawat militer pada masa itu mulai dapat melakukan navigasi di saat squadron-squadron tempur mereka pergi menyerang target-target militer di suatu wilayah dan kemudian kembali ke markas tanpa tersesat. Dan kembalinya pesawat-pesawat militer itu dengan tanpa tersesat, maka hal tersebut telah menandai era baru penerapan teknologi navigasi udara secara modern.
Lalu kemudian, setelah teknologi radio menjadi andalan dalam membantu pesawat-pesawat militer melakukan navigasi udara pada masa itu, selanjutnya, setelah perang dunia kedua pun selesai, pesawat-pesawat non-militer atau pesawat sipil pun mulai memanfaatkan teknologi radio dalam melakukan navigasi udara, terutama bagi pesawat-pesawat komersial yang melakukan penerbangan yang cukup jauh hingga melintasi benua. Dan seiring dengan pesat-nya kemajuan transportasi udara yang lebih modern, terutama untuk penerbangan komersial, kemudian negara-negara diseluruh dunia pun sepakat untuk membangun dan menunjang sistim navigasi udara dengan mengembangkan berbagai fasilitas pandu navigasi, yaitu berupa jaringan radio beacon yang ditempatkan di setiap wilayah negara mereka. Sistim ini dinilai cukup efektif dalam memandu pesawat-pesawat yang terbang melintasi negara dan benua tanpa harus tersesat.
Sekarang coba perhatikan Gambar 1 di atas. Dan sebagaimana terlihat pada halaman peta (map), di sana tampak sejumlah garis yang merupakan jalur navigasi penerbangan yang menghubungkan titik ke titik atau point ke point yang berada di antara satu kota dengan kota lainnya. Selain itu pula, melalui peta (map) navigasi, para pilot dapat mengetahui tentang bagamana otoritas penerbangan di suatu negara telah menempatkan titik-titik pandu navigasi berupa radio beacon pada tempat-tempat tertentu di seluruh wilayah udara mereka. Maka dengan demikian, para penerbang dapat dengan mudah membawa pesawatnya terbang menuju ke seluruh tempat yang hendak dituju, hingga kemudian pesawat dapat terbang dengan tepat dan akurat sampai ke tempat tujuan.
Radio Suar
Sebenarnya, radio beacon bermakna sama dengan “radio suar”, yang berfungsi sama seperti “lampu suar” yang berguna untuk mendukung sistim panduan navigasi bagi kapal-kapal laut yang mengadakan perjalanan di malam hari. Namun berbeda dengan metode navigasi kapal laut, sistim panduan navigasi bagi pesawat terbang harus dibangun lebih luas dan tersebar di permukaan daratan, hal ini dimaksudkan untuk memandu pesawat-pesawat yang terbang jauh di atas permukaan daratan yang tanpa orientasi. Untuk itu, diciptakanlah sistim radio navigasi yang dapat mengirim “suar” atau mengirim sinyal-sinyal (signals) elektromagnetik, yaitu berupa kode arah dan posisi yang dapat diterima dan dibaca oleh pesawat-pesawat yang melintas di atas wilayah udara tersebut.
Selanjutnya, untuk menunjang penerapan sistim navigasi modern yang telah dimulai sejak awal abad ke 20, kala itu hampir seluruh pesawat terbang sipil mulai dilengkapi dengan alat penerima sinyal radio beacon, yaitu radio penerima (receiver) yang dapat membaca sinyal-sinyal navigasi. Umumnya, ada dua type radio pandu navigasi (radio beacon) yang lazim digunakan di hampir di seluruh negara, yaitu type Non-Directional Beacon yang umum dikenal NDB, dan juga type VHF Omnidirectional Range atau umum disebut VOR. Selain itu ada LORAN dan OMEGA yang sudah tidak dipakai dan tidak dibahas di artikel ini.
Perangkat satelit yang dikenal sebagai GPS juga adalah radio beacon yang berada di angkasa tapi juga tidak dibahas di artikel ini.
