sambungan dari bagian 1
Ada 2 jenis kecelakaan pesawat terbang yaitu aksiden (accident) dan insiden (incident).
Aksiden adalah kejadian di mana:
Bila seseorang naik pesawat dengan maksud akan terbang, sampai semua orang (penumpang) telah turun dari pesawat dan salah satu atau kombinasi dari kejadian berikut terjadi, yaitu:
- Seorang atau lebih meninggal dunia atau luka parah, kecuali karena hal yang sewajarnya terjadi atau sengaja dilakukan pada dirinya sendiri atau oleh orang lain, atau terjadi pada penumpang gelap
- Kerusakan berat yang terjadi pada pesawat telah berpengaruh pada keutuhan struktur pesawat atau pada karakteristik terbangnya atau memerlukan perbaikan/ penggantian komponen secara besar-besaran
- Pesawat itu hilang atau tidak bisa diakses (misalnya jatuh di pegunungan yang terjal atau di laut walaupun letaknya diketahui)
Insiden serius adalah kejadian di mana suatu aksidennyaris atau hampir saja terjadi
Insiden adalah kejadian yang dapat berpengaruh pada keselamatan terbang selain dari aksiden
Investigasi atau penyidikan adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya aksiden dengan cara mengumpulkan dan menganalisa informasi, mengambil kesimpulan, menentukan penyebab kecelakaan dan memberikan rekomendasi perbaikan keselamatan terbang.
Accredited Representative atau Wakil berakreditasi adalah orang yang ditunjuk oleh negara yang berwewenang untuk ikut berperan serta dalam sebuah penyidikan yang dilakukan oleh negara lain.
Adviser atau Penasihat adalah orang yang ditunjuk oleh negara untuk membantu Wakil berakreditasi (Wakil Resmi)
Penyebab kecelakaan adalah tindakan atau tak adanya tindakan, kejadian dan kondisi yang pada akhirnya membuat kecelakaan (aksiden atau insiden) terjadi.
Perlu dicatat bahwa ada negara seperti Australia yang tidak menganut pendapat atau menggunakan istilah “penyebab”, tetapi menggunakan istilah “faktor-faktor yang berkontribusi”. Alasan yang digunakan untuk menggunakan istilah faktor adalah karena perkataan penyebab terlalu menjurus secara khusus sehingga mungkin mengalihkan perhatian dari perlunya melakukan pemeriksaan pada “sistem” yang mungkin lebih relevan. Perkataan penyebab bisa jadi juga punya implikasi legal yang kurang tepat dan tidak diinginkan.
Flight recorder atau Perekam Data Penerbangan adalah semua jenis perekam yang dipasang dipesawat untuk tujuan melengkapi penyidikan. Flight recorder ini lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai “black box” atau kotak hitam, walaupun warna sebenarnya adalah oranye menyala, supaya lebih mudah ditemukan seandainya pesawat mengalami kecelakaan.
Ada 2 jenis perekam data yaitu FDR (Flight Data Recorder) atau Perekam Data Penerbangan dan CVR (Cockpit Voice Recorder) atau Perekam Suara di Kokpit.
Dari segi konflik dengan pihak pengadilan negeri, rekaman data penerbangan bisa jadi merupakan sumber masalah dalam situasi-situasi tertentu. Penyidik kecelakaan biasanya punya hak akses terhadap semua bukti yang dapat membantu mengungkap mengapa kecelakaan terjadi. Annex 13 menegaskan bahwa penyidik harus diberi akses untuk memeriksa dan menganalisis dan mengumpulkan data yang terekam dalam CVR dan FDR. Undang-undang
negara terkontrak pada umumnya juga mengikuti Annex 13 dan memberikan garansi bahwa penyidik punya hak akses pada data yang terekam dalam CVR dan FDR. Namun demikian ada juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang oleh airlines untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk untuk tujuan perawatan pesawat dan lain sebagainya.
Annex 13 tidak mengatakan apapun tentang QAR, jadi penyidik tidak punya hak legal yang diberikan secara tertulis oleh Annex 13 untuk mendapatkan akses ke data yang terekam dalam QAR. Namun demikian karena data dalam QAR adalah data yang dapat membantu mengungkap mengapa kecelakaan terjadi, maka secara tidak langsung Annex 13 juga memberi hak legal kepada penyidik untuk mendapat akses ke data dalam QAR. Data yang terekam dalam QAR bersifat teknis yang sangat rinci dan lebih lengkap dari data yang terekam dalam CVR dan FDR, walaupun tidak ada persyaratan legal yang mengharuskan airlines untuk memasang QAR di pesawat. QAR dipasang di pesawat karena airlines membutuhkan data tersebut.
Di sisi lain CVR dan FDR harus dipasang oleh airlines sebagai persyaratan resmi dalam mengoperasikan pesawat. Kalau airlines merasa bahwa data yang terekam dalam QAR merupakan data rahasia perusahaan yang tak boleh diberikan pada pihak lain, termasuk para penyidik kecelakaan pesawat, boleh jadi mereka akan melakukan perlawanan hukum untuk mencegah data QAR diakses oleh penyidik. Di Australia hal ini dapat diatasi dengan menggunakan istilah OBR (Onboard Recording) dalam undang-undangnya, di mana OBR mencakup semua alat perekam yang dipasang di pesawat.
Di sisi lain undang-undang keselamatan transportasi udara (TSI Act) Australia itu juga mengatur secara ketat tentang bagaimana informasi yang terekam dalam OBR itu bisa dan boleh dimanfaatkan, sedemikian rupa sehingga data OBR, termasuk data QAR, itu tidak bisa disalah gunakan oleh pihak manapun. Dengan demikian hak rahasia perusahaan juga dapat dijamin. Pemanfaatan data OBR yang tidak disahkan oleh TSI Act dianggap sebagai pelanggaran hukum, dan penyebaran atau penyalinan data OBR seperti itu dianggap sebagai tindakan pidana atau kriminil. TSI Act juga mencegah data OBR digunakan sebagai bukti yang memberatkan melawan anggota kru terbang yang dituntut dalam sebuah persidangan pidana, dan juga tidak bisa digunakan oleh maskapai penerbangan sebagai dasar untuk menerapkan tindakan disipliner ke kru tersebut.
Pemanfaatan data OBR juga sangat dibatasi dalam persidangan perdata. Sebelum data OBR bisa digunakan dalam persidangan perdata, Direktur Eksekutif ATSB (KNKTnya Australia) harus menerbitkan sebuah sertifikat yang menegaskan bahwa pemberitaan umum isi data OBR itu sangat kecil kemungkinannya akan berpengaruh terhadap penyidikan yang sedang berlangsung. Persyaratan yang ketat tadi berarti bahwa kecil sekali kemungkinan bahwa data atau informasi yang terekam dalam OBR itu akan digunakan dalam persidangan perdata.
IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab adalah penyidik yang bertanggung jawab untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengendalikan penyidikan.
IIC adalah seorang manager yang mengelola sejumlah lumayan besar aset dan pekerja, dan juga harus cukup paham dengan politik setempat disamping politik dalam negeri di negara kejadian kecelakaan. IIC memegang peran yang sangat penting dalam menuntaskan penyidikan dengan hasil yang memuaskan.
Dalam Annex 13 ada hal-hal yang disebut “standard” dan ada juga yang disebut Recommended Practices. Ini akan dijelaskan secara lebih rinci dibawah ini.
SARPs (Standards and Recommended Practices)
Standar (bahasa Indonesia dari standard) adalah semua hal yang harus dipenuhi oleh setiap negara terkontrak (anggota ICAO), sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Konvensi Chicago. Kalau ada hal-hal tertentu yang karena satu dan lain hal tidak mungkin bisa dilakukan oleh negara terkontrak, maka negara tersebut harus memberitahu secara resmi kepada ICAO apa yang didefinisikan sebagai “difference” atau “perbedaan”.
Pada dasarnya ICAO mengharapkan semua negara terkontrak untuk melaksanakan semua standar yang telah disepakati dalam konvensi Chicago. Namun demikian dalam kenyataannya bisa jadi bahwa ada standar-standar tertentu yang tidak sepenuhnya bisa diterapkan di negara terkontrak, karena situasi politik dalam negeri ataupun kondisi birokrasi di negara tersebut tidak memungkinkan standar tersebut diterapkan. Sebagai contoh Australia telah menyampaikan adanya beberapa “difference”. Ini akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.
Recommended Practices atau Praktek yang disarankan adalah praktek-praktek tertentu yang ICAO mengharapkan setiap anggota (negara terkontrak) sebaiknya menerapkannya. Tetapi bila situasi dan kondisi dalam negeri negara terkontrak tidak memungkinkan dilaksanakannya praktek-praktek tersebut, maka negara terkontrak tidak perlu menyampaikan secara resmi daftar dari “difference” antara praktek yang disarankan dan yang bisa dilakukan dalam kenyataannya. Jadi boleh dikatakan bahwa “recommended practices” adalah praktek-praktek terbaik yang disarankan tetapi negara terkontrak tidak akan dikenakan sanksi (sanction) atau hukuman bila tidak melaksanakannya. Ini berbeda dari standar, yang HARUS diterapkan dan kalau ada perbedaan dengan apa yang mampu dilakukan oleh negara terkontrak maka perbedaan tersebut harus dilaporkan secara resmi ke ICAO. Kalau ini dilanggar maka negara terkontrak akan dikenakan sanksi.
Setiap negara terkontrak jelas mengharapkan bahwa negara terkontrak lainnya akan memenuhi semua standar dan recommended practices dan kalau ada perbedaan diharapkan itu bisa ditekan sesedikit mungkin, sehingga penyidikan kecelakaan pesawat dalam prakteknya bisa dilaksanakan secara mulus.
Annex 13 menegaskan bahwa kewajiban terbesar berada dipundak negara terkontrak tempat kejadian kecelakaan (NTKK). Sesuai kesepakatan Konvensi Chicago NTKK diwajibkan melakukan hal-hal berikut:
- Melindungi barang bukti, termasuk pesawat (atau sisa-sisa pesawat) lengkap dengan seluruh isinya, di mana barang bukti tersebut diperlukan untuk melengkapi informasi penyidikan, misalnya dokumentasi penerbangan, rekaman radar, rekaman data tentang bahan bakar dalam tanki pesawat dan lain sebbagainya.
- Mengirimkan laporan pemberitahuan resmi kepada negara registrasi, negara operator, negara desain dan negara manufaktur, yaitu umumnya semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan pesawat yang naas itu. Format dan informasi apa saja yang perlu dicantumkan diberikan dalam Annex 13 butir 4.2
- Melaksanakan tugas penyidikan, kecuali bila negara terkontrak tidak memiliki sarana maupun kemampuan teknis untuk melakukannya. Sebagai contoh adalah kecelakaan yang menimpa pesawat IL76 di Timor Leste. Annex 13 memperbolehkan NTKK untuk minta bantuan kepada negara terkontrak lainnya untuk melakukan penyidikan dengan mengatasnamakan NTKK. Dalam kasus kecelakaan pesawat IL76, Timor Leste minta bantuan kepada Australia untuk melakukan penyidikan atas nama Timor Leste. Jadi laporan yang disiapkan adalah laporan Otorita Keselamatan Terbang Timor Leste (KNKTnya Timor Leste) walaupun yang melakukan penyidikan dan membuat laporan adalah ATSBnya Australia. Tetapi perlu dicatat bahwa Timor Leste punya hak untuk memberikan persetujuan final tentang isi dan format laporan, sesuai dengan undang-undang Timor Leste, bukan sesuai dengan isi dan format laporan ATSB pada umumnya.
Bagaimanapun juga dengan berusaha mengikuti standar yang disepakati dalam Annex 13, semua negara terkontrak diharapkan mampu melakukan penyidikan walaupun dengan bantuan negara lain, dan penyidikan tersebut bisa berlangsung mulus dengan hasil yang bermanfaat dalam usaha mencegah terjadinya kecelakaan yang mirip dikelak kemudian hari.
Perbedaan dari standar memang boleh diajukan secara resmi ke ICAO, tetapi ini sebisa mungkin harus dihindari. Sebagai contoh, Australia telah mengajukan perbedaan yang disebabkan oleh keterbatasan dana yang dimiliki Australia untuk tujuan ini. Undang-undang dan peraturan yang dikenal sebagai “The Transport Safety Investigation Act 2003, Transport Safety Investigation (Consequential Amendments) Act 2003” dan “The Transport Safety Investigation Regulations” diundangkan dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Menurut ATSB, walaupun undang-undang tersebut tidak sepenuhnya sama dengan yang disepakati di Konvensi Chicago, namun secara garis besar dan menyeluruh berusaha mengikuti apa yang tercantum dalam Annex 13 dengan sebisa-bisanya.
Perbedaan yang dilaporkan adalah sebagai berikut:
5.1 State of Occurrence
“Australia may not institute an investigation into ‘domestic’ accidents where the aircraft concerned is on the Australian Register. Decisions on whether a particular domestic accident will be investigated will depend on resources and the likely benefit to future safety, particularly in the general aviation sector. Serious incidents involving either foreign or Australian-registered aircraft may also not be investigated depending on resources and the likely benefit to future safety. “
Penjelasan yang diberikan mengenai mengapa Australia tidak bisa memenuhi kesepakatan dalam kasus ini, adalah sebagai berikut:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases). After meeting Article 26 obligations, Australia normally gives priority to investigations involving regular public transport aircraft (especially with fare-paying passengers) and accidents involving fatalities other than those involving ultralights and sport aviation. “
Perbedaan:
5.4 Responsibility of the State Conducting the Investigation
“With respect to 5.4(a) resources may constrain Australia from ‘gathering, recording and analysing all available information on that accident or incident’. “
Penjelasan mengenai perbedaan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and will prioritise evidence gathering, recording and analysis depending on the likely safety value of the investigation and hence its resourcing and scope. “
Perbedaan:
7.1 Accidents to aircraft over 2250 kg
“Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.”
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations may release only a short final report. “
Perbedaan:
7.2 Accidents to aircraft of 2250 kg or less
“Australia will comply with the standard for the more complex accidents. However, for some less complex investigations Australia does not prepare a Preliminary Report.”
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and for less complex investigations may release only a short final report. “
Perbedaan:
7.5 Accidents/Incident Data Report: Accidents to aircraft over 2250 kg
“If Australia does not investigate a ‘domestic’ accident it will send ICAO only the initial notification details it has with regard to the accident. If an accident investigation is undertaken, the final report will be sent to ICAO. “
Penjelasan:
“Australia has limited resources for accident and incident investigation and for safety studies (investigations involving occurrence databases) and may not investigate accidents not required by Article 26. If a ‘domestic’ accident is investigated, this may involve a less comprehensive investigation (see difference re 5.4 above).”
Seperti dapat dilihat, Australia memang telah berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi seluruh isi kesepakatan Konvensi Chicago, tetapi karena masalah keterbatasan dana, maka tidak semua yang disepakati dalam Konvensi Chicago dapat dilakukan oleh Australia.
Seandainya kecelakaan terjadi di negara yang bukan anggota ICAO, yang tidak berkeinginan untuk melakukan penyidikan, maka praktek yang disarankan (rcommended practice) adalah bagi Negara Registrasi untuk melakukan penyidikan. ICAO tidak berwewenang untuk memaksa negara yang bukan anggota untuk melakukan SARPs yang tercantum dalam Konvensi Chicago, jadi dalam contoh kasus ini Negara Registrasi (yang anggota ICAO) disarankan untuk melakukan penyidikan. Tetapi dalam kenyataannya, setiap negara yang memiliki airlines, tentu akan berperilaku sebagai NTKK dan akan melakukan penyidikan. Misalnya saja ini selalu dilakukan oleh Taiwan termasuk kecelakaan pesawat Singapore Airlines di Taiwan tahun 2000, walaupun Taiwan bukanlah anggota ICAO. Mau tak mau Taiwan harus melakukan penyidikan, sebab kalau tidak maka Taiwan akan dikenal dunia sebagai negara yang tak peduli dengan keselamatan terbang dan tak akan ada penumpang yang bersedia naik pesawat milik airline Taiwan.
Annex 13 juga menyebutkan bahwa seandainya kecelakaan terjadi di negara yang bukan anggota ICAO dan tidak berniat melakukan penyidikan, maka disarankan bahwa salah satu dari negara terkontrak yang dalam kasus ini menjadi Negara Operator, Negara Desain atau Negara Manufaktur, bertindak melakukan penyidikan. Jadi pada dasarnya ICAO menghendaki agar setiap kecelakaan terbang itu selalu diselidiki, supaya alasan-alasan yang menjadi penyebab atau berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan, itu diketahui dan dimengerti supaya dapat diambil tindakan-tindakan yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang mirip di masa depan.
Apabila kecelakaan terjadi di kawasan internasional, misalnya pesawat jatuh di laut diluar wilayah atau teritori negara manapun, maka Negara Registrasi juga diberi kewajiban untuk melakukan penyidikan, walaupun Negara Registrasi tersebut diperbolehkan minta kepada negara terkontrak lainnya untuk mewakilinya dalam melakukan penyidikan.
Salah satu contoh di mana pesawat jatuh ke laut internasional adalah pesawat Airbus milik Air France yang jatuh di lautan di antara Brasil dan Eropa, yang terjadi beberapa tahun lalu. Dalam kasus tersebut, Perancis sebagai Negara Registrasi, bertanggung jawab sebagai negara (diwakili oleh BEA) yang melakukan penyidikan.
Semua pihak menginginkan agar penerbangan sipil bisa menjadi modus (jenis) transportasi yang sangat aman dengan tingkat keselamatan terbang yang sangat tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut Annex 13 pada dasarnya menginginkan agar semua kecelakaan pesawat, tanpa mempedulikan berat ataupun operasi pesawat, selalu diselidiki sebab-sebab terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu semua negara yang berusaha memenuhi semua kesepakatan Konvensi Chicago pasti berusaha sebisanya untuk menyelidiki semua kecelakaan pesawat yang terjadi di negara itu, baik untuk pesawat jenis General Aviation (pesawat olah raga dan pribadi lainnya), ataupun agrikultur (misalnya penyemprot hama) dan angkutan sipil.
Urutan prioritas negara yang diwajibkan melakukan penyidikan adalah NTKK, kemudian Negara Registrasi, Negara Operator, Negara Desain dan akhirnya Negara Manufaktur.
Demi suksesnya upaya pencegahan terjadinya kecelakaan terbang semua negara terkontrak dihimbau untuk melakukan kerjasama internasional dengan sebaik-baiknya.
Annex 13 juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai beberapa hal sebagai berikut:
IIC (Investigator In Charge) atau Penyidik Penanggung Jawab
Annex 13 menekankan bahwa IIC harus bersifat independen dan dalam melakukan tugasnya diberi akses tanpa batasan untuk mengumpulkan barang bukti, menyampaikan rekomendasi, menentukan penyebab kecelakaan dan menerbitkan laporan akhir (final report). Tetapi dalam kenyataannya hal ini sangat sulit tercapai, khususnya di beberapa negara tertentu yang memiliki undang-undang yang sudah berlaku jauh hari sebelum ada pesawat terbang didunia. Sebagai contoh, para penyidik dari AAIB (Inggris) dan BEA (Perancis) harus bernegosiasi dengan pengadilan negeri lokal, yang berdasarkan undang-undang yang telah diundangkan sejak jaman Napoleon, diberi hak dan wewenang sepenuhnya untuk melakukan penyidikan.
ICAO memang menganjurkan agar proses hukum dan administratif untuk menentukan pihak-pihak yang bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan perlu dilakukan terpisah dari penyidikan kecelakaan, namun dalam kenyataannya dibutuhkan seorang pimpinan penyidik yang berwibawa dan pemerintah yang sungguh-sungguh berkeinginan untuk mematuhi Annex 13 supaya penyidikan kecelakaan pesawat bisa dilakukan tanpa terlalu banyak masalah berbenturan dengan pengadilan negeri setempat. Walaupun Australia berkeinginan untuk memisahkan penyidikan kecelakaan dari proses penyidikan siapa yang terbukti bersalah dan harus bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan , tetapi dalam kenyatannya masalah konflik dengan pihak pengadilan negeri setempat masih sering terjadi. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara terkontrak lainnya termasuk
Amerika Serikat, Eropa dan juga di Indonesia seperti sering kita baca masalahnya di koran dan majalah yang membahas tentang kecelakaan pesawat terbang. Salah satu cara yang biasanya ditempuh adalah dengan memisahkan otorita untuk melakukan penyidikan dari otorita yang membuat dan harus menegakkan peraturan-peraturan tentang penerbangan sipil.
Misalnya saja , walaupun FAA (Federal Aviation Administration) dan NTSB (National Transportation Safety Board) kedua-duanya berada di bawah Kementerian Transportasi Amerika Serikat, tetapi mereka saling independen satu dari yang lain, dan masing-masing punya peran, fungsi dan tanggung jawab yang berbeda. FAA membuat peraturan dan pengaturan dibidang penerbangan sipil, tetapi tidak punya hak untuk melakukan penyidikan kecelakaan, sedangkan NTSB ditugaskan untuk melakukan penyidikan, mengumpulkan, menganalisa dan mengolah data, menentukan faktor-faktor apa saja yang terlibat sehingga kecelakaan terjadi, serta membuat laporan dan memberikan masukan serta rekomendasi tentang apa saja yang perlu diperbaiki atau perlu dilakukan seandainya belum pernah dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan dlsbnya. Namun demikian NTSB tidak berhak membuat atau mengubah peraturan dan pengaturan, hanya boleh merekomendasikan saja dan FAA tidak diharuskan melakukan semua rekomendasi yang disampaikan oleh NTSB, walaupun tentu saja FAA harus melakukan introspeksi dan mempelajari secara sungguh-sungguh semua rekomendasi NTSB.
Pemisahan wewenang tersebut memang dianggap perlu dan penting untuk dilakukan, tetapi ada kalanya bisa juga menimbulkan konflik. NTSB bisa jadi sangat menginginkan peraturan dan pengaturan tertentu diubah/diperbaiki sesuai rekomendasinya yang berdasarkan hasil kerja susah payah mereka dalam melakukan penyidikan, tetapi FAA menolak melakukannya atau membuat perubahan/perbaikan dalam peraturan dan pengaturan yang tidak tepat sama dengan yang direkomendasikan NTSB, dan membuat NTSB frustrasi.
Pemisahan wewenang seperti itu juga dilakukan disetiap negara. Misalnya saja pembuat aturan diAustralia adalah CASA (Civil Aviation Safety Authority) sedangkan penyidikan kecelakaan dilakukan oleh ATSB (Australian Transport Safety Bureau). Padanan FAA di Inggris adalah CAA (Civil Aviation Authority) sedangkan padanan NTSB adalah AAIB
(Air Accidents Investigation Branch). Di Indonesia padanan FAA adalah DGCA (Directorate General of Civil Aviation) sedangkan NTSC (National Transportation Safety Committee) atau KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) adalah padanan dari NTSB.
Orang yang paling pusing dengan tanggung jawab yang begitu berat dan permasalahan yang begitu rumit adalah IIC atau Penyidik Penanggung Jawab, yang harus berwibawa, disegani, pintar bernegosiasi, seorang manager yang handal dan tidak bisa ditakut-takuti oleh pihak yang berwajib seperti kepolisian ataupun kejaksaan, pak Menteri bahkan Presiden sekalipun dlsbnya. IIC diangkat oleh negara dan bersifat ad hoc alias sementara selama dibutuhkan untuk penyidikan kecelakaan tertentu dan bukan pangkat atau jabatan tetap. IIC biasanya adalah seorang staf yang dianggap paling senior dan berpengalaman diantara para staf di ATSB, atau NTSB atau NTSC dlsbnya. Cara kerja
dan susunan organisasi badan seperti NTSB, ATSB atau KNKT dlsbnya tentu saja berbeda disetiap negara dan diatur oleh undang-undang masing-masing negara. Badan seperti itu tentu saja diberi dana operasi untuk menggaji staf dan melakukan tugas penyidikan. IIC begitu dilantik harus segera bertindak. Hal pertama yang harus dilakukan oleh IIC adalah segera terbang ke tempat kejadian dan melakukan negosiasi dengan polisi setempat untuk mengamankan barang bukti (bangkai pesawat misalnya) atau kalau pihak kepolisian tidak punya staf dalam jumlah yang cukup maka IIC harus segera menyewa staf sekuriti pribadi, misalnya dari perusahaan sekuriti lokal. Bersamaan dengan itu IIC harus menyiapkan laporan pemberitahuan kepada negara-negara terkontrak lain yang terlibat yaitu pihak-pihak yang berwewenang dari negara-negara registrasi, operator, desain dan manufaktur.
Barang bukti, apalagi yang “perishable” atau cepat hilang misalnya karena busuk ataupun dicuri orang, harus segera diamankan atau disegel. Sebuah “garis polisi” harus segera dibentuk di sekeliling barang bukti dan staf sekuriti harus menjaganya 24 jam sehari, hanya orang-orang yang diberi wewenang dan punya kartu ID yang jelas saja yang boleh melewati garis polisi. Wartawan biasanya dilarang masuk ke kawasan barang bukti kecuali bila diberi ijin
khusus dan dikawal selama berada di kawasan barang bukti.
Negara terkontrak terkait dengan kecelakaan pesawat begitu mendapat berita (mungkin awalnya lewat telepon yang disusul oleh surat resmi) dari IIC, segera mengangkat seorang Accredited Representative (AR) atau seorang wakil resmi yang mewakili negara tersebut dalam proses penyidikan kecelakaan pesawat, membantu IIC dalam sebuah tim. AR itu memimpin dan dibantu oleh sejumlah penyidik dari negara yang bersangkutan, yang diberi sebutan Adviser (Penasihat) yang bisa jadi adalah ahli metalurgi, ahli aerodinamika, struktur, engine, avionik dlsbnya yang punya keahlian khusus tentang pesawat terbang yang naas itu.
IIC juga harus membuat sebuah pengumuman resmi kepada pihak-pihak media (koran, majalah, televisi etc) memberikan penjelasan singkat mengenai kecelakaan yang telah terjadi dan menjanjikan akan memberikan laporan berkala bila ada hal-hal yang perlu disampaikan kepada pihak media. Kerjasama dan saling menghormati/ menghargai dengan pihak media itu sangat penting, karena pihak medialah yang akan membuat berita yang dibaca/didengar oleh khlayak ramai termasuk keluarga korban kecelakaan pesawat.
Kalau IIC tidak mau bekerjasama dengan pihak media, maka media akan memberitakan bahwa pihak yang berwewenang (IIC) sengaja menutup-tutupi hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan dan dengan demikian IIC akan mendapat serangan dari semua pihak khususnya keluarga para korban. Tentu saja ini sama sekali tidak diinginkan.
IIC kemudian bertanggung jawab untuk menyusun organisasi penyidikan dan menentukan penyidik yang mana harus bertugas/ bertanggung jawab menyelidiki masalah tertentu. Tim penyidik di bawah komando IIC terdiri dari para AR dan penasihat-penasihat mereka serta staf dari badan penyidik (seperti KNKT kalau NTKKnya adalah Indonesia misalnya) ataupun para ahli dari luar badan penyidik yang memiliki keahlian tertentu yang tak dimiliki oleh staf badan penyidik dan diperlukan dalam penyidikan. Inilah sebabnya mengapa IIC haruslah seorang yang senior baik dari segi usia, maupun, kepangkatan atau keahlian dibidang penyidikan. Sebagai contoh, salah seorang IIC yang sering ditunjuk oleh KNKT adalah Prof. Marjono Siswosuwarno, yang seorang ahli kelas wahid untuk Indonesia di bidang metalurgi atau ilmu logam. Beliau adalah seorang ahli dibidangnya yang disegani oleh para ahli lain di bidangnya dan adalah seorang anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) yaitu kehormatan ilmiah paling puncak di Indonesia. Di negara-negara lain, khususnya di negara berkembang seperti di Asia dan Afrika, seringkali yang diangkat menjadi IIC adalah seorang Jendral Angkatan Udara yang sudah kenyang makan garam, menerbangkan berbagai jenis pesawat dan tentu saja disegani oleh pihak kejaksaan ataupun kepolisian dlsbnya yang punya potensi akan berusaha memanipulasi IIC supaya mengikuti aturan main mereka, bukannya mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan oleh Annex 13 Konvensi Chicago. IIC bertanggung jawab untuk menentukan para penyidik siapa saja yang menjadi anggota tim penyidik yang membantu IIC dalam menjalankan tugasnya. Ini adalah wewenang IIC dan IIC tidak boleh diinterferensi oleh siapa saja termasuk pimpinan puncak badan penyidik (seperti Ketua KNKT) ataupun Menteri Transportasi, bahkan juga oleh Presiden. Tim penyidik yang dipimpin IIC harus bersifat independen dan dilihat masyarakat sebagai tim independen yang hanya punya satu tujuan saja yaitu mengumpulkan data, menganalisis data dan menentukan secara jujur dan adil apa yang sebenarnya terjadi yang bisa dikatakan menjadi faktor yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan. Kalau masyarakat mendapat kesan bahwa tim penyidik itu terlalu banyak diinterferensi oleh pihak-pihak luar, maka kesannya adalah adanya hal-hal yang ingin ditutup-tutupi dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah sebenarnya tidak peduli pada keselamatan terbang, jadi orang akan berpikir 2 kali sebelum memutuskan untuk bepergian naik pesawat. Jumlah penumpang airlines akan menurun drastis dan airlines bisa jadi akan menjadi bangkrut. Di negara-negara ketiga atau yang belum begitu maju, di mana korupsi dan masalah sogok menyogok masih merajalela, memang ada masalah persepsi bahwa pihak yang “bersalah” akan menyogok penyidik sehingga kesalahan mereka akan disembunyikan. Inilah sebabnya mengapa integritas seorang IIC benar-benar sudah harus teruji dan sama sekali tak diragukan.
Hal yang sangat membantu dalam menuntaskan penyidikan kecelakaan pesawat adalah rekaman data yang direkam oleh OBR atau Onboard Recorder (istilah Australia) yang mencakup blackbox yang diwajibkan oleh ICAO, yaitu CVR (Cockpit Voice Recorder) dan FDR (Flight Data Recorder), dan juga QAR (Quick Access Recorder) yang dipasang oleh airline untuk kepentingannya sendiri. Annex 13 butir 5.7 dan 5.8 menentukan bahwa CVR dan FDR harus segera dibaca begitu ditemukan tanpa ditunda tunda lagi. Apabila NTKK tidak memiliki fasilitas untuk membaca CVR dan/atau FDR maka mereka harus segera minta bantuan kepada negara terkontrak lain yang memiliki fasilitas tersebut.
Sebagai contoh Indonesia dulunya selalu minta bantuan kepada Australia dan Amerika Serikat untuk membaca CVR dan FDR yang terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di Indonesia, sampai akhirnya Indonesia memiliki fasilitas dan kemampuan teknis sendiri.
Seperti telah disinggung sebelumnya masalah penanganan atau akses ke rekaman CVR dan FDR seringkali merupakan sumber sengketa antara Badan Penyidik (yang diwakili oleh IIC dan timnya) dan pihak kepolisian serta kejaksaan atau pengadilan negeri setempat. Salah satu contoh yang terkenal adalah kecelakaan pada tahun 1995 di Selandia Baru di mana CVR dan FDR pesawat Dash 8 yang mengalami kecelakaan CFIT diambil paksa oleh pihak pengadilan negeri dan digunakan sebagai barang bukti dalam persidangan pidana menuntut para pilot yang terlibat.
Dalam kasus ini jelas bahwa pemerintah Selandia Baru tidak menghormati kesepakatan Konvensi Chicago yang telah ditanda tanganinya, dan Selandia Baru pun menjadi negara yang dikenal sebagai negara yang tak begitu peduli dengan keselamatan terbang. Tentu saja pemerintah Selandia Baru yang sekarang ini sudah mengubah undang-undang mereka sehingga hal yang sama tidak akan terjadi lagi. Indonesia pun pernah menahan seorang pilot sebelum penyidikan KNKT selesai tuntas. Mudah-mudahan saja undang-undang transportasi udara yang diundangkan di Indonesia belum lama lalu sudah mampu mencegah kejadian yang sama terulang lagi.
CVR merekam semua suara termasuk percakapan para pilot di dalam kokpit dan bunyi kebisingan engine serta ledakan yang mungkin terdengar dalam kokpit, sedangkan FDR merekam data-data teknis seperti parameter ketinggian terbang, kecepatan terbang, arah terbang, jumlah bahan bakar yang tersisa dlsbnya. Pada awalnya mesin-mesin perekam bersifat sebagai perekam rekaman analog dan jumlah parameter yang bisa direkam serta lama rekamannya sangat terbatas. Tetapi belakangan ini sistem rekaman yang digunakan adalah rekaman digital sehingga jumlah parameter yang bisa direkam menjadi jauh lebih banyak sedangkan lama rekaman juga bisa berjam-jam bukan hanya sekian menit saja. Perekam data biasanya diletakkan ditempat yang paling aman dipesawat kalau terjadi kecelakaan, yaitu di bagian ekor. Perekam data juga dirancang untuk tahan goncangan akibat tabrakan saat pesawat mengalami kecelakaan dan jatuh menimpa bumi atau laut.
Perekam data dilengkapi dengan alat yang disebut ULB (Underwater Locator Beacon) atau Pemancar Sinyal Penunjuk Lokasi dibawah laut supaya perekam data dapat ditemukan walaupun pesawat jatuh tercebur kelaut. Alat tersebut dikenal sebagai “pinger” karena memancarkan sinyal yang berbunyi ping ping ping……… yang ditransmisikan lewat gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 37.5 KHz yang dapat dideteksi oleh sebuah alat khusus tertentu penerima sinyal. Pinger akan secara otomatis mulai bekerja begitu perekam data tercebur kedalam air. Pemancar sinyal atau pinger ini dapat memancarkan sinyal dari kedalaman laut sampai sedalam 14 ribu kaki, dan bisa tetap beroperasi sampai paling tidaknya 30 hari sampai akhirnya batere yang terpasang kehabisan muatan listrik.
Memang Annex 13 tidak secara tegas melarang negara anggota menggunakan hasil rekaman data yang ada di perekam data sebagai barang bukti dalam persidangan pidana, tetapi kalau ini dilakukan maka penyidikan keselamatan terbang menjadi lebih sulit dan rumit. Misalnya saja kalau para pilot merasa bahwa data yang terekam dalam alat perekam dpat digunakan melawan mereka dalam persidangan pidana, maka sangat mudah bagi pilot untuk tidak menyalakan alat perekam data yang terpasang. Tentu saja ini sangat menyulitkan penyidikan seandainya terjadi kecelakaan karena sukses penyidikan pada dasarnya memang sangat tergantung pada adanya rekaman data penerbangan. NTSB Amerika Serikat mengatakan bahwa: “ Bila CVR atau transkripnya digunakan tidak pada tempatnya, yaitu untuk tujuan selain penyidikan keselamatan terbang, maka bisa jadi bahwa di masa depan rekaman data seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh para penyidik, mustahil akan bisa diperoleh (karena penggunaannya akan diboikot oleh para pilot). Tidak adanya akses bebas ke rekaman CVR dan FDR jelas akan menghambat proses penyidikan kecelakaan pesawat terbang dan pada akhirnya akan menghambat upaya untuk secara berkesinambungan, terus menerus memperbaiki keselamatan terbang. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan negara anggota ICAO berusaha keras untuk memperbaiki / memperbarui undang-undang transportasi udara mereka sedemikian rupa sehingga isi kesepakatan Annex 13 dapat diselaraskan dengan undang-undang negara. Sebagai contoh, Australia telah mengundangkan TSI Act 2003 di mana tercantum aturan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam hal pemanfaatan isi rekaman OBR, namun demikian konflik juga masih saja terjadi.
Bisa dimengerti bahwa sangat penting untuk mencapai kesepakatan tentang informasi apa dan bagaimana prosedur yang harus diterapkan sebelum informasi yang berada dalam rekaman “blackbox” boleh dijadikan bahan berita untuk konsumsi publik. Kalaupun ada informasi rekaman “blackbox” yang boleh disampaikan kepada publik (masyarakat umum), saat-saat kapan informasi itu boleh diumumkan itu juga sangat penting untuk dipertimbangkan. Tak bisa diragukan bahwa pihak media massa dan juga para politisi yang ingin cari muka, pasti menginginkan bahkan menuntut supaya mereka diberi akses ke informasi yang terekam dalam “blackbox”.
Tetapi prinsip dasar yang dianut dan disepakati dalam Konvensi Chicago adalah bahwa hanya informasi yang bersifat fakta saja yang boleh disampaikan kepada masyarakat umum, sebelum proses penyidikan telah selesai dilakukan secara tuntas dan sebuah laporan resmi dikeluarkan. Para penyidik harus menahan diri, mencegah godaan untuk membuat pernyataan didepan publik yang sifatnya adalah berspekulasi mengenai skenario-skenario apa saja yang mungkin terjadi dalam kasus kecelakaan yang sedang diselidiki. Para wartawan pasti berusaha keras untuk
mendapatkan berita-berita hangat yang dapat menjual koran atau majalah dlsbnya langsung dari mulut penyidik.
Annex 13 juga memberikan rincian dari hal-hal yang tidak boleh diberitakan kepada umum, termasuk pernyataan, komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat, informasi medis dan rekaman dalam kokpit serta pendapat yang diutarakan serta analisis dari informasi yang telah dikumpulkan. Annex 13 juga memberikan panduan mengenai bagaimana hal-hal yang dibahas tadi sebaiknya ditangani didepan pengadilan (lihat butir 5.12).
Memang konflik kepentingan antara penyidikan keselamatan terbang dan penyidikan pengadilan negeri itu tidak dapat dielakkan, karena tujuan akhirnya yang berbeda. Tetapi Konvensi Chicago menghimbau agar hubungan kerjasama yang baik antara kedua belah pihak harus ditemukan dan diterapkan agar tujuan dari masing-masing pihak tetap bisa dicapai.
Jadi masing-masing tim penyidik bekerja sendiri-sendiri walaupun menggunakan barang bukti yang sama, atau tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan tugasnya sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu barang bukti dan tim penyidik pengadilan negeri tetap bisa melakukan penyidikannya dengan menggunakan barang bukti yang sama yang tetap tersedia dalam kondisi tak terusik walaupun sudah diselidiki sebelumnya oleh penyidik keselamatan terbang. Di sisi lain hasil-hasil penyidikan tim penyidik keselamatan terbang tetap terjaga kerahasiannya dan tidak boleh diambil paksa oleh pengadilan negeri. Ada kalanya tim penyidik keselamatan terbang harus melakukan uji laboratorium yang bersifat menghancurkan atau memusnahkan barang bukti (misalnya dalam uji kelelahan logam).
Untuk kasus seperti itu, tim penyidik keselamatan terbang harus berkoordinasi dengan pihak penyidik pengadilan negeri, dan mencari jalan keluar di mana kepentingan kedua belah pihak tetap bisa terpenuhi. Namun demikian pada akhirnya yang paling menentukan adalah undang-undang yang berlaku setempat. Perlu juga dimengerti bahwa
seandainya dari hasil penyidikan awal telah bisa disimpulkan bahwa kecelakaan pesawat itu disebabkan oleh tindakan kriminal (misalnya teroris meledakkan bom di dalam pesawat), maka IIC harus segera menghentikan penyidikan dan menyerahkan penyidikan kasus kecelakaan itu sepenuhnya kepada pihak kepolisian (FBI di Amerika Serikat atau Polisi Federal Australia misalnya). IIC harus segera memberitahu Otorita Keselamatan Terbang. Di Australia IIC harus segera menghentikan penyidikan, tetapi seandainya diminta oleh pihak kepolisian maka para penyidik dibawah pimpinan IIC itu akan bersedia membantu dengan memberikan saran-saran teknis dan juga dengan memanfaatkan keahlian mereka. Tetapi penyidikan yang dilakukan bukanlah penyidikan keselamatan terbang dan merupakan penyidikan tindakan kriminalitas.
Hasil investigasi, yang diharapkan dapat membantu memperbaiki keselamatan terbang, tentu saja harus dilaporkan secara tertulis dan selengkap mungkin. Laporan harus disampaikan dalam bentuk formal tertentu sesuai dengan tujuan penyidikan kecelakaan pesawat. Ini tidaklah semudah itu. Supaya bisa dipercaya atau punya kredibilitas, maka semua pernyataan dari para saksi seharusnya dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh saksi. Tetapi penyataan saksi, yang bisa jadi adalah salah satu kru terbang, yang resmi dan ditandatangani, itu berarti sebuah pernyataan resmi yang dapat digunakan melawan saksi dalam persidangan pengadilan negeri ataupun dalam pemeriksaan displiner oleh perusahaan. Ini berarti bahwa seorang saksi yang kesaksiannya dapat mencelakakan dirinya atau rekan sekerjanya sendiri pasti akan ragu untuk memberikan kesaksian, yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan analisis mengenai mengapa kecelakaan pesawat itu terjadi. Kesaksian seorang saksi itu tidak bisa dipaksakan, hanya dapat dihimbau dan himbauan itu pasti tak akan didengar kalau calon saksi merasa bahwa kesaksiannya harus dalam bentuk tertulis dan harus ditandatanganinya, padahal mungkin ada bagian-bagian tertentu dari cerita kesaksiannya yang punya implikasi untuk menjeratnya dituntut di pengadilan. Di sisi lain kalau kesaksian itu hanya diberikan secara lisan, maka saksi bisa mangkir kalau nantinya misalnya saja dia diperiksa ulang di pengadilan. Dengan demikian nilai sebuah kesaksian yang diberikan hanya dalam bentuk lisan itu bisa dicurigai sebagai sebuah kesaksian yang tak dapat dipercaya, dan akan memberikan kesimpulan yang salah dalam penyidikan kecelakaan pesawat kalau dijadikan tumpuan dari kesimpulan akhir yang diambil dan dengan demikian membuat nilai laporan penyidikan menjadi tidak begitu bermanfaat untuk tujuan memperbaiki keselamatan terbang di masa depan. Ini adalah dilema atau kesulitan yang dihadapi oleh para pembuat undang-undang dan aturan-aturan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan sipil. Annex 13 memang sangat bermanfaat, tetapi tidak dapat berbuat banyak mengenai hal ini.
Para anggota DPR sebaiknya menyadari, memahami dan memaklumi hal ini dan harus sangat bijaksana dalam merumuskan kalimat-kalimat dalam undang-undang yang perlu diundangkan mengenai keselamatan terbang. Ada satu hal yang Annex 13 dapat membantu mencegah terjadinya kejadian yang tak diingini. Di negara-negara maju, sebuah kasus yang telah dibawa ke pengadilan dan mendapat keputusan pengadilan (apapun juga hasilnya) itu tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan dengan tuntutan yang sama. Tetapi misalnya saja ada barang bukti baru yang ditemukan setelah penyidikan dan sidang pengadilan selesai, maka bisa jadi akan ada tuntutan pengadilan baru, berdasarkan bukti-bukti baru itu. Annex 13 menegaskan bahwa hal ini diperbolehkan, tetapi hanya kalau disetujui secara resmi oleh negara yang bertanggung jawab dan telah melakukan penyidikan, yaitu NTKK atau negara registrasi kalau kecelakaan terjadi dikawasan internasional atau di negara yang bukan negara terkontrak.
Partisipasi atau Keikutsertaan dalam penyidikan
Annex 13 menegaskan bahwa negara terkontrak yang melakukan penyidikan atau negara penyidik (biasanya NTKK) itu diwajibkan untuk melibatkan personil dari negara-negara terkontrak lainnya yang punya kepentingan berkaitan dengan kecelakaan yang terjadi.
Bisa jadi bahwa negara penyidik itu punya masalah dengan salah satu atau lebih negara terkontrak terkait. Misalnya saja seandainya ada pesawat milik operator Israel yang jatuh di Indonesia, maka KNKT harus memberitahu otorita Israel dan harus bersedia mengikutsertakan Wakil resmi (Accredited Representative) dari Israel berikut para penasihat dan para ahli pesawat yang jatuh itu. Hal ini bisa jadi bermasalah karena Indonesia (paling tidaknya di jaman dulu) tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel dan ada banyak rakyat Indonesia (biasanya dari pihak garis keras Islam) yang akan berdemonstrasi menentang kehadiran perwakilan dari Israel itu di Indonesia.
Dalam hal ini kalau Indonesia sebagai penanda tangan Konvensi Chicago ingin mematuhi aturan main yang telah disepakati dan perjanjian internasionalnya sudah ditanda-tangani, maka mau tak mau KNKT harus melibatkan para personil dari Israel itu. Contoh lain adalah seandainya ada pesawat Taiwan yang jatuh di Indonesia, maka KNKT harus melibatkan para ahli pesawat dari Taiwan, walaupun ini menimbulkan masalah dengan RRC yang akan memaksa Indonesia untuk tidak berhubungan resmi dengan Taiwan yang menurut mereka adalah sebuah provinsi yang mbalelo.
Annex 13 memberikan rincian mengenai negara-negara mana saja yang punya hak untuk ikut serta atau berpartisipasi dalam penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu negara-negara Registrasi, Operator, Desain dan Manufaktur.
Masing-masing negara tersebut berhak untuk mengangkat seorang AR (Accredited Representative) atau Wakil Resmi, dibantu oleh beberapa penasihat dan para ahli pesawat bidang-bidang tertentu.
Negara-negara pembuat komponen-komponen pesawat yang naas boleh juga mengajukan permohonan untuk diperbolehkan berpartisipasi dalam penyidikan, tetapi mereka tidak punya hak otomatis untuk diundang ikut berpartisipasi.
Negara-negara Registrasi dan Operator boleh mengangkat satu atau lebih Penasihat untuk membantu AR atau Wakil Resminya, yang diusulkan oleh negara operator.
Negara-negara Desain dan Manufaktur boleh mengangkat Wakil Resmi yang dibantu oleh satu atau lebih Penasihat, yang diusulkan oleh organisasi-organisasi yang bertanggung jawab melakukan “type certificate” (perancangan jenis pesawat) dan Final Assembly (Perakitan Akhir).
Seandainya negara desain dan manufaktur, karena alasan apapun tidak mengangkat Wakil Resmi, maka Annex 13 memberi hak kepada organisasi yang bertanggung jawab untuk perancangan jenis dan perakitan akhir pesawat (yang naas itu) untuk mengangkat AR atau Wakil Resmi beserta para penasihatnya. AR punya hak untuk mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan, memeriksa rongsokan pesawat yang hancur dan mewawancarai para saksi kecelakaan, dan juga memberikan saran tentang pertanyaan-pertanyaan apa saja yang perlu ditanyakan, berhak punya akses sepenuhnya pada semua barang bukti terkait selekas mungkin, menerima semua dokumen, terlibat pada saat pembacaan data dalam “blackbox”, ikut serta dalam kegiatan-kegiatan di luar tempat kejadian kecelakaan, berpartisipasi dalam rapat-rapat berkala termasuk melontarkan saran-saran dalam acara tukar pendapat, dan juga mengajukan usulan resmi. Hal-hal tersebut di atas bisa jadi menimbulkan perdebatan sengit, apalagi bila ada negara yang ingin memastikan lebih dulu bahwa negara-negara lain itu tidak punya daftar “differences” atau perbedaan resmi yang diajukan ke ICAO, sebelum mereka boleh minta hak mereka seperti yang tertera dalam Annex 13.
Di samping punya hak, para wakil resmi (AR) juga punya kewajiban yang harus mereka patuhi, termasuk: memberikan informasi yang mereka miliki, yang terkait dengan kecelakaan yang sedang diselidiki, dan tidak boleh menyampaikan informasi ke publik mengenai jalannya penyidikan dan kesimpulan-kesimpulan sementara apa saja yang sedang dibahas, tanpa persetujuan resmi dari negara penyidik.
Sebagai penutup kata, perlu dijelaskan bahwa negara-negara yang warganegaranya menderita luka parah (serious injury), bahkan meninggal dunia, dalam kecelakaan terkait diberi hak untuk mengangkat seorang ahli yang boleh mengunjungi lokasi kejadian kecelakaan, punya akses pada informasi tentang kenyataan yang ada (factual information bukan hasil analisis atau kesimpulan sementara), berpartisipasi dalam mengidentifikasi para korban
dan menerima sebuah salinan dari laporan akhir (final report).
Seperti dapat dilihat, Annex 13 itu sangat komprehensif dan mencakup semua hal yang perlu dipikirkan yang terkait dengan penyidikan kecelakaan pesawat. Namun demikian Annex 13 hanya dapat diterapkan kalau setiap negara terkontrak menghormati isi perjanjian yang telah mereka tandatangani, yaitu Konvensi Chicago. Kerjasama semua
negara anggota sangat dibutuhkan supaya setiap kecelakaan pesawat yang terjadi dapat diselidiki faktor-faktor yang berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan. Analisis mendalam dari semua barang bukti, hasil pengujian laboratorium, data di “blackbox” dan wawancara para saksi, diharapkan dapat mengidentifikasi penyebab kecelakaan sehingga ada hal-hal yang perlu dan bisa dilakukan akan dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang sama atau mirip di masa depan.