Dari cerita ini saya ingin sekali berbagi kepada teman–teman semua disini, untuk rekan–rekan siswa penerbang, terlebih yang sedang menjalani fase terbang mutual namun belum memiliki Instrument Rating.
Terkadang rasa ingin tahu kita dan rasa berani kita mengalahkan akal sehat kita sendiri. Tidak perlu lah saya mengumbar cerita kenakalan siswa-siswa ketika sedang terbang mutual dengan teman, tapi cerita kali ini merupakan sebuah kisah nyata yang menyadarkan saya... “I am still nothing” bahkan dengan ilmu yang kita punya, kita tidak sadar kalau kita masih harus banyak belajar. Bukan hanya dari buku, namun juga dari pengalaman dan waktu yang akan mengajarkan kita hal hal yang mungkin tidak pernah diduga.
--------------------------------------------------
Semarang, April 2012
Telah hampir 3 bulan kami melakukan flight training di Semarang.
Hari itu saya akan melakukan crosscheck untuk pelajaran General Instrument flight, sebelum memasuki tahap yang lebih advance yaitu Radio Instrument flight. Skenario nya adalah, penerbangan ini merupakan mutual supervision flight, di mana saya dan teman saya "kadet G" akan terbang mutual dan melakukan all general instrument exercise di bawah pengawasan "kapten D" yang duduk di bangku belakang.
Penerbangan ini merupakan penerbangan IFR under VMC condition. Kami akan melakukan instrument flying tapi tetap mempertahankan “visual meteorological conditions” yaitu 1.6 statue miles visibility with cloud 1000ft vertically and 1500 feet horizontally. Correct me if I'm wrong with this limitation. (Tepatnya 5 km. CASR 91.155, admin)
Sekitar pukul 11.00, kami pun mengudara dari runway 13 dengan tujuan Wedung Area. Sebagai informasi, biasanya di atas jam 11 angin yang awalnya calm akan cenderung south to east, lalu trend angin akan bergeser northern lalu western sehingga biasa di siang menjelang sore hari active runway berubah menjadi runway 31.
Wedung area yang berjarak sekitar 18nm dari ANY VOR pun kami tempuh selama 15 menit. Sekitar pukul 11.15LT kami meminta izin kepada Semarang Approach untuk menggunakan 1000-3000ft over Wedung Area untuk exercise. Semua exercise berjalan normal, persiapan yang saya lakukan di malam sebelumnya benar-benar membantu pada penerbangan kali ini. Exercise seperti rate one turn, climbing turn timing, descend turn timing, slow flight turn, dan compass error saya (rasa) melakukannya dengan cukup baik, namun kapten D yang duduk di belakang tidak memberikan komentar apapun karena dalam mutual supervision instruktur baru akan memberikan briefing pada saat post flight.
--------------------------------------------------
1 jam kami berada di Wedung area...
Saya sangat ingat saat itu saya sedang melakukan compass error exercise dimana saya harus melakukan rate one turn dengan limited panel (Directional Gyro Indicator dan Artificial Horizon ditutup).
Tiba – tiba saja kapten D dengan nada sedikit gusar berbicara kepada safety pilot saya,
“hey jadi safety gimana sih ?”,
Masih agak bingung, safety pilot saya pun bertanya kepada instruktur,
“siap, apa salah saya kep?”,
”LIAT BELAKANG !”,
dengan nada sedikit membentak instruktur saya berbicara, dan sontak saya kaget ketika menengok ke belakang ternyata kota Semarang sudah tidak terlihat sama sekali! Tertutup awan hitam dan hujan deras.
Wedung area ini berada di radial 045 dari ANY VOR, dan posisi saya saat itu berada pada crossing radial 050 20DME ANY VOR pada heading 360 maintain 1000ft MSL. Lemas rasanya kaki pada saat itu, tidak siap rasanya untuk menghadapi apa yang saya akan hadapi.
First to experience !! Saya sudah pernah masuk hujan, tapi tidak dengan awan sebesar ini dengan cloud coverage seluas ini.
Jarak pandang bisa saya perkirakan dibawah 3 kilometer. Freeze, tapi tetap mencoba mencari solusi, saya memposisikan pesawat pada standart rate one turn dan tetap membuat 360 degrees turn – yang saya ingat saat itu 360 right. Safety pilot saya langsung memeriksa segala sesuatunya, melepas cover AH dan DGI, memeriksa engine instrument, dan lain lain.
Instruktur dengan segala resiko yang sudah diperhitungkan akhirnya mengambil keputusan untuk Return to Base. Karena setelah kami check ATIS angin bertiup dari 180 degrees. Itu berarti cepat atau lambat awan itu akan menghampiri kami.
“nyamperin atau disamperin” itu saja pertimbangannya.
Fuel check sekitar 1 jam lagi, safety pilot saya memberikan saran untuk intercept radial 310 dan masuk ke final course runway 13, tapi saya pertimbangkan kembali menyeberang laut dalam keadaan cuaca seperti ini sama sekali bukan ide yang bagus.
TIME IS TICKING! Di saat itu saya untuk pertama kalinya sepanjang saya terbang saya berfikir “mati nih gue, mati nih gue!” mulai terlintas di otak saya tentang hal-hal negatif yang mungkin bisa saja menimpa saya dalam beberapa menit ke depan.
Waktu tidak akan menunggu saya mengambil keputusan. Visibility busuk, hujan lumayan deras, dengan trend CB to North. East of area merupakan mountainous area, west of area merupakan lautan luas, akhirnya saya memutuskan flying through the southwest – homing via arrival procedures.
Kami meminta menaikan ketinggian ke 3000 kaki dan apabila masih tidak memungkinkan untuk mendarat kami akan melakukan holding di atas ANY VOR (untuk holding pun selama ini kami hanya melakukannya di simulator). Sama sekali tidak terfikir untuk ke KENDA ataupun EMASA point karena memang kami belum pernah dilatih untuk “bermain” di sana.
Instruktur menyetujui ide saya begitu juga dengan safety pilot. Kabar terakhir yang kami dapat dari frekuensi tower hujan di Ahmad Yani sudah tinggal gerimis rintik-rintik, tapi CB berukuran cukup besar sekarang mengarah ke utara yang dengan kata lain mengarah ke arah kami.
Kami meminta clearance ke approach untuk leaving training area dan menanjak ke ketinggian 3000 kaki. Setelah di approved saya pun masuk ke radial 045 inbound dengan pertimbangan pada radial ini merupakan arrival procedures dan sangat “diuntungkan” karena berada tepat di atas garis pantai, (amit-amit) apa bila sesuatu terjadi saya masih memiliki pilihan untuk melakukan pendaratan darurat di sekitar coastline dibandingkan terhempas ke laut lepas.
Passing 1500ft, 10 miles inbound. Masalah baru terjadi. Kami sadar top of cloud dari CB ini sangat tinggi sekali.
Safety pilot saya dengan cepat langsung bertanya “nyeper apa nyebur ?! decide now !”
Apapun caranya, di posisi ini saya sudah serba salah. Tapi dengan pertimbangan untuk masih bisa maintain visual sight akhirnya saya mengambil keputusan “NYEPER !” yang artinya terbang di bawah awan tersebut. Sempat kepikiran untuk buang pesawat ke kanan atau ke kiri tapi apa daya coverage yang sangat besar dari awan ini sudah tidak memungkinkan kami untuk “melipir”
Di pelajaran meteorologi, CB memiliki 3 fase : building phase, mature phase dan dissipating phase. Pada mature phase akan terjadi downdraft dan updraft yang mengakibatkan pesawat terombang-ambing tidak karuan. Namun di saat dissipating phase CB “hanya” akan menghasilkan downdraft.
Hujan masih lebat.. ini berarti masih mature phase.. saya mencoba mempertahakan pesawat tetap di bawah awan, intinya jangan sampe masuk. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya tiba-tiba saja jarum Vertical Speed Indicator menunjuk ke 500ft/min lalu 1000, lalu turun lagi !! Refleks saya langsung open power dan menaikkan pitch, sebisa mungkin menjaga agar pesawat ini tidak sink. Instruktur saya langsung memajukan badannya, safety pilot saya langsung pucat seketika.
Mungkin inilah detik detik terpanjang selama saya hidup. Karena terlalu banyak menaikkan pitch pesawat saya masuk ke dalam awan tersebut. Bisa dirasakan air hujan yang masuk dari air inlet membasahi pipi dan dahi saya. Vertical Speed naik turun tidak karuan, Airspeed indicator juga mengindikasikan hal serupa. Saya terus berusaha mempertahankan pesawat saya pada posisi level flight. Dari belakang instruktur tetap memperhatikan jarum-jarum instrumen. Safety pilot saya yang terlihat semakin gugup namum secara terus menerus membacakan ayat ayat suci al-quran.
Basic six instrument dan VOR indicator terus saya perhatikan. Walaupun takut saya tetap berusaha tenang dan fokus.
Lalu tiba-tiba pesawat kami kembali dihempas downdraft, kali ini saya tidak sempat melihat VSI karena mata saya sedikit kaget -juga panik- melihat penunjukan altimeter.
drop 100... 200.. 300..
“ya Tuhan, tolong... jangan sekarang...”
Melihat jarum altimeter yang terus merosot sebisa mungkin saya open power dan berusaha menaikkan pitch.
Lalu terdengar teriakkan dari belakang “Headiiiiiing !!!”
Ya Tuhan.. tanpa saya sadari karena terlalu terfokus dengan altitude, heading saya off track sekitar 70 derajat, CDI VOR saya sudah deflected kemana mana.
“ayo kejar ! fokus ayo fokus !” instruktur saya terus memberikan instruksi dari belakang.
PS (pilot safety): “approaching 3 miles !”
PF : “Confirm aerodrome insight ?”
PS : “errr.. negative”
Kami hanya berjarak 3 Nautical Miles dari bandara dan sama sekali tidak dapat bandara secara visual.
Saya mencoba menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan tetap fokus untuk memendaratkan pesawat ini. Menit kemudian safety pilot saya berkata “clear of clouds ! we have visual !”.
“Puji Tuhan....”, hanya kata-kata itu yang dapat terucap dari bibir saya...
Runway telah terlihat, kami telah diizinkan untuk mendarat di runway 31 (wind saat itu dilaporkan calm), dan saya pun sadar ternyata masalah belum selesai. Kami terlalu tinggi untuk mendarat, dan kecepatan kami sekarang belum memasuki VFe (Velocity Flaps Extended) sehingga saya tidak dapat menambah drag dengan membuka flaps.
Turning final dengan kecepatan sekitar 110 knots, sebisa mungkin saya tahan di pitch itu agar pesawat tidak overspeed.
“Flapless approach! Speed non standard !”,
saya mengkonfirmasikan kepada safety pilot dan instruktur saya akan melakukan pendaratan dengan flaps 0 degress dengan kecepatan 100-110 knots –sekitar 25-35 knots lebih cepat dari approach speed yang tertulis di checklist kami.
“Landing light and taxi light on”
"Slope.. check.. Centerline.. Check..."
“Flaps 0.. check”
“Speed.. check”
landing checklist complete! Saat ini satu-satunya konsentrasi adalah membawa dan memendaratkan pesawat ini dengan aman di landasan pacu.
“Right hand seat standby for recovery !” – ini merupakan sebuah SOP tidak resmi yang kami lakukan apabila terjadi sesuatu yang tidak wajar saat pendaratan dan pilot flying tidak ada aksi yang mumpuni, dengan kata kata “my control!” atau apabila pilot flying berkata "you have control!", sang safety pilot dapat mengambil alih (recover) pesawat - entah itu untuk mendaratkan atau membawa pesawat pada posisi go around.
Over threshold, pesawat masih over slope, kondisi power sudah off. Beberapa saat kemudian saya mengangkat sedikit untuk leveling off dan flaring.
Da*n! Tanpa disangka dan tanpa diketahui sebabnya pesawat tidak mau sink alias floating! pesawat tersebut tidak mau turun, terus-terusan mengambang di atas runway.
Safety Pilot terlihat sudah sangat gusar, tapi perlahan pesawat turun dan touch tepat di depan taxiway Delta – taxiway di mana kami biasa keluar dari landasan. Karena runway yang masih basah saya tidak berani braking karena takut adanya asymetrical braking yang bisa membuat pesawat bergerak tidak karuan.
Decelerate... dan akhirnya pesawat menggelinding pelan di landing aiming point runway 13...
Tower pun memberikan instruksi
”landed time ..... *saya lupa* make 180 turn... taxi to military apron via Delta.. udah saingan sama boeing nih mas landing roll nya hehehe”
Becandaan dari tower itu jujur membuat saya malu, saya memang mendarat secara aman namun terkesan begitu dipaksakan.
Setelah itu semua berlangsung normal hingga pesawat berhenti secara sempurna di mlitary apron stand number 9.
Pelajaran sangat mahal dan berharga didapatkan pada hari itu.
Saya hanya tidak dapat membayangkan apabila hari itu "kapten D" tidak onboard untuk melakukan progress check ....
Disclaimer :
Maaf apabila ceritanya kepanjangan dan tanpa gambar,karena tidak memungkinkan rasanya saya mengambil gambar ketika sedang menghadapi situasi semacam ini
Apabila mau "melihat" cerita ini secara visual silahkan melihatnya dari ONC / Charts, karena di beberapa garis sengaja saya gambarkan posisi saya secara spesifik :)
Warm regards,
Avi