Kedua radio navigasi NDB dan VOR tersebut kemudian menjadi perangkat navigasi standar yang umum digunakan oleh berbagai negara di dunia meskipun di Eropa dan Amerika Serikat, penggunaan NDB sudah dikurangi bahkan dihilangkan. Selanjutnya, mari kita coba melihat lebih dekat tentang kedua type radio beacon agar kemudian kita dapat memahami tentang bagaimana kedua jenis radio navigasi tersebut bekerja memandu navigasi udara secara elektronik dalam penerbangan modern dimasa kini.
Non-Directional Beacon
Statsiun radio navigasi Non-Directional Beacon atau disingkat NDB mulai dikembangkan lebih sempurna dan telah menjadi satu standar internasional (ICAO Annex 10). Sejak saat itu, stasiun radio yang disebut NDB itu mulai digunakan secara luas untuk menghubungkan setiap jalur navigasi di negara-negara dan benua-benua. Maka dengan ditempatkannya radio-radio tersebut pada sejumlah tempat dipermukaan bumi, selanjutnya pesawat-pesawat yang telah memiliki alat pelacak sinyal (receiver) yang diberi nama Automatic Direction Finder atau ADF sudah dapat melakukan navigasi elektronik tanpa perlu merasa khawatir akan tersesat di saat menempuh perjalanan jauh.
Secara teknis, Perangkat radio navigasi NDB dapat memancarkan gelombang elektromagnetik yang berkisar pada frekuensi antara 190 Khz sampai 1750 Khz dengan daya pancar mulai dari 50 Watt hingga lebih dari 2000 Watt. Artinya, jika sebuah radio navigasi NDB memancarakan sinyal hanya dengan daya 50 Watt, maka kemudian pesawat hanya dapat menjejak sinyal radio tersebut pada jarak 25 nautical miles atau lebih kurang 46 Km dari stasiun tersebut. Dan apabila kemudian sebuah radio navigasi NDB memancarakan sinyal dengan daya lebih besar dari 2000 Watt, maka pesawat akan dapat menangkap jejak radio tersebut pada jarak lebih dari 75 nautical miles atau jarak 140 Km. Artinya, dengan semakin besar daya yang digunakan untuk memancarkan sinyal-sinyal navigasi, maka semakin kuat dan semakin jauh pula daya pancar serta jangkauan yang dihasilkan radio tersebut. Dengan demikian, pesawat-pesawat yang terbang dalam jangkauan (range) sinyal radio tersebut akan dengan mudah menangkap sinyal-sinyal radio navigasi dan kemudian menjejaknya.
Selain memancarkan sinyal-sinyal elektromagnetik agar dapat dijejaki oleh pesawat-pesawat yang melintas di sekitar area transmisi tersebut, radio navigasi NDB juga dapat mengirim kode suara berupa morse untuk memberitahu pilot tentang nama (inisial) dari radio beacon tersebut. Misalnya saja, di kota Lichfield - Inggris, sebuah radio navigasi NDB memancarkan sinyal pada frekuensi 545.0 dengan jarak jangkauan 50 nautical mile (mil udara), dan radio tersebut ditempatkan pada koordinat: (North) N52:44:80 dan (West) W001:43:17. Lalu selanjutnya, untuk memudahkan pilot mengenali setiap stasiun radio beacon yang begitu banyak dan tersebar di permukaan daratan, kemudian setiap satu dari stasiun tersebut harus diberi nama atau inisial, misalnya stasiun NDB yang ditempatkan di Lichfield tersebut kemudian diberi nama singkat LIC. Selanjutnya, pilot dapat melakukan proses tuning dengan memasukkan frekuensi 545.0 pada panel radio navigasi ADF untuk menerima sinyal radio NDB yang dimaksud.
Nah, dengan memasukkan frekuensi tersebut pada panel radio, maka kemudian pilot dapat menangkap sinyal navigasi yang dipancarkan oleh stasiun radio beacon yang berinisial LIC tersebut. Lalu, dengan melakukan crosscheck pada halaman peta (map), maka kemudian pilot dapat mengetahui posisi atau lokasi pesawat yang sedang terbang relatif terhadap posisi radio navigasi NDB yang sedang dijejaki saat itu.
Untuk memastikan bahwa yang diterima adalah sinyal dari LIC NDB, penerbang akan mendengarkan siaran radio di frekuensi 545.0 dan memastikan kode morsenya yang dipancarkan akan terbaca “LIC”. Tentu dalam hal ini pilot harus mampu membaca dan menterjemahkan kode-kode morse yang dipancarkan stasiun radio beacon dengan fasih.
Kemudian, melalui panel instrument yang bernama ADF, yang mana perangkat tersebut berbentuk seperti kompas yang memiliki jarum penunjuk arah, pilot kemudian dapat mengetahui arah dan posisi radio navigasi NDB yang sedang dijejaki, hingga kemudian pesawat dapat diarahkan menuju ke posisi dan lokasi yang akan dituju.
VHF Omnidirectional Range
Memiliki fungsi yang sama dengan radio navigasi NDB, radio navigasi VHF Omnidirectional Range atau umum disebut VOR kemudian menjadi alternatif selanjutnya dalam penempatan radio beacon sebagai bagian dan jaringan dari rangkaian stasiun pandu navigasi yang ditempatkan di darat. Dalam pengembangannya, radio navigasi VOR yang dirancang di Amerika Serikat pada tahun 1937 selanjutnya mulai diterapkan secara luas pada awal tahun 1960, di mana radio navigasi VOR kemudian ikut menjadi radio pandu navigasi standar yang digunakan secara luas di seluruh dunia selain radio NDB.
Secara teknis, stasiun radio navigasi VHF Omnidirectional Range (VOR) merupakan sebuah perangkat radio navigasi yang beroperasi pada gelombang Very High Frequency atau VHF dengan frekuensi yang berkisar pada; 108 hingga 117.95 MHz. Secara teknis pula, stasiun pandu navigasi ini mampu memancarkan sinyal-sinyal berupa kode arah (radial) yang akan menuntun setiap pesawat yang terbang sejauh 25 hingga 130 nautical miles (NM) atau sejauh 46 hingga 240 Kilometer dari stasiun pandu navigasi yang akan dituju. Dan sebagaimana radio navigasi NDB, stasiun radio navigasi VOR juga turut memancarkan kode suara berupa morse yang dapat didengarkan oleh pilot melalui radio penerima (receiver) yang berada pada pesawat terbang. Kemudian, melalui radio navigasi yang disebut NAV Radio, dari sana pilot dapat melakukan tuning atau memasukkan frekuensi radio navigasi yang dituju pada panel frekuensi, lalu kemudian sistim penerima atau receiver yang ada di pesawat akan melacak dan menjejak serta menemukan lokasi stasiun VOR yang dimaksud. Selanjutnya, sinyal-sinyal berupa kode arah yang dikirim oleh stasiun pandu VOR kemudian ditampilkan pada perangkat monitor yang disebut VOR Indicator. Nah, melalui alat monitor tersebut, kemudian pilot dapat membaca arah dari stasiun pandu navigasi VOR yang akan dituju, lalu kemudian pilot dapat mengarahkan pesawatnya menuju ke arah stasiun radio navigasi tersebut dengan tepat.
Selain dapat mengirimkan kode-kode morse agar dapat dibaca oleh pilot saat menerbangkan pesawat, stasiun pandu navigasi VOR juga dapat ditambahkanh perlengkapan khusus yang disebut Distance Measuring Equipment atau DME pada stasiun-stasiun VOR yang dianggap memerlukan fasilitas tersebut sehingga memiliki kemampuan menghitung jarak sebuah pesawat relatif terhadap satasiun VOR yang sedang dijejaki.
Maka dengan demikian, saat penerbangan berlangsung, pilot dapat mengetahui jarak pesawat terhadap stasiun pandu navigasi yang sedang dituju. Dan berkenaan dengan hal ini, apabila sebuah stasiun pandu navigasi VOR telah ditambahkan perangkat yang memiliki kemampuan yang untuk menghitung jarak, maka kemudian stasiun radio navigasi tersebut akan disebut VOR/DME.
Sebagai contoh, sebut saja sebuah pesawat sedang terbang menuju ke stasiun pandu navigasi VOR/DME yang berada pada tempat bernama Lambourne di Inggris, di mana stasiun pandu navigasi tersebut diberi nama atau inisial LAM yang berada pada koordinat (North) N51:38:77 dan (East) E000:09:10. Stasiun Lambourne atau stasiun yang diberi nama singkat LAM dapat dijangkau pada frekuensi 115.60. Nah, dengan memasukkan frekuensi atau melakukan tuning pada frekuensi 115.60 melalui panel radio navigasi (NAV Radio) yang berada di-dalam ruang kendali pesawat, kemudian VOR Indicator yang ada di hadapan pilot akan menampilkan arah (radial) dan jarak (distance) pesawat dari stasiun radio yang berinisial LAM tersebut. Dan setelah melakukan proses tersebut, maka dengan demikian pilot dapat dengan mudah mengetahui arah dan posisi serta jarak terbang menuju ke kota Lambourne. Lalu, selanjutnya pilot dapat mengarahkan pesawatnya menuju ke kota tersebut dengan tepat.
Rangkaian Pandu Navigasi
Dalam tatanan sistim navigasi udara yang cukup luas, dan menurut kedudukannya, radio beacon merupakan gugusan atau rangkaian yang terdiri dari titik-titik (point) pandu navigasi yang ditempatkan di permukaan daratan pada tempat-tempat tertentu yang berguna untuk memandu pesawat saat mengadakan perjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, atau dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya. Dengan tersedianya radio-radio pemandu navigasi, kemudian pesawat dapat terbang dengan mengikuti sejumlah titik (points) pandu navigasi satu per satu menurut jalur dan wilayah yang akan dituju. Nah, dari beberapa stasiun radio pandu navigasi yang sebelumnya telah ditempatkan di permukaan daratan pada titik atau koordinat tertentu, maka setiap satu dari stasiun radio tersebut akan menjadi satu titik atau satu point pandu navigasi yang kemudian disebut waypoint.
Selanjutnya perhatikan Gambar 2 di atas. Pada gambar terlihat sebuah pesawat sedang terbang dari Kota A menuju ke Kota B. Titik pertama yang berada di Kota A adalah bandar udara keberangkatan (departure airport), yaitu tempat awal di mana pesawat diberangkatkan. Selanjutnya, setelah melakukan tinggal landas (takeoff) dari Kota A, kemudian pesawat akan terbang menuju ke Kota B dengan mengikuti dan melewati sejumlah stasiun pandu navigasi berupa stasiun VOR dan NDB yang ada disepanjang perjalanan. Jika saja ditarik garis untuk menghubungkan setiap point ke point atau titik ke titik, maka kemudian seluruh stasiun radio pandu navigasi yang berada diantara kedua kota akan membentuk sebuah alur terbang, yang mana kemudian rangkaian alur terbang tersebut dapat disebut flight path. Maka dengan terbang mengikuti setiap titik panduan navigasi (waypoints) yang telah ditentukan, selanjutnya pesawat diharapkan akan tiba di kota B sebagai tujuan akhir dari penerbangan. Demikian metode navigasi telah diterapkan dalam tatanan sistim navigasi udara modern, di mana sistim tersebut telah membawa manusia dapat terbang menjelajah langit dan pergi kemana pun di permukaan bumi tanpa khawatir akan salah arah.
Turun dari ketinggian jelajah, meski samar-samar terlihat, ..dari jendela pesawat mulai tampak terangnya lampu-lampu kota yang bersinar di tengah pekatnya malam. Ibu yang semula sangat mengkhawatirkan keselamatan hidupnya, kini sudah dapat menarik nafas lega dan mulai dapat memahami bahwa, meski terbang di tengah kegelapan, dan melayang jauh di atas permukaan bumi yang sunyi, ternyata pesawat tetap dapat “melihat jauh ke depan” dengan melacak dan menjejak gelombang-gelombang radio yang ada di sepanjang rute perjalanan.
Nah, sekarang anda sudah memahami dengan baik tentang bagaimana sebuah pesawat mendapat panduan navigasi saat terbang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan dukungan berbagai perangkat teknologi navigasi modern. Selain itu, pilot juga tetap mendapatkan panduan navigasi dari otoritas pengatur lalulintas udara atau Air Traffic Controller (ATC) agar pesawat dapat terbang menuju ke arah yang benar. Demikian berbagai hal berlangsung di balik sebuah penerbangan. Semoga, terbang dalam kegelapan kini menjadi terang-benderang